Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Hati yang Terpanggil untuk Masyarakat Polahi di Pegunungan Gorontalo
28 November 2018 13:37 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:04 WIB
ADVERTISEMENT
Saat itu Leo merasa prihatin. Dia melihat beberapa masyarakat Polahi yang tengah menjual rotan di pasar tak tahu betul perihal mata uang yang beredar. Mereka mengelak dibayar dengana dua lembar lima puluh ribuan karena biasanya yang diberikan adalah selembar seratusan ribu rupiah.
ADVERTISEMENT
Kejadian tersebut membuat Leo bertekad untuk mengunjungi dan mengedukasi masyarakat Polahi yang hidup terasing di pegunungan Boliyohuto, Gorontalo. Leo yang tergabung dalam pecinta alam Korpala akhirnya menempuh perjalanan enam jam mendaki gunung untuk mendapati masyarakat Polahi.
“Mereka tak mengenal angka dan huruf. Mereka buta aksara. Dan itu yang membuat saya jatuh cinta. Saya rela menempuh dua jam perjalanan kendaraan roda empat dari Limboto ke Tolangohula dan 30 menit ditempuh dengan kendaraan roda dua hingga mendaki selama enam jam,” cerita Leo kepada kumparan, Rabu (28/11).
Matanya berbinar ketika pertama kali bertemu dengan mereka. Leo dan rekan-rekannya membawa tas besar berisi baju untuk masyarakat Polahi. Ya, sebelum mengenal baju berupa kain, masyarakat Polahi memakai pakaian dari serat kayu.
ADVERTISEMENT
Leo lantas memberi edukasi pada masyarakat Polahi yang cenderung terbuka. Dia mengenalkan cara hidup bersih dan mengenal mata uang.
“Itu pun masih belum paham, masih terbata-bata, masih bingung,” sebut Leo.
Pun dari segi bahasa Leo kadang menemukan kendala. Masyarakat Polahi bertutur dengan bahasa Gorontalo asli, sementara masyarakat Gorontalo kini bahasanya sudah berakulturasi dengan bahasa lainnya.
Meski mendapati rasa sulit, Leo terus mengagumi masyarakat Polahi. Hidup terasing tanpa listrik, raut kebahagiaan adalah rona-rona yang mendominasi.
“Mereka betah duduk diam sepanjang hari. Karena malam gelap gulita jadi mereka cepat beristirahat dan saat itu waktu masih menunjukan pukul 03.00 WITa mereka sudah bangun. Tanpa aktivitas, duduk diam, sampai pagi kami pun bangun tak ada asap di pertungkuan mereka,” Leo mengenang.
ADVERTISEMENT
Kehidupan yang jauh dari modernitas sehari-hari dijalani masyarakat Polahi. Pemerintah daerah setempat sebenarnya sudah memberikan perhatian. Namun, menurut Leo hal tersebut belum berefek sampai saat ini..
“Kalau pemerintah sebagian ada tapi untuk yang kemarin mereka diislamkan. Nah, oleh pemerintah di Paguyaman. Mereka sempat di-Islamkan tapi tindak lanjutnya tidak ada,” sebut Leo.
Ungkapan Leo tersebut berdasar pada fakta yang dia temukan di lapangan. Dia dan timnya menanyakan perihal 2 kalimat syahadat pada masyarakat Polahi, tapi mereka sama sekali belum tahu.
“Secara de facto, mereka itu memang sudah di-Islamkan oleh pemerintah. (Tapi), Kalau berbicara pemerintah sama sekali belum efeknya buat mereka,” ujar Leo.
Mendapati hal itu, Leo dan timnya pun berupaya mengajarkan cara berdoa dan salat kepada masyarakat Polahi. Mengingat, sebelumnya masyarakat Polahi tidak memiliki kepercayaan apa pun.
ADVERTISEMENT