Harapan Sasi di Arguni: Pala Kaimana Tak Lagi Merana

18 Maret 2022 9:56 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Esron dan keluarga, warga Arguni Bawah yang menanam Pala di perkebunan, Kab Kaiman, Papua Barat. Foto:  Retyan Sekar Nurani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Esron dan keluarga, warga Arguni Bawah yang menanam Pala di perkebunan, Kab Kaiman, Papua Barat. Foto: Retyan Sekar Nurani/kumparan
ADVERTISEMENT
Warga Kampung Kufuriyai dan Kampung Manggera, Distrik Arguni Bawah, Kaimana, Papua Barat bangun di pagi buta, Rabu (16/3), dengan harapan baru.
ADVERTISEMENT
Ada sebagian warga yang bahkan sepakat untuk terjaga, menuntaskan persiapan tradisi yang belasan hingga puluhan tahun terlupakan. Tradisi itu adalah Sasi Pala.
Bagi masyarakat Indonesia terutama di bagian Timur, Pala bukan tumbuhan asing dan sudah terkenal sebagai rempah nusantara. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah menargetkan produksi pala nasional akan naik dari 37.496 ton pada 2019 menjadi 80.445 ton pada 2024.
Meski demikian, di Kabupaten Kaimana, harga pala anjlok. Kualitas sumber utama mata pencaharian masyarakat dua kampung tersebut dinilai kalah saing dengan daerah Timur lainnya, seperti di Kabupaten Fak-fak, Papua Barat dan Banda, Maluku.
Warga Arguni Bawah menunjukan tanaman Pala di perkebunan, Kab Kaiman, Papua Barat. Foto: Retyan Sekar Nurani/kumparan
Sasi Pala atau larangan untuk memungut dan memetik hasil panen pala sebelum buah matang akhirnya dilakukan. Tradisi nenek moyang itu bertujuan supaya masyarakat mendapat hasil yang lebih baik dan menjaga keseimbangan alam.
ADVERTISEMENT
Ketua Suku Kufuriyai, Yosef Surune (47) mengungkap, sebelumnya warga terpaksa memetik atau memanen pala sebelum waktu panen karena desakan ekonomi.
"Selama ini warga terburu-buru memetik pala karena kebutuhan, masih muda belum bagus sudah dipetik, karena untuk beli pangan dan kebutuhan pokok lainnya. Jadi Pala dianggap kurang kualitas, mau tidak mau dijual dengan harga seadanya," tutur Ketua Suku Kufuriyai, Yosef Surune (47) kepada kumparan.
Rata-rata, hasil biji pala di Arguni Bawah dijual dengan rentan Rp 30 ribu sampai Rp 40 ribu per kilogram. Sementara bunga atau fuli dihargai Rp 180 ribu per kilogram.
Tanaman Pala di perkebunan, Kab Kaiman, Papua Barat. Foto: Retyan Sekar Nurani/kumparan
Dari penghasilan itu, para warga hanya bisa mendapat keuntungan dalam jumlah kecil. Pasalnya, menurut Yosef, panen Pala tidak mampu menutup ongkos yang dikeluarkan dalam mendistribusikan hasil panen ke Kota Kaimana.
ADVERTISEMENT
Hal itu juga disebabkan karena letak kedua kampung tersebut berada jauh dari pesisir pantai, sekitar 5 kilometer. Sedangkan kondisi jalan tidak memadahi, bahkan belum diaspal. Hujan turun sudah pasti berlumpur, sehingga sulit membawa hasil panen dari kampung masing-masing.
Setelah sampai di pelabuhan, mereka masih harus membayar ongkos lagi untuk menyeberang ke Kota Kaimana dengan speed boat selama satu jam.
Direktur Komunikasi dan Mobilisasi Pemuda Yayasan EcoNusa Nina Nuraisyiah mengatakan, Yayasan EcoNusa melakukan kajian produksi dan potensi pala di empat kampung tersebut pada Mei 2021 lalu.
Keempat kampung masing-masing memiliki luas lahan perkebunan pala seluas 40-78 hektare dengan pendapatan Rp 39 juta – Rp 62 juta per tahun.
"Kita melakukan kajian potensi pala di sini selama dua tahun, kerja sama dengan UNIPA dan melakukan pendampingan kepada warga," tutur Nina.
ADVERTISEMENT
Nina memastikan pendekatan yang dilakukan ke masyarakat adalah memastikan kualitas buah yang baik dengan cara yang dipilih masyarakat sendiri, Sasi Pala itu salah satunya.

