Square_Ilustrasi Spanish Flu

Hantu Umat Manusia Itu Bernama Pandemi

3 Februari 2020 17:37 WIB
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Periode Spanish Flu. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Periode Spanish Flu. Foto: Shutterstock

Wabah novel coronavirus 2019 memangsa ratusan manusia. Bukan yang pertama dan tak akan jadi yang pungkasan.

Pertengahan pekan lalu World Health Organization (WHO) menetapkan wabah novel coronavirus 2019 (2019-nCoV) sebagai “darurat kesehatan global” (international health emergency).
Sebelum ini, sudah lima kali WHO menetapkan status serupa: kasus flu babi (H1N1) di Meksiko dan AS pada 2009; kemudian polio di Afrika Tengah dan Asia Selatan pada 2014; lalu virus zika di Brasil dan negara Amerika Selatan pada 2016; serta ebola di Afrika Barat (2014) dan Afrika Tengah (2019).
Menurut prosedur WHO, ada tiga kriteria dalam penetapan status darurat kesehatan global: 1) kejadian bersifat luar biasa, yang 2) menimbulkan risiko kesehatan publik negara lain, dan 3) mungkin membutuhkan respons internasional yang terkoordinasi.
“Alasan utama penetapan status ini bukan karena apa yang terjadi di China, namun apa yang terjadi di negara lain,” ujar Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, Kamis (30/1), di Jenewa.
Tedros waswas terhadap penyebaran 2019-nCoV ke negara dengan sistem kesehatan yang masih lemah. Per Minggu (2/2) kemarin, kasus novel coronavirus terkonfirmasi sudah berada di 27 negara, termasuk Filipina, Kamboja, Nepal, dan Sri Lanka.
“Ini bukanlah bentuk ketidakpercayaan pada upaya pemerintah China,” kata Tedros lagi. Apa yang ia lakukan, katanya, adalah mencegah pandemi terjadi.
Periode Spanish Flu. Foto: Shutterstock
Dunia mengenal terlalu banyak pandemi. Mereka membawa rasa sakit, mayat, penyakit lain, banyak terobosan medis, juga kekosongan. Kekosongan tersebut literal, karena pandemi bisa merenggut puluhan juta orang hanya dalam kurun waktu beberapa tahun.
Black Death jadi salah satu yang paling menyeramkan. Terjadi pada 1347 sampai 1351, Black Death membunuh 75 sampai 200 juta orang di seluruh dunia. Padahal, saat itu dunia hanya berpopulasi sekitar 450 juta orang. Berawal pelaut yang berlayar dari Asia melalui Jalur Sutra dan berlabuh di Sisilia, bakteri Yersinia pestis menyebar cepat ke seluruh Eropa, Asia, dan Afrika.
Akibatnya, mayat bergelimpangan di jalan. Saking banyaknya, mayat tak terurus dan membusuk di jalanan, membuat bau busuk menetap di banyak kota di Eropa selama beberapa tahun. Bahkan, saking parahnya kehadiran pandemi yang juga disebut bubonic plague tersebut, Inggris dan Prancis yang tengah berada di Perang 100 Tahun memutuskan untuk gencatan senjata dan mengurus diri masing-masing.
Masa pandemi Spanish Flu. Dok. Wikimedia
Selain Black Death, pandemi paling mematikan dalam sejarah manusia adalah Flu Spanyol yang terjadi pada 1918-1919. Dalam kurun waktu satu tahun, penyakit pilek Spanyol ini membunuh 50-100 juta orang di seluruh dunia—25 juta di antaranya mati di 25 minggu pertama pandemi menyebar.
Perang Dunia I yang tengah berlangsung menjadi salah satu palagan utama menyebarnya Flu Spanyol. Sementara serdadu dipaksa hidup dalam kerumunan yang berdekatan, kerahasiaan dan pemotongan informasi soal flu itu oleh para jenderal militer membuat penyebarannya makin parah. Alasannya, pejabat tak ingin moral tentara dan masyarakat turun, serta membuat musuh tahu soal keadaan para serdadunya.
