Hatta, Mitos, dan Legenda Seputar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

22 Agustus 2019 11:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Sukarno (tengah), Wapres Mohammad Hatta (keempat kanan), bersama para menteri kabinet pemerintahan RI pertama di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta, 4 September 1945. Foto: ANTARA FOTO/IPPHOS
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Sukarno (tengah), Wapres Mohammad Hatta (keempat kanan), bersama para menteri kabinet pemerintahan RI pertama di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta, 4 September 1945. Foto: ANTARA FOTO/IPPHOS
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Selama ini sebagian versi catatan sejarah menyebutkan bahwa pada malam menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia, Sukarno dan Hatta diculik oleh sekelompok pemuda ke Rengasdengklok. Mereka dipaksa untuk menandatangani proklamasi.
ADVERTISEMENT
Sejauh mana versi tersebut mengandung kebenaran, Bapak Proklamator, Wakil Presiden RI pertama dan pelaku sejarah Mohammad Hatta menceritakan pandangannya dalam artikel yang pernah ditulisnya dan dipublikasikan di Nieuwe Courant, Selasa (4/9/1951) sebagaimana disalin kumparan Den Haag (22/8) di bawah ini:
Peristiwa-peristiwa sejarah yang sangat penting acap kali disertai dengan berbagai macam mitos dan legenda, demikian Drs. Moh. Hatta memulai artikelnya, berdasarkan fakta-fakta yang tak terbantahkan, menjelaskan tentang cerita mitos yang dirajut di seputar proklamasi kemerdekaan, sekaligus menyingkap ujung selubung misteri yang menyelimuti peristiwa-peristiwa di hari-hari yang bergejolak sebelum 17 Agustus 1945.
Menurut cerita tersebut konon Sukarno dan Hatta tidak setuju dengan kelompok pemuda mengenai proklamasi kemerdekaan, akibatnya kedua tokoh diculik ke Rengasdengklok pada pagi hari tanggal 16 Agustus. Mereka dipaksa untuk menandatangani deklarasi kemerdekaan, yang dibacakan pada hari berikutnya pukul 10 pagi di gedung Jl Pegangsaan Timur 56.
ADVERTISEMENT
Fakta Kejadian
Mohammad Hatta Foto: AFP
Faktanya, lanjut Hatta, sama sekali tidak pernah ada perbedaan pendapat mengenai proklamasi tersebut. Hanya ada perbedaan pendapat mengenai bagaimana caranya proklamasi itu harus terjadi.
Sebagaimana diketahui, Sukarno, Hatta dan dr Radjiman Widjodiningrat dipanggil menghadap ke Dalat (Indochina) oleh Panglima Angkatan Bersenjata Jepang di Asia Tenggara saat itu, Jenderal Terauchi, untuk menerima keputusan pemerintah Jepang perihal kemerdekaan Indonesia.
“Diserahkan kepada anda tuan-tuan, untuk memutuskan kapan Indonesia akan merdeka,” ujar Jenderal Terauchi dalam pertemuan resmi di Dalat dengan ketiga tokoh tersebut pada 12 Agustus 1945.
Sekembalinya dari Dalat, bertemulah Sukarno, Hatta dan dr Radjiman Widjodiningrat di Singapura dengan utusan dari anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dari Sumatera yakni Teuku Hassan, dr. Amir dan mr (meester in de rechten, gelar sarjana hukum Belanda, red) Abbas yang juga dalam perjalanan menuju Jakarta. Mereka juga telah mengetahui atas fakta bahwa Rusia menyatakan perang melawan Jepang dan mulai menginvasi Manchuria.
ADVERTISEMENT
Kami setelah bertukar pikiran merasa yakin bahwa akhir pendudukan Jepang tidak akan lama lagi, bukan dalam hitungan bulan namun dalam hitungan pekan. Atas alasan itu proklamasi kemerdekaan Indonesia harus dilakukan secepatnya.
Setibanya di Jakarta pada 14 Agustus, Bung Karno menyampaikan pidato di bandara Kemayoran kepada khalayak yang datang menyambutnya, “Dulu saya katakan kepada Anda bahwa Indonesia akan merdeka sebelum tanaman jagung berbuah, kini saya katakan kepada Anda bahwa Indonesia akan merdeka sebelum tanaman jagung berbunga,”
Sjahrir Bawa Berita
Pada siang hari 14 Agustus Sjahrir datang memberi tahu saya bahwa Jepang telah meminta damai kepada Sekutu dan bertanya kepada saya, “Bagaimana dengan kemerdekaan kita?” Jawaban saya bahwa soal kemerdekaan kita sepenuhnya ada di tangan kita.
ADVERTISEMENT
Menurut pendapat Sjahrir adalah tidak tepat seandainya kemerdekaan diproklamirkan oleh Panitia Persiapan, sebab kemerdekaan Indonesia yang lahir dengan cara seperti itu oleh Sekutu setidaknya akan dicap sebagai bikinan Jepang. Yang terbaik adalah jika Bung Karno sendiri yang memproklamirkan kemerdekaan melalui radio, sebagai pemimpin rakyat atas nama rakyat.
