Hamdan Zoelva: Penundaan Pemilu Rumit, Rampas Hak Rakyat

27 Februari 2022 14:38 WIB
ยท
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dr. Hamdan Zoelva (27/08/2018). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Dr. Hamdan Zoelva (27/08/2018). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
ADVERTISEMENT
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva ikut berkomentar soal usul penundaan Pemilu 2024 yang diungkit Ketum PKB Muhaimin Iskandar hingga Ketum PAN Zulkifli Hasan. Menurut dia, penundaan pemilu tidak perlu, sangat rumit, dan justru merampas hak rakyat.
ADVERTISEMENT
"Pasal 22E UUD 1945, pemilu dilaksanakan sekali dalam 5 tahun. Kalau ditunda, harus mengubah ketentuan tersebut, berdasarkan mekanisme Pasal 37 UUD 1945," kata Hamdan di Twitternya dikutip kumparan, Minggu (27/2).
"Dari segi alasan tidak ada alasan moral, etik, dan demokrasi menunda pemilu. Bahkan dapat dikatakan merampas hak rakyat memilih pemimpinnya 5 tahun sekali," imbuh dia.
Hamdan mengakui, jika dipaksakan dan kekuatan mayoritas MPR setuju, maka tak ada yang dapat menghambat penundaan pemilu. Ia menerangkan bahwa utusan MPR formal, sah, dan konstitusional, sementara legitimasi rakyat urusan lain.
Namun, Hamdan menekankan ada sejumlah proses rumit yang harus dilalui untuk menunda pemilu. Satu aturan akan tumpang tindih dengan aturan lainnya.
"Jika pemilu ditunda untuk 1-2 tahun, siapa yang jadi presiden, anggota kabinet (menteri), dan anggota DPR, DPD dan DPRD seluruh Indonesia, karena masa jabatan mereka semua berakhir pada September 2024?" ujarnya.
ADVERTISEMENT
"UUD 1945 tidak mengenal pejabat presiden. Hanya menurut Pasal 8 UUD 1945 jika presiden dan wapres, mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan dilakukan oleh Mendagri, Menlu dan Menhan," tambah dia.
Pimpinan MPR RI terpilih periode 2019-2024 menyanyikan lagu Indonesia Raya saat Sidang Paripurna MPR di Gedung Nusantara, Komplek Parlemen, Jakarta. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Artinya, jika pemilu ditunda, tugas kepresidenan bisa dilakukan Mendagri, Menlu, hingga Menhan. Tetapi, Hamdan mengingatkan jabatan Mendagri, Menlu dan Menhan berakhir dengan berhenti atau berakhirnya masa jabatan presiden dan wapres yang mengangkat mereka.
Kecuali, MPR menetapkan ketiganya lebih dahulu sebagai pelaksana tugas kepresidenan. Ia menjelaskan, berdasarkan Pasal 8 UUD 1945, MPR dapat saja mengangkat presiden dan wapres menggantikan presiden-wapres yang berhenti atau diberhentikan, sampai terpilihnya presiden dan wapres hasil pemilu.
Hamdan melanjutkan, MPR bisa memilih dan menetapkan salah satu dari dua pasangan calon presiden dan wapres. Pasangan ini dapat diusulkan parpol atau gabungan parpol yang pasangan capresnya memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu.
ADVERTISEMENT
Dalam kondisi ini, Hamdan mengakui, siapa saja dapat diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol menjadi pasangan calon presiden dan wapres. Tidak harus presiden yang sedang menjabat.
"Tetapi masalahnya tidak berhenti di situ. Siapa yang memperpanjang masa jabatan anggota MPR dan DPRD? Padahal semuanya harus berakhir pada 2024, karena mereka mendapat mandat terpilih melalui pemilu?" lanjut dia.
"Untuk keperluan tersebut, ketentuan UUD mengenai anggota MPR pun harus diubah, yaitu anggota MPR tanpa melalui pemilu dan dapat diperpanjang. Lalu, siapa yang perpanjang juga jadi persoalan. Jika dipaksakan dapat dilakukan oleh presiden atas usul KPU. Tetapi sekali lagi UUD terkait anggota MPR harus diubah dulu," paparnya.
Infografik Jokowi tolak perpanjangan masa jabatan. Foto: kumparan
Maka, kata Hamdan, untuk memuluskan skenario penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan, harus ada sidang MPR yang mengubah UUD. Selain itu, MPR memberhentikan presiden-wapres dan mengangkat presiden dan wapres sebelum masa jabatan mereka berakhir.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, banyak DPRD se-Indonesia yang akan berakhir masa jabatannya pada Juli, Agustus, hingga September 2024. Artinya semua agenda skenario terkait penundaan harus selesai pada Agustus atau September 2024.
"Tetapi pertanyaannya kembali, apa mungkin presiden diangkat kembali sebelum mereka berhenti secara bersamaan? Karena MPR hanya berwenang mengangkat presiden dan wapres jika presiden dan wapres secara bersamaan berhenti," ujar Hamdan.
"Maka jalan keluarnya, berhentikan dulu presiden dan wapres sebelum masa jabatannya berakhir. [Tetapi] merujuk UUD 1945, tidak ada dasarnya MPR begitu saja memberhentikan presiden dan wapres tanpa alasan. Kecuali mereka berhenti bersamaan karena mengundurkan diri, berhenti atau diberhentikan karena melakukan pelanggaran hukum menurut Pasal 7B UUD 1945," ungkapnya.
Sebab itu, Hamdan menegaskan, penundaan Pemilu 2024 hanya cari masalah. Apalagi, wacana ini juga merampas hak rakyat menentukan pemimpin setiap 5 tahun sekali.
ADVERTISEMENT
"Jadi persoalan begitu sangat rumit. Jangan pikirkan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan itu," imbaunya.
"Karena hanya cari-cari masalah yang menguras energi bangsa yang tidak perlu. Jalankan yang normal saja, negara aman-aman saja," tandas dia.