Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.94.1
Hasto Cerita Wayang: Dewa Serani Ingin Hancurkan Keharmonisan Arjuna-Dresanala
17 Januari 2025 22:56 WIB
ยท
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, mengisahkan cerita Wisanggeni dalam acara wayangan bertajuk "Satyam Eva Jayate: Api Perjuangan Nan Tak Kunjung Padam"di Halaman Masjid At-Taufiq, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Jumat (17/1).
ADVERTISEMENT
Ia menjelaskan bahwa kisah ini memiliki makna mendalam dalam perjalanan PDI Perjuangan yang lahir di tengah gemblengan sejarah.
"Karena itulah pada malam hari ini sengaja kita sampaikan suatu cerita tentang lahirnya Wisanggeni. Wisanggeni ini artinya racun api. Karena dia menggambarkan seluruh suasana kebatinan tentang lahirnya PDI Perjuangan. Kita lahir bukan di tengah-tengah suatu kasur yang begitu empuk. Kita lahir di tengah-tengah gemblengan sejarah," ujar Hasto.
Hasto menuturkan bagaimana Wisanggeni, sejak lahir, menghadapi cobaan besar ketika dibuang ke Kawah Candradimuka, tetapi tidak musnah. Sebaliknya, ia tumbuh menjadi ksatria sakti yang memperjuangkan keadilan dan kesetiakawanan bagi rakyat.
Selain itu, Hasto juga membawakan kisah Arjuna dan Dresanala yang menjadi korban ambisi kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Dewa Serani, anak Batara Guru dan Dewi Durga, merasa cemburu terhadap hubungan harmonis Arjuna dan Dresanala. Ia pun membujuk Dewi Durga agar hubungan mereka dipisahkan dengan menggunakan otoritas Batara Guru.
"Maka cemburulah yang namanya Dewa Serani ini, dan kemudian dia membujuk Ibu Permaisuri yang namanya Dewi Durga agar dipisahkanlah suatu hubungan penuh kasih cinta antara Arjuna dan Dresanala ini. Maka kemudian dengan menggunakan otoritas kekuasaan dari Raja para Dewa, Batara Guru, dilakukan upaya pemisahan secara paksa," jelasnya.
Dalam prosesnya, Batara Narada yang memiliki kejernihan pikir dan moralitas mencoba membela kebenaran. Namun, ia justru dikalahkan oleh ambisi kekuasaan Batara Guru.
Puncaknya, Batara Brahma diperintahkan untuk mempercepat kelahiran bayi dalam kandungan Dresanala, yaitu anak Arjuna yang bernama Wisanggeni sebagai bagian dari ambisi kekuasaan yang dipicu oleh kecemburuan Dewa Serani.
ADVERTISEMENT
"Jadi jabang bayi itu dipaksa lahir lebih cepat karena ambisi kekuasaan, suatu nafsu akibat cemburu yang ditunjukkan oleh Dewa Serani tersebut. Maka kemudian bayi yang lahir jauh lebih cepat karena paksaan tersebut, karena siksaan tersebut, dibuang ke Kawah Candrodimuko."
"Tetapi yang terjadi adalah suatu keajaiban dan kemudian Wisanggeni justru lahir sebagai sosok satria yang sakti mandraguna dan mampu menegakkan kebenaran dan keadilan," ujar Hasto.
Dari cerita tersebut, Hasto menyampaikan tiga pesan moral. Pertama, bahwa ketidakadilan dapat membuat dunia terasa gelap, sebagaimana yang dialami Dresanala. Namun, kebenaran akan selalu menemukan jalannya sendiri.
"Keadilan akan selalu mencari jalannya sendiri. Kebenaran akan menemukan jalannya sendiri. Karena kita pun meyakini Satyam Eva Jayate itu juga bekerja di dalam diri Dresanala dan Wisanggeni itu," katanya.
ADVERTISEMENT
Kedua, kesetiaan pada tugas adalah hal yang harus dijunjung tinggi, seperti yang dicontohkan oleh Batara Narada. Ia tetap memperjuangkan kebenaran meskipun harus kehilangan pangkat dan menghadapi kekuasaan yang lebih besar.
"Jadi bayangkan Narada ini kan patih, patih para Raja Dewa. Dia harus berhadapan dengan Raja Dewa yang di belakangnya ada permaisuri Raja Dewa yang namanya Dewi Durga tersebut," kata dia.
"Tetapi kesetiaan pada tugas akhirnya membuat seorang Narada tampil sebagai seorang dewa yang sempurna karena di dalam hatinya berpijarlah kebenaran itu, cahaya kebenaran itu," ungkapnya.
Ketiga, konflik kehidupan sering kali berakar dari hal-hal sederhana seperti cemburu dan ambisi kekuasaan. Hasto mengutip Bung Karno yang menyatakan bahwa kapitalisme dan imperialisme tidak hanya hadir dalam kolonialisme, tetapi juga bisa muncul dalam diri manusia.
ADVERTISEMENT
"Melalui wayang ini kita diajarkan untuk melakukan introspeksi. Melalui wayang ini kita diajarkan untuk melakukan kritik dan otokritik, dan itulah makna ulang tahun PDI Perjuangan agar dengan kritik dan otokritik itu kita bisa menyadari berbagai kelemahan kita," tandas dia.