Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Lie detector atau tes kebohongan kembali menjadi perbincangan di tengah sidang kasus pembunuhan Brigadir Yosua dengan terdakwa Ferdy Sambo dkk. Dalam kasus itu, Ferdy diuji keterangannya dengan menggunakan alat yang biasa disebut poligraf.
ADVERTISEMENT
Dalam persidangan, ahli menyebut pernyataan Sambo terindikasi bohong. Tapi, Sambo berkeras poligraf tidak bisa dijadikan alat bukti dalam persidangan.
Jadi, bisakah poligraf jadi penentu keputusan hakim dalam sebuah perkara?
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, pada dasarnya, poligraf merupakan alat bantu untuk memudahkan penyidik dalam mendalam sebuah kasus.
"Ya poligraf itu kan alat untuk menguji tes kebohongan seseorang dalam menjawab pertanyaan. Itu kan alat, itu digunakan polisi ketika penyidikan. Nah, itu juga yang oleh polisi dilampirkan sebagai bagian dari berita acara," ujar Fickar saat dihubungi, Jumat (16/12).
Berdasarkan pasal 184 KUHAP, hasil poligraf memang tidak bisa dipakai sebagai barang bukti. Dengan begitu, saksi atau terdakwa sekalipun bisa saja berbohong selama memberi keterangan dalam persidangan meski sudah ada hasil poligraf.
ADVERTISEMENT
"Jadi kalau saksi ya terutama, kalau terdakwa sih mau bohong juga enggak apa-apa, kalau terdakwa itu haknya dia karena dia enggak disumpah. Saksi itu kalau dia palsu atau kalau dia bohong maka dia akan dibandingkan dengan saksi-saksi lain, saksi-saksi lain tentang objek yang sama, tentang kejadian yang sama," lanjut dia.
Berikut isi pasal 184 KUHAP ayat 1 dan 2:
(1) Alat bukti yang sah ialah:
a.keterangan saksi;
b.keterangan ahli;
c.surat;
d.petunjuk;
e.keterangan terdakwa.
(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Namun, hasil poligraf bukan berarti tidak bermakna di persidangan. Fickar mengatakan, hasil poligraf bisa jadi alat bukti asal dituangkan dalam bentuk surat sebagai keterangan resmi ahli sesuai dalam KUHAP.
ADVERTISEMENT
”Kalau dia [hasil poligraf] dijelaskan oleh saksi ahli umpamanya, itu kan jadi keterangan ahli. Ini kan kemarin diterangkan oleh ahli-ahli itu yang periksa itu kan yang polisi-polisi itu kan? ya itu jadi keterangan ahli, kalau enggak dituangkan dalam bukti surat. Kalau dituangkan dalam bukti surat jadi bukti surat, begitu," imbuhnya.
Dalam konteks persidangan, semua keputusan ada di tangan hakim, termasuk mau menggunakan alat bukti atau keterangan mana untuk memutus sebuah kasus. Sampai akhirnya pada vonis terhadap terdakwa.
"Nah Hakim bebas mau pakai keterangannya [atau tidak], hakim bisa menyimpulkan gitu, bahwa ini kok lain sendiri. Artinya hakim bisa menyimpulkan ini pasti enggak bener nih keterangan. Objeknya sama yang lain bilang A kok yang ini bilang B umpamanya, begitu. Jadi itu semua kewenangan ada di hakim, gitu," kata Fickar.
ADVERTISEMENT
"Itu kewenangannya hakim, iya, artinya hakim enggak yakin dengan itu kalau tidak [ya tidak] dipertimbangkan, kalau dipertimbangkan oleh hakim artinya hakim yakin, gitu," pungkasnya.