Bung Karno tidak sependapat dengan pemikiran Sjahrir, karena baginya selaku ketua Panitia Persiapan tidak mungkin tampil tanpa bermusyawarah dengan anggota-anggota panitia lainnya. Dia bahkan ingin mengetahui lebih dulu langsung dari Gunseikanbu sendiri seputar kapitulasi Jepang.
Setelah pada hari berikutnya tanggal 15 Agustus diperoleh konfirmasi bahwa Jepang memang telah menyerah, maka saya memutuskan memanggil Panitia Persiapan untuk rapat pada pukul 10.00 di kantor Dewan Sanyo, Jl. Pejambon 2.
ADVERTISEMENT
Disepakati kemerdekaan akan diproklamirkan secepatnya, konstitusi tanpa banyak debat akan ditetapkan, dan pemerintahan pusat maupun daerah akan disusun dalam beberapa hari.
Anggota-anggota Panitia Persiapan dari luar Jawa diharapkan secepat mungkin agar kembali ke daerah masing-masing, karena tidak tertutup kemungkinan mereka akan dipersulit dalam perjalanan oleh otoritas Jepang, yang setelah kapitulasi mungkin akan bertindak sebagai kepanjangan tangan sekutu.
Meskipun fakta bahwa Jepang telah menyatakan persetujuannya terhadap kemerdekaan Indonesia, namun pasukan Jepang di Indonesia bisa saja oleh Sekutu diperintahkan untuk menekan dan menumpas gerakan kemerdekaan Indonesia.
Kita harus mempertimbangkan kemungkinan bahwa Sekutu akan mencoba menempatkan Indonesia kembali di bawah kekuasaan Belanda. Jadi harus ada revolusi terorganisir untuk mempertahankan kemerdekaan, suatu perjuangan yang dilakukan oleh seluruh rakyat.
ADVERTISEMENT
Atas dasar keyakinan tersebut saya menolak teori kudeta oleh pemuda, PETA, dan rakyat, sebagaimana diusulkan kepada saya siang itu oleh almarhum Subianto dan Subadio.
Penculikan
Mohammad Hatta Foto: Dok. ANP
Pada 16 Agustus 1945 pukul 10 pagi semua anggota Panitia Persiapan, demikian pula dengan sejumlah tokoh terkemuka dan perwakilan dari pers, yang secara khusus diundang, telah berkumpul di gedung Jl. Pejambon 2. Tapi mereka yang mengundang orang-orang itu tidak terlihat hadir, yakni Soekarno dan Hatta, yang pada pukul 04.00 pagi telah lebih dulu diculik ke Rengasdengklok oleh Sukarni dkk.
Alasan penculikan adalah ini: karena Bung Karno telah menolak memproklamirkan kemerdekaan dengan cara seperti yang mereka inginkan, maka mereka terpaksa mengambil tindakan.
Di Jakarta mereka akan melancarkan revolusi dengan tujuan kudeta kekuasaan dari Jepang. Mereka menganggap penting untuk mengevakuasi Bung Karno dan Hatta ke Rengasdengklok untuk melanjutkan pemerintahan dari sana.
ADVERTISEMENT
Ketika saya mengetahui hal ini, saya melihat di depan mata saya bahaya mengintai yang mengancam kita. Langkah kurang matang dari para pemuda ini akan gagal seketika. Kudeta mereka akan menghancurkan revolusi Indonesia.
Seperti kelak terbukti, para pemuda yang berapi-api ini tidak mampu mempraktikkan teori mereka sendiri. Kudeta yang mereka rencanakan tidak bisa mereka laksanakan, di luar Jakarta sama sekali tidak ada persiapan-persiapan. Hanya pasukan Jepang saja yang terlihat berdiri siaga di mana-mana dengan persenjataan lengkap untuk menghadapi segala kemungkinan.
Di Rengasdengklok juga hampir tidak ada pembicaraan sama sekali. Saya menghabiskan waktu sepanjang hari di sana dengan santai, seolah-olah untuk menjadi saksi tentang gagasan yang sia-sia, yang tidak berdasarkan pada realita.
ADVERTISEMENT
Namun jika kelak orang akan membicarakan tempat kudeta yang sebenarnya terjadi, maka tempat itu adalah Rengasdengklok. Atas desakan Sukarni, pasukan PETA di sana menahan seorang Wedana dan tiga orang Jepang lainnya. Juga Sutardjo Kartohadikusumo, saat itu menjabat sebagai Sjutjokan (Bupati) Jakarta, yang kebetulan pada hari itu sedang berada di Rangasdengklok untuk memeriksa situasi beras, juga ikut ditangkap.
