Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Hasil Reportase Se-Nusantara: Kita Salah Kaprah Mengelola Sampah
21 Februari 2019 19:00 WIB
Diperbarui 21 Maret 2019 0:03 WIB
ADVERTISEMENT
Perilaku warga membakar sampah ada dari Aceh hingga Papua. Mereka yang melakukannya biasanya punya alasan sederhana: tidak mau membayar iuran kebersihan hingga tidak adanya petugas kebersihan yang akan mengangkut sampah ke Tempat Pembuangan Akhir.
ADVERTISEMENT
Meski terkesan remeh, nyatanya proses membakar sampah menciptakan masalah dengan sederet dampak bagi kesehatan manusia maupun lingkungan. Sampah-sampah yang dibakar menghasilkan berbagai macam gas berbahaya, seperti karbon dioksida (CO2) dan karbon monoksida (CO).
Jika dihirup manusia, gas-gas itu dapat mengganggu sistem pernapasan hingga memicu kanker paru-paru. Sedangkan dampak bagi lingkungan ialah membuat lapisan ozon menipis, sehingga suhu bumi meningkat atau yang dikenal dengan fenomena global warming.
Di Hari Peduli Sampah Nasional 21 Februari ini, media-media lokal yang menjadi partner kumparan menyajikan hasil liputan tentang permasalahan sampah di daerah mereka, termasuk potret warga membakar sampah.
1. Dikepung Sampah sampai ke Daerah
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2015 menyatakan Indonesia menjadi negara penyumbang sampah terbanyak kedua dengan 175.000 ton sampah per hari. Jumlah itu berasal dari rata-rata per hari di berbagai daerah, misalnya 230 ton di Kota Banda Aceh, 400 ton di Pontianak, 520 ton di Gorontalo, 650 ton di Kota Malang, hingga 840 ton di Kota Bandar Lampung.
ADVERTISEMENT
Tak dapat dimungkiri, di berbagai daerah sampah menciptakan sejumlah masalah, seperti kurangnya teknologi pengolahan sampah dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA), serta jumlah truk pengangkut sampah yang tak cukup. Akibatnya, banyak warga memilih untuk membuang sampah sembarangan, menguburnya, atau membakarnya.
Di Bali, 30 hektare hutan bakau tertutup sampah karena kurangnya TPA. Kemudian di Kota Kendari, hutan bakau menyusut dari 525 hektare menjadi 367,5 hektare karena pencemaran sampah plastik. Sedangkan di perairan Papua Barat ditemukan 451,7 kilogram sampah plastik yang hanyut ke dasar laut.
Baca kisah lengkap tentang persoalan sampah di berbagai daerah dalam story berikut:
2. Membakar Sampah, Bukan Solusi Masalah
Membakar sampah kerap dianggap sebagai solusi praktis sekaligus murah. Sebagian masyarakat tak menyadari dampak buruk yang timbul dari pembakaran sampah, baik terhadap makhluk hidup maupun lingkungan. Namun, dalam kasus-kasus tertentu, masalah ini timbul justru sebagai buntut dari sejumlah persoalan.
ADVERTISEMENT
Beberapa orang yang diwawancarai partner kumparan menyatakan alasan mereka membakar sampah: jauhnya tempat pembuangan sampah, mahalnya ongkos jasa angkut sampah, tidak semua jenis sampah diangkut, tidak teraturnya jadwal pengangkutan sampah, hingga tidak ada petugas kebersihan yang mencapai permukiman tertentu.
Tak heran jika sebagian masyarakat menganggap aktivitas membakar sampah sebagai kebiasaan yang wajar atau sudah lazim, meski mereka menyadari dampaknya. Bahkan satu kelompok relawan di Sumatera Utara memilih membakar sebagian sampah tepat di Hari Peduli Sampah Nasional.
"Sudah menjadi kebiasaan, hampir setiap pagi atau sore hari pasti ada warga yang masih membakar sampah," kata Wiwik, warga Kecamatan Arut Selatan, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.
Simak potret kebiasaan warga membakar sampah dalam story berikut:
ADVERTISEMENT
3. Mengelola Sampah, Menjemput Berkah
Dibutuhkan inisiatif dan inovasi untuk membantu menyelesaikan masalah sampah. Kedua hal itulah yang sudah dipraktikkan masyarakat di berbagai daerah tanpa mengandalkan instruksi atau program pemerintah.
Salah satu inovasi yang banyak dilakukan berupa bank sampah, seperti Bank Sampah Ramah Lingkungan Graha Indah di Kota Samarinda yang persis seperti bank pada umumnya dengan teller, customer service, dan buku tabungan; dan bank sampah di Kota Makassar yang dapat menghasilkan Rp 100-150 juta per bulan dan telah menjadi percontohan nasional.
Cara lain mengelola sampah, di antaranya: di Sukoharjo, menjadikan sampah organik sebagai pupuk; di Surabaya, menggunakan larva lalat hitam yang disebut Black Soldier Fly untuk memakan sampah organik; di Manado, menjadikan sampah botol air minum kemasan sebagai wadah bertanam hidroponik; atau cara unik kelompok teater di Yogyakarta, Sakatoya, menggunakan sampah sebagai properti pertunjukan teater.
ADVERTISEMENT
Ada pula yang menggunakan sampah sebagai bahan kerajinan tangan yang memiliki nilai ekonomi. Contohnya, yaitu sampah plastik dan karung goni yang dimanfaatkan untuk membuat kostum, tas, sepatu, dan pernak-pernik; ban bekas sebagai tempat duduk; kulit kerang, batok kelapa, dan kardus bekas sebagai plakat, lampion, hingga gantungan kunci.
Baca ulasan inspiratif cara mengelola sampah dalam story berikut:
Hasil peliputan 36 partner kumparan ini merepresentasikan persoalan rumit Indonesia yang menghasilkan sekitar 175.000 ton sampah per hari. Setidaknya selama lima tahun terakhir, sedikit sekali program pengelolaan sampah, utamanya yang berasal dari pemerintah.
Badan Pusat Statistik tahun 2014 menyebutkan bahwa 81,16% masyarakat Indonesia tidak memilah sampah. Sementara itu, 10,09% masyarakat sudah memilah sampah tapi sampah itu lalu dicampur lagi ketika diangkut. Hanya 8,75% masyarakat yang sudah memilah sampah yang berujung pemanfaatan.
ADVERTISEMENT
Jenna R. Jambeck dan rekan-rekannya dari University of Georgia menerbitkan jurnal “Plastic Waste Inputs from Land into the Ocean” yang dimuat dalam Science Vol. 347, Issue 6223, pada 13 Februari 2015. Hasilnya, dari 192 negara, Indonesia berada di peringkat kedua setelah China sebagai negara penghasil dan penyumbang sampah plastik ke lautan.
---
Anda bisa menyimak karya jurnalistik para partner kumparan soal pengelolaan sampah dengan mengklik tautan topik Sampah dan Hari Peduli Sampah Nasional .