Meski dinamai Flu Spanyol, jenis influenza ini disebut-sebut berawal dari Asia. Spanyol sendiri, yang netral dalam Perang Dunia I, aktif memberitakan soal perkembangan pandemi ini. Asosiasi yang kuat dalam periode gelap tersebut bertahan hingga puluhan tahun setelahnya.
Di tahun-tahun tersebut, dokter dan para ilmuwan belum mengenal konsep virus. Sementara flu biasa menyerang anak kecil, orang tua, dan mereka yang punya daya tahan tubuh lemah, Flu Spanyol mampu memangsa mereka yang perkasa. Tak ada yang benar-benar yakin bagaimana pandemi ini berakhir pada musim panas 1919, saat yang terjangkit mati dan yang tersisa perlahan kebal.
Evolusi Virus Corona. Desainer: Sabryna Putri Muviola/kumparan
Apa itu pandemi? Apakah virus corona 2019 ini adalah sebuah pandemi? Apa yang membedakannya dengan epidemi maupun endemi?
Agus Setiawan, sejarawan dengan fokus kesehatan dan Amerika dari Universitas Indonesia, menawarkan definisi sederhana pandemi sebagai “...wabah yang menyebar cepat dan mematikan”.
Sementara itu, Dara Grennan dalam The Journal of the American Medical Association membagi tingkatan penyebaran virus dalam satu kejadian tertentu ke dalam empat kategori: endemi, wabah (outbreak), epidemi, dan pandemi.
Menurutnya, endemi adalah penyakit yang berkembang secara teratur dengan rasio terprediksi dalam sebuah daerah. Contohnya, malaria di Afrika atau demam berdarah di daerah-daerah di Indonesia pada beberapa musim hujan.
Sementara, wabah terjadi ketika ada peningkatan jumlah orang yang terjangkit secara ekstrem (endemi yang terjadi melebihi perkiraan), atau munculnya satu jenis penyakit yang belum pernah ada sebelumnya (satu temuan penyakit bisa saja disebut wabah). Contohnya adalah kolera pada gempa bumi Haiti 2010 atau endemi ebola di beberapa negara Afrika yang berbeda sejak 1976.
Sedangkan epidemi adalah wabah yang menyebar di area geografi yang lebih luas—biasanya di tingkat regional beberapa negara. Contohnya adalah virus Zika (2014) yang berawal dari Brasil namun menyebar hingga ke kebanyakan negara Amerika Latin dan Karibia, juga virus ebola (2014-2016) di negara-negara Afrika Barat.
Meluasnya cakupan geografis sebuah epidemi menjadi global membuatnya menjadi pandemi. Flu Spanyol, Black Death, dan H1N1 pada 2009 menjadi contoh dari pandemi.
Meski terlihat sederhana, menerapkan status epidemi-pandemi di dunia nyata tak semudah yang dibayangkan. Selain penyebaran, keganasan (ditunjukkan dengan rasio kematian) sebuah penyakit menjadi kategori yang harus diperhatikan. Flu Spanyol, misalnya, punya rasio kematian sampai 20 persen. Sementara itu, Black Death punya rasio kematian lebih tinggi lagi, yaitu 50 persen.
Apakah novel coronavirus 2019 bisa menjadi pandemi? Bisa saja.
Sampai saat ini, WHO masih menyebut 2019-nCoV sebagai wabah. Namun, dengan perkembangan kasus yang terus berjalan dan angka yang terus berkembang, butuh waktu lebih lama untuk menilai seberapa menular dan seberapa mematikan novel coronavirus 2019 ini.
Pada akhirnya, penetapan status global health emergency adalah langkah politis WHO untuk meningkatkan kewaspadaan dunia terhadap ancaman novel coronavirus. Harapannya, status ini mempercepat pengumpulan sumber daya, mendorong respons terkoordinasi komunitas global, memberi pedoman kebijakan buat negara, menghentikan penyebaran virus secara cepat, dan akhirnya mencegah pandemi terjadi.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten