Haruskah Presiden Indonesia Dijabat Orang Jawa?

19 Desember 2021 20:25 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi rombongan presiden. Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi rombongan presiden. Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
ADVERTISEMENT
Total Politik menggelar diskusi online dan offline melalui program #Sarafi24. Diskusi mereka membahas seputar dinamika politik jelang Pemilu 2024.
ADVERTISEMENT
Dalam diskusi terbaru, mereka membahas polemik Presiden Indonesia. Sebab, selama ini jabatan presiden selalu dijabat oleh orang Jawa. Akhirnya, muncul pakem Presiden harus berasal dari Jawa.
Sejarah mencatat, sejak rezim Soekarno hingga Joko Widodo, Presiden Indonesia berasal dari Jawa. Hanya BJ Habibie saja yang berasal dari Sulawesi Selatan.
Politikus Partai Gerindra, Arief Poyuono, mengatakan orang Jawa pasti unggul dalam pemilihan presiden. Sebab, sekitar 40 persen pemilih adalah orang Jawa. Keunggulan itu juga tercermin dalam beberapa hasil survei.
"Setiap survei pasti unggul orang Jawa karena 40 persen orang Jawa," kata Arief dalam diskusi "Haruskah Presiden Indonesia Orang Jawa?" yang diselenggarakan Total Politik pada 19 Desember 2021 di Warung Upnormal, Cikini, Jakarta Pusat.
ADVERTISEMENT
Arief meyakini beberapa calon yang disorot lembaga survei, seperti Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, Airlangga Hartarto mereka semua calon presiden yang berasal dari Jawa. Mereka bisa lebih diterima karena orang Jawa tersebar di Indonesia dan inklusif.
"Yang menang pasti mayoritas Jawa," ujar Arief.
Ahli Hukum Tata Negara, Refly Haru. Foto: ANTARAFOTO_Indrianto Eko Suwarso
Namun, Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun memiliki pandangan lain. Refly mengatakan pakem Presiden Indonesia harus orang Jawa sudah terlalu usang. Ia menjabarkan ada dua pendekatan dalam melihat Jawa sebagai etnisitas dan teritorial.
"Ke depan pakem presiden Jawa itu bisa jebol," kata Refly.
Refly menyebut, dalam beberapa pemilihan presiden, ada beberapa pakem yang dulu diyakini kini berhasil diterabas. Seperti pada pakem capres dan cawapres itu harus berasal dari unsur Islam-nasionalis.
ADVERTISEMENT
Pakem itu awalnya diyakini namun pada akhirnya diterabas oleh pencalonan SBY-Boediono pada 2009. Mereka berasal dari unsur nasionalis.
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin saat sidang kabinet paripurna perdana di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (24/10/2019). Foto: Dok. Rusman - Biro Pers Sekretariat Presiden
Kemudian pakem militer-sipil yang juga berhasil diterabas oleh Joko Widodo dan Ma'ruf Amin yang keduanya berasal dari unsur sipil.
"Pakem yang belum itu kalau orang luar Jawa bisa jadi presiden. Ke depan cara pandang ini lebih modern. Pakem militer-sipil sudah jebol," kata Refly.
Refly kemudian menyebut, salah satu hasil survei menyatakan kapabilitas menjadi faktor penentu. Namun, dia mewanti-wanti kalau partai koalisi pemerintah sebanyak 82 persen yang ada di parlemen sepakat untuk mengusung dua pasangan calon.
"Saya khawatir partai koalisi 82 persen, kalau mereka bersepakat calonnya tinggal dibagi dua saja," kata Refly.
Petugas menunjukkan sejumlah barang bukti dugaan politik uang pada Pemilu 2019 di kantor Bawaslu Temanggung, Jawa Tengah, Selasa (16/4/2019). Foto: ANTARA FOTO/Anis Efizudin
Faktor lain yang dikhawatirkan Refly adalah politik uang. Menurut dia, pemilih saat ini semakin rasional. Namun, rasionalitas masih bisa tebuyarkan oleh politik uang.
ADVERTISEMENT
"Ketika semua ngasih duit maka yang dipilih yang memiliki unsur kedekatan," ujar Refly.
Sementara Budayawan M. Sobary melihat isu ini hanya romantisme hegemoni lama yang terus dimanfaatkan oleh kepentingan politik dan ekonomi para elite. Menurutnya, isu ini terus direkapitalisasi.
“Ada yang memainkan romantisme hegemoni lama Jawa dan non-Jawa dan itu dimanfaatkan,” kata Sobary.