Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Hamdi Muluk, Ketua Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik (Persepi), tertawa sejenak saat ditanya soal klaim kemenangan dari kubu Prabowo maupun Jokowi.
Beberapa jam setelah hasil hitung cepat berbagai lembaga survei tayang di media, Prabowo mendeklarasikan kemenangannya. Ia menyatakan menang dengan perolehan suara 52,2 persen berdasar hasil quick count internal Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi.
Empat jam kemudian Prabowo kembali mendeklarasikan kemenangannya dengan menyebut perolehan suara hingga 62 persen versi real count, masih berdasarkan survei internal.
Seolah tak mau kalah, dua hari kemudian PDIP merilis hasil real count internal partainya. Partai utama pengusung petahana ini mengklaim Jokowi-Ma’ruf Amin menang dengan perolehan suara 63 persen berbanding 37 persen untuk Prabowo-Sandi.
“Ini semacam psywar di antara keduanya,” ucap Hamdi mengomentari klaim kedua kubu. Psywar atau psychological warfare alias perang urat saraf adalah bentuk propaganda ofensif yang dilancarkan pihak-pihak yang saling bertentangan pendapat.
Bagi Hamdi, klaim 62 atau 63 persen suara yang dikecap masing-masing kubu tidak logis. Ia memprediksi perolehan suara Jokowi dan Prabowo di Pilpres 2014 dan Pilpres 2019 ini tak akan jauh beda.
Berikut wawancara kumparan dengan Hamdi Muluk, salah satu pelopor quick count di Indonesia yang juga mantan direktur LP3ES, di Hotel Morrissey, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (20/4).
Prabowo mengklaim menang real count 62 persen, lalu PDIP menyebut Jokowi-Ma'ruf Amin menang dengan 63 persen suara. Bagaimana tanggapan Anda melihat klaim dua kubu ini?
Ini semacam psywar di antara keduanya. Saya yakin BPN psywar dengan berkata menang dengan 62 suara, lalu kedua PDIP kemarin diwakili Hasto Kristiyanto (Sekretaris Tim Kampanye Nasional Jokowi-Mar’ruf) juga mengklaim menang 63 persen. Psywar saja. Tapi itu enggak logis.
Logikanya simpel. Karena ini pertandingan rematch, calonnya itu-itu juga—Prabowo dan Jokowi. Yang beda cuma wakilnya, tapi calon wakil presiden itu enggak terlalu berpengaruh terhadap perolehan suara. Yang dilihat tetap: calon presidennya siapa.
Mengapa hasil Pilpres 2019 enggak jauh berbeda dengan Pilpres 2014 adalah karena yang berlaga orangnya itu-itu saja, Jokowi dan Prabowo. Dua orang ini sudah melekat di hati masyarakat.
Pemilu itu kan memenangkan hati dan perasaan. Kesukaan terhadap dua calon ini sudah menetap. Keduanya sudah punya basis massa yang stabil dari 2014.
Ketika pemilu diulang lagi, basis massa ini muncul kembali, dan sudah terprediksi dari survei-survei. Basis massanya enggak berubah banyak.
Kita lihat di beberapa tempat terjadi pergeseran, tapi masih terjelaskan. Misalnya di Sulawesi Selatan dulu Jokowi menang karena ada faktor Jusuf Kalla, putra daerah. Sekarang di Jawa Timur perolehan suara Jokowi naik, karena ada basis NU-nya Ma’ruf Amin.
Dengan sedikit pergeseran ke kiri kanan, ke atas ke bawah, tidak akan bisa berubah drastis. Jadi kalau memang mengklaim hari ini satu paslon mengantongi 62 persen, itu bohong. Dasar pikirnya apa?
Jadi kalau klaim kubu ini 62 persen, kubu ini 62 persen, psywar saya bilang. Perang urat saraf aja.
Bagaimana dengan angka exit poll, quick count, dan real count berbeda yang diklaim Prabowo?
Itu dia bilang survei internal yang dilakukan Sugiono (Wakil Ketua Umum Gerindra). Tapi enggak pernah dibuka ke publik.
Apakah mungkin hasil quick count 52 persen sementara real count 62 persen?
Itu enggak logis. Dia mempermalukan diri sendiri, dia melakukan quick count dengan cara dia. Kalau quick count 52 persen, lalu real count 62 persen, berarti meleset jauh. Dia melakukan quick count-nya abal-abal.
Harusnya malu, berarti melakukan quick count-nya asal-asalan. Bedanya sampai 10 persen, aneh. Kalau semua proses diklaim sendiri, tidak ada consensual validation—tidak tervalidasi secara konsensus.
