Harvey Moeis Bantah Kumpulkan Uang Timah Berkedok CSR: Itu Kas Sosial

23 Oktober 2024 15:44 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi timah di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (23/10/2024). Foto: Jonathan Devin/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi timah di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (23/10/2024). Foto: Jonathan Devin/kumparan
ADVERTISEMENT
Harvey Moeis membantah telah mengumpulkan uang pengamanan kegiatan tambang ilegal di wilayah IUP PT Timah yang dibalut dengan kedok dana corporate social responsibility (CSR).
ADVERTISEMENT
Hal itu disampaikan Harvey ketika dihadirkan sebagai saksi mahkota dalam sidang kasus dugaan korupsi timah di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (23/10).
Harvey bersaksi untuk terdakwa crazy rich PIK, Helena Lim; Dirut PT Timah, Mochtar Riza Pahlevi; Dirkeu PT Timah, Emil Elmindra; dan Dirut PT Stanindo Inti Perkasa, MB Gunawan.
Mulanya, jaksa mencecar Harvey soal adanya dana CSR yang dikumpulkannya dari 4 smelter swasta. Para smelter swasta itu, yakni CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa dan PT Tinindo Inter Nusa.
Harvey membantah hal itu. Ia mengeklaim, yang dia kumpulkan adalah dana kas sosial.
"Izin menjelaskan, Yang Mulia, dari pertama kali saya bertemu dengan para smelter, tidak pernah kita menyebut CSR, Pak. Karena CSR itu saya tahu persis adalah tanggung jawab dari masing-masing perusahaan, yang kami sepakati adalah kami mau mengumpulkan kas yang diperuntukkan untuk sosial," beber Harvey.
ADVERTISEMENT
"Tapi ketika penyidikan ini, tiba-tiba muncul lah istilah CSR, Pak, dan itu dipakai, konsisten sama semua orang. Jadi saya, di BAP saya, saya udah sempat menyanggah juga, tapi istilah CSR itu dipakai sampai selesai sampai hari ini, Pak" tambah dia.
Jaksa lantas mengkonfirmasi berbagai keterangan Harvey dalam beberapa poin berita acara pemeriksaan (BAP). Pada keterangan itu, Harvey mengakuinya sebagai dana CSR.
"Sebelum lanjut ke saudara memahaminya sebagai uang kas. Saya mau pastikan dulu ini beberapa keterangan Saudara mengenai CSR. Ini banyak nih, 14, 15, 16, 17 dan seterusnya, keterangan Saudara itu selalu menggunakan istilah CSR. Itu gimana?" cecar jaksa.
"Iya, Pak. Saya sudah menyampaikan itu kas. tapi dari penyidik bilang CSR, ya sudah lah saya...," kata Harvey.
ADVERTISEMENT
"Ya, jangan begitu nanti, harus kita clear kan, karena penyidik bisa kita hadirkan di sini. Kalau Saudara dipaksa untuk menyebut istilah CSR itu dalam keterangan Saudara," sahut jaksa.
"Tidak dipaksa, Pak. Tapi ketika penyidikan, penyidik menyampaikan bahwa semuanya bilang ini CSR. Ya, udah saya bilang, ya, sudah kalau itu hanya istilah, ya, sudah saya ikut aja," ucap Harvey.
Harvey lantas menjelaskan, uang kas sosial itu dikumpulkannya atas pesan Kapolda Babel saat itu, Syaiful Zachri, yang meminta agar tetap memerhatikan kondisi lingkungan.
"Izin menjelaskan lagi, jadi ketika solusi untuk membantu PT Timah ini sudah didapatkan. Saya kembali melapor kepada yamg memberi amanah saya pertama kali, Bapak almarhum Kapolda. Saya bilang, 'kayaknya ini sudah dapat solusi yang bagus untuk membantu PT Timah'" jelas Harvey.
ADVERTISEMENT
"Solusinya tadi kerja sama smelter?" tanya jaksa.
"Betul, Pak, harapannya negara bisa untung dan lain-lain, Pak. Lalu Beliau bilang, 'ya sudah bagus, kerja yang baik. Jangan lupa sama masyarakat dan lingkungan'. Saya sampaikan makanya ke teman-teman juga. Ketika itu, makanya kita berembug, jadi bagaimana caranya kita memperhatikan masyarakat dan lingkungan itu. Makanya kita sepakati ketika itu, kita coba pakai acuan, Pak, benchmark adalah 500 USD per ton. Tapi itu sifatnya adalah sukarela, tidak ada hitam di atas putih," beber Harvey.
Dalam dakwaan, Harvey yang merupakan perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT) telah melakukan pertemuan dengan sejumlah pihak.
Termasuk Mochtar Riza Pahlevi Tabrani selaku Direktur Utama PT Timah; Alwin Albar selaku Direktur Operasi dan Produksi PT Timah; serta 27 pemilik smelter swasta.
ADVERTISEMENT
Pertemuan itu membahas permintaan Riza dan Alwin atas bijih timah 5% dari kuota ekspor smelter-smelter tersebut. Sebab, bijih timah itu disebut merupakan hasil kegiatan penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah.
Harvey kemudian meminta beberapa perusahaan smelter, yakni CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Inter Nusa untuk membayar biaya 'pengamanan' sebesar USD 500 hingga USD 750 per metrik ton.
Pembayaran itu dibuat seolah sebagai dana Corporate Social Responsibility (CSR) yang dikelola Harvey atas nama PT RBT.