Hasto Ingat Era Tim Transisi: Jokowi Tak Jalankan Saran untuk Tindak Mafia

3 Juni 2024 17:12 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto usai acara kuliah umum 'Dilema Intelektual di Masa Gelap Demokrasi: Tawaran Jalan Kebudayaan' di UI, Depok, Senin (3/6/2024). Foto: Thomas Bosco/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto usai acara kuliah umum 'Dilema Intelektual di Masa Gelap Demokrasi: Tawaran Jalan Kebudayaan' di UI, Depok, Senin (3/6/2024). Foto: Thomas Bosco/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, menceritakan pengalamannya saat tergabung dalam tim transisi Jokowi saat peralihan dari SBY.
ADVERTISEMENT
Hasto mengeklaim saat itu, banyak rekomendasi dari PDIP yang tak dijalankan Jokowi termasuk pemberantasan mafia di berbagai bidang.
"Dulu pada masa Pak Jokowi ketika menjadi presiden kami tim transisi juga bertemu [dengan Menkeu]. Meskipun rekomendasinya banyak yang tidak dijalankan," kata Hasto usai mengisi kuliah umum bertajuk 'Dilema Intelektual di Masa Gelap Demokrasi: Tawaran Jalan Kebudayaan' di UI, Depok, Senin (3/6).
"Jadi satu saya sampaikan kepada Pak Jokowi bahwa mafia minyak, mafia pangan, itu enggak ada. Karena semua hanya akan ada, akan eksis, kalau ada akses kekuasaan," lanjut Hasto.
Menurut Hasto, Istana harusnya menjadi lambang supremasi kebijakan hukum. Jika itu terlaksana, ia menilai saat ini tak akan terjadi praktik mafia.
ADVERTISEMENT
"Ketika istana bisa menjadi lambang supremasi kebijakan hukum, maka enggak akan ada mafia-mafia itu. Tapi itu kan enggak dijalankan," tandasnya.
Indonesia Sedang Tidak Baik-baik Saja
Jokowi bersama Megawati dan Puan Maharani saat acara potong tumpeng dalam HUT ke-50 PDIP di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Selasa (10/1/2023). Foto: Dok. PDIP
Kuliah umum yang dihadiri Hasto ini dibawakan oleh Guru Besar Antropologi, Sulistyowati Irianto.
Di depan mimbar ruang Auditorium Mochtar Riady, Sulistyowati mengkritisi kondisi demokrasi di Indonesia yang tengah tidak baik-baik saja. Dia menilai hal itu sudah terjadi sejak adanya revisi Undang-undang KPK pada 2019.
"Setidaknya dimulai ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilemahkah melalui revisi Undang-Undang, dan 'uji kebangsaan' yang menyingkirkan banyak an alan staf KPK. Kemudian terdapat berbagai peristiwa politik hukum yang melemahkan demokrasi sampai pada puncaknya dua tahun ini. Di antaranya adalah keluarnya putusan Mahkamah Agung no.23/2024, menyusul putusan Mahkamah Konstitusi no.90/2023 sebelumnya," terang Sulistyowati di mimbar Auditorium.
ADVERTISEMENT
Segala upaya-upaya yang disebutkan itu dinilai sebagai upaya merusak demokrasi dan melemahkan semangat reformasi.
"Kedua putusan itu bernuansa nepotisme, penuh kejanggalan, dan putusan MK Nomor 90 bahkan dinyatakan cacat secara prosedural maupun substansi dalam dissenting opinion hakim MK sendiri, dan melanggar etika oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Putusan pengadilan semacam ini meruntuhkan wibawa lembaga penegakan hukum tertinggi di republik ini dan menghapus berbagai upaya reformasi," sambungnya.
Wanita yang akrab dipanggil Sulis itu, juga menilai bahwa saat ini penyelenggara negara justru tidak mendasari tindakannya pada hukum.
"Prinsip negara hukum diletakkkan oleh pendiri bangsa menjadi dasar negara kita. Penyelenggara negara wajib mendasarkan tindakannya pada hukum (rule of law), bukan negara kekuasaan (rule by law). Tujuannya agar warganegara terlindungi dari kesewenangan penguasa. Negara hukum sedang mengalami kebangkrutan," tambahnya.
ADVERTISEMENT
Dia menyayangkan suara penyeimbang kekuasaan yang memilih diam. Maka dari itu dia mengusulkan jalur kebudayaan untuk kembali memulihkan Indonesia.
Ada 2 hal yang diusulkan, pertama akses ke sejarah politik, hukum, dan karakter cinta pada ilmu pengetahuan ke masyarakat luas. Agar, sebagai contoh, katanya, tak ada lagi anak muda yang tidak tahu soal peristiwa Reformasi di tahun 1998.
"Jadi tuh hari ini ada anak muda mengatakan 'Saya enggak tahu 98 ada apa karena saya waktu itu belum lahir,' Celakalah suatu bangsa kalau anak mudanya teralienasi dari sejarahnya. Bagaimana bisa membangun Indonesia ke depan kalau enggak tau Indonesia ke belakang pernah ada apa," tutur Sulis.
Hal itu harus terus disuarakan oleh aktivis dari berbagai bidang seperti hukum, keadilan sosial, pro demokrasi, kesehatan, pangan, dan teknologi. Dia juga menekankan bahwa pentingnya peran jurnalis berkarakter dalam untuk mewujudkannya.
ADVERTISEMENT
"Kedua diperlukan membangun kesadaran di kalangan intelektual bahwa ilmuwan seharusnya tidak hanya menjadi gerakan moral, tetapi gerakan sosial. Mengamati dunia empirik, belajar dari realitas dan pengalaman masyarakat dan membawa hasil penelitiannya ke ruang kelas masing-masing. Bila kalangan intelektual kampus menjadi kuat maka akan semakin banyak lahir ilmuwan organik, pejuang bagi masyarakat bangsanya," tutup Sulis.