Sasi sebagai ajaran nenek moyang, menjaga tradisi dan keseimbangan alam

Masyarakat empat kampung di Arguni Bawah lainnya, yakni Kampung Egarwara, Wermenu, Kufuryai, dan Manggera, akhirnya sepakat untuk melaksanakan Sasi. Sasi Pala di Kufuryai dan Manggera dilaksanakan di waktu yang sama.
Warga kedua kampung yang merupakan Suku Irarutu tersebut memulai proses Sasi Pala dengan tarian adat. Mereka berjalan dengan dua orang laki-laki di depan memukul tifa, sementara dua perempuan pakaian adat menari bergandengan diikuti sejumlah penari lainnya menuju perkebunan.
Tarian Suku Adat Iraruto, Distrik Arguni Bawah, Kabupaten Kaimana, Provinsi Papua Barat dalam tradisi Sasi Pala. Foto: Retyan Sekar Nurani/kumparan
Tarian Suku Adat Iraruto, Distrik Arguni Bawah, Kabupaten Kaimana, Provinsi Papua Barat dalam tradisi Sasi Pala. Foto: Retyan Sekar Nurani/kumparan
Kemudian, ketua suku dan ketua adat memulainya dengan membakar korek negeri, meletakkan paruku, kembakutu, sirih atau kanani, pinang buek, kapur urofuru di sebuah wadah yang dibuat dari pelepah sagu.
ADVERTISEMENT
"Kami menjadi teringat kembali, budaya kami dari nenek moyang untuk membuat sasi adat saat ini," tutur Yousef saat memberi pesan di akhir ritual.
Tradisi Sasi Pala di Distrik Arguni Bawah Kabupaten Kaimana dipimpin oleh Kepala Suku Yousef Surune dan dua ketua adat Kampung Kufuriyai dan Manggera, Rabu (16/3). Foto: Retyan Sekar Nurani/kumparan
Yousef sendiri mengaku baru pertama kali melaksanakan adat Sasi Pala selama hampir 50 tahun dan terakhir hannya mendengarnya dari cerita pendahulu.
Namun ia meyakini, menurut kepercayaan Suku Irarutu, apabila sudah diberlakukan Sasi dan warga nekat memungut atau memetik panen Pala sebelum Sasi selesai atau dinamakan Buka Sasi, maka orang tersebut akan menerima ganjarannya.
Sanksi tersebut dirasakan oleh warga yang melanggar akibat hukum alam, yakni merasa sakit, jatuh dari pohon tersebut, hingga melukai kakinya sendiri dengan parang.
"Itu akan menjadi musibah berat bagi dia," terang Yousef.
Tradisi Sasi Pala di Distrik Arguni Bawah Kabupaten Kaimana dipimpin oleh Kepala Suku Yousef Surune dan dua ketua adat Kampung Kufuriyai dan Manggera, Rabu (16/3). Foto: Retyan Sekar Nurani/kumparan
Kepala Kampung Kufuriyai, Beatrix, menyebut bahwa Sasi Pala tidak hanya menjamin kualitas pala yang lebih baik, namun juga menjaga ketersediaan sumber daya alam agar tetap lestari.
ADVERTISEMENT
"Jika hukum sasi adat tidak ada, maka akan mengakibatkan terjadinya pemanfaatan secara besar-besaran yang dapat merusak lingkungan," tuturnya.

Masa Buka Sasi

ADVERTISEMENT
Sasi Pala akan dibuka dalam jangka waktu yang disepakati oleh warga setempat. Umumnya pada saat masa panen, di mana buah Pala sudah tumbuh dengan mendekati sempurna.
Menurut salah seorang warga Kampung Egerwara, Esron, buah Pala yang sudah matang ditandai dengan bintik-bintik kecokelatan pada penampilan buahnya.
"Kalau matang buahnya tampak luar ada titik kecokelatan. Saat dibuka, bijinya tidak pucat, tapi gelap bahkan sampai hitam," tutur Esron.
"Saya juga menanti Sasi nanti di kampung saya. Harapannya sasi bisa membuat kualitas pala lebih baik. Jika sebelumnya pendapatan 8 juta menunggu 3-4 bulan, cuma bisa dicukup-cukupkan saja, diharapkan dengan sasi pala bisa lebih banyak," ungkapnya.
Warga Arguni Bawah menunjukan tanaman Pala di perkebunan, Kab Kaiman, Papua Barat. Foto: Retyan Sekar Nurani/kumparan
Yousef menambahkan, dalam setahun, akan ada dua kali musim panen. Apabila sasi dimulai pada Januari, maka Buka Sasi akan dibuka pada Mei. Sementara untuk Juli akan panen pada Desember.
ADVERTISEMENT
Namun perubahan cuaca mengakibatkan waktu musim panen berubah. Sehingga disepakati Buka Sasi di Kufuriyai dan Manggera terlaksana di Maret dan berakhir pada Oktober. Disusul oleh Egerwara dan Warmena di Juli yang berakhir pada Desember.