Kalau kata anak-anak sekarang, “Gue juga bisa kayak gitu. Gue bikin pemilu sendiri, menang sendiri, dan bikin republik sendiri sekalian.”
Yang kita takutkan begini, kalau ini dijadikan basis, klaim-klaim sendiri ini, bagaimana nanti jika hasil KPU enggak jauh beda dengan quick count dari 12 lembaga yang disiarkan di TV?
Dia (kubu Prabowo) mengklaim 62 persen suara, nanti dia bilang KPU curang. Lalu bilang, “Kalau gitu kita serbu KPU, kita lakukan people power.” Ini yang bahaya, ini yang saya takutkan.
Yang namanya denial—menyangkal kenyataan—itu problem kejiwaan. Orangnya enggak siap kalah, hidup di dunia sendiri. Orang yang hidup dengan delusi dia sendiri yang dia ciptakan. Begini cara kita berdemokrasi?
Dalam Apel Siaga 313 pada akhir Maret, Ketua Dewan Pengarah BPN Prabowo-Sandi, Amien Rais, menyerukan people power untuk menghadapi kecurangan dalam pemilu. Di depan kantor KPU dia berkata, “Kami enggak akan ke MK lagi, kami langsung people power.”
Kalau survei internal terbukti salah, apakah bisa dijatuhi sanksi?
Pada waktunya, akan menjadi tertawaan publik saja. Hukuman sosial.
Tapi saya khawatir ini dipakai untuk mendelegitimasi KPU dan mencoba membuat orang bergerak, people power-lah, demonstrasilah, seruan geruduk KPU. Enggak begini cara kita berdemokrasi.
Itu demokrasi barbar namanya kalau mendelegitimasi KPU, teriak-teriak curang, tapi enggak bisa membuktikan. Tahun 2014 kan juga begitu.
Pada Pemilu Presiden 2014, hasil quick count sejumlah lembaga survei menyebut pasangan Jokowi-Kalla sebagai pemenang pemilu. Prabowo tak percaya dan menggugat hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi. Tanggal 21 Agustus 2014, MK memutus menolak seluruh Permohonan Perselisihan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan pasangan calon Prabowo-Hatta Rajasa.
Bagaimana dengan tudingan Prabowo dan BPN ke berbagai lembaga survei?
Makanya kami ajak mereka (kubu kedua capres—Prabowo dan Jokowi) datang ke sini (gelar data lembaga survei yang di Hotel Morrissey, Jakarta, Sabtu 20 April). Mari kita buka data. Itu satu-satunya cara bagi kita untuk memvalidasi data.
Dianya enggak mau, berkilah lagi. Dia bilang, “Saya hanya mau kalau pendanaannya dibuka.” Sudah dijawab sama Philips J. Vermonte (Ketua Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia), “Ya sudah, kalau Anda mau pendananya dibuka, Anda juga buka pendana Anda siapa. Biar sama.”
Dia enggak mau.
Juru Bicara BPN Prabowo-Sandi, Andre Rosiade, menantang lembaga survei untuk membuka sumber dana survei mereka. Andre juga mengklaim, deklarasi kemenangan Prabowo berdasarkan 60 persen hasil rekapitulasi C1 plano yang masuk ke BPN.
Saat ditantang balik, Andre mengatakan pendataan C1 berpusat di Kantor DPP Gerindra. Tapi ia tak mengetahui pasti berapa banyak orang yang terlibat dalam penghitungan di internal BPN.
Kalau kesalahan ada di pihak yang mengklaim, itu bukan wewenang Dewan Etik Persepi?
Enggak ada memang. Lembaga profesi bisa melakukan sidang etik kalau anggotanya dianggap melakukan pelanggaran kode etik. Tapi dia kan partai.
Masalahnya adalah, apakah klaim-klaim mereka itu menemukan konsensual demokratiknya. Kalau enggak, kan konyol saja. Mengklaim enggak ada basisnya, baik basis politis, basis legal, atau basis keilmuan.
Hari ini, mengapa Persepsi berusaha betul untuk membuat proses quick count ini klir, supaya memetakan basis keilmuannya jelas. Kalau hari ini dibuka debat ilmiah tentang quick count, diteliti dan menghadirkan ahli-ahli tentang survei, wah itu senang banget kami. Biar ada basis legitimasi keilmuan.
Coba pakai logika, kalau kami semua main buka-bukaan data, terus yang menuding ini (kubu Prabowo ) enggak mau buka data, tapi dia nuduh kami bohong. Yang bohong siapa sebenarnya?