Kudeta ini terjadi secara diam-diam dan dengan cara sangat senyap, sehingga tidak menarik perhatian banyak orang. Namun seorang ahli hukum yang punya pandangan tajam pasti akan mempertanyakan: untuk siapa dan atas nama siapa PETA melakukan aksi kudeta? Untuk dan atas nama Indonesia Merdeka? Tapi Indonesia Merdeka saat itu belum ada. Bahkan sama sekali belum ada pemerintahan revolusioner.
ADVERTISEMENT
Kembali ke Jakarta
Pada sore hari datang mr. Subardjo sebagai utusan Gunseikanbu untuk menjemput kami. Sukarni tak punya pijakan apa pun untuk menghalangi hal ini, sehingga pada malam hari itu juga kami kembali ke Jakarta, diikuti Sutardjo dan Sukarni. Satu-satunya pertanyaan yuridis yang muncul adalah: apa yang harus dilakukan sekarang dengan wedana yang ditangkap? Jawaban saya adalah: lepaskan dia.
Sejak malam itu kepemimpinan revolusi kembali berada di tangan Soekarno-Hatta. Hingga larut malam setelah pembicaraan panjang dengan Sumobutjo, di mana dari pembicaraan itu terbukti bahwa Jepang memang hanya bertindak sebagai kepanjangan tangan dan atas perintah Sekutu, maka selanjutnya diadakan rapat anggota Panitia Persiapan dengan wakil-wakil dari sejumlah pihak. Dalam rapat tersebut, atas desakan kelompok pemuda, diputuskan proklamasi Indonesia Merdeka hanya akan ditandatangani oleh Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pada 17 Agustus 1945 pukul 10.00 pagi proklamasi kemerdekaan dikumandangkan kepada rakyat, disusul kemudian dengan pengibaran bendera Merah-Putih. Keesokan harinya, Panitia Persiapan, yang jumlah anggotanya telah diperluas, memulai tugas-tugasnya yakni meletakkan dasar-dasar untuk kelengkapan negara.
Dari fakta-fakta tersebut terbukti dengan jelas bahwa perihal proklamasi Indonesia Merdeka sama sekali tidak ada perbedaan pendapat, melainkan hanya mengenai bagaimana caranya proklamasi itu harus dilakukan.
Yang Mereka Inginkan
Sekelompok pemuda di Jakarta yang menyebut diri mereka Angkatan Pemuda Indonesia (API), mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran, dan kelompok Sjahrir, setelah ada kepastian bahwa Jepang telah menyerah, berpendapat bahwa proklamasi harus dilakukan dengan cara revolusioner, menolak apa pun yang berbau bikinan Jepang, Indonesia Merdeka bikinan Jepang tak diragukan lagi akan dihancurkan oleh Sekutu.
ADVERTISEMENT
Bukan Panitia Persiapan, tapi Sukarno sendiri, sebagai pemimpin rakyat, yang harus memproklamirkan melalui radio bahwa Indonesia telah memerdekakan dirinya dari penjajahan Jepang.
Namun, kami meyakini bahwa proklamasi harus ditetapkan oleh Panitia Persiapan, yang dipandang mewakili seluruh rakyat di Indonesia. Jika perlu bahkan dapat ditambah dengan sejumlah anggota, yang mewakili kelompok-kelompok tertentu.
Meskipun perwakilan dari Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil dan Maluku ditunjuk oleh Jepang, namun mereka tetap memberikan suara rakyat untuk Indonesia Merdeka. Rasa persatuan ini merupakan faktor sangat penting untuk pelaksanaan revolusi nasional. Dan rasa persatuan internal ini harus mendapat bobot lebih berat dari semua pertimbangan-pertimbangan hukum eksternal mengenai apakah badan ini (panitia) bikinan Jepang atau bukan.
ADVERTISEMENT
Apa yang harus kita perhitungkan mulai sekarang bukanlah Jepang, yang sekarang sudah tidak berdaya, melainkan Sekutu, yang akan melakukan upaya untuk mengembalikan Indonesia ke bawah kekuasaan Belanda. Karena alasan itu, persiapan untuk revolusi tidak boleh ditujukan kepada Jepang, yang sudah menjadi bagian dari masa lalu, tetapi pada Belanda yang akan kembali ke sini untuk mengembalikan kekuasaan mereka.
Perbedaan Prinsipil
Perbedaan pendapat mendasar dalam hal ini adalah bahwa kelompok Soekarno-Hatta dipandang mengikuti jalur legal, sedangkan di sisi lain kelompok API, para mahasiswa dan Sjahrir mengikuti jalur revolusioner.
Dilihat dari sudut pandang yuridis-formil, sikap kelompok yang terakhir ini kelihatannya “revolusioner.” Jalan yang mereka ikuti tampaknya mengarah ke Indonesia Merdeka sebagai hasil dari inisiatif mereka sendiri, bukan bikinan Jepang. Namun jika fakta-faktanya dicermati betul, maka argumen yuridis-formil tidak memiliki makna sama sekali.
ADVERTISEMENT
Bagaimanapun revolusi tidak memperhitungkan masalah yuridis-formil, namun menemukan dukungannya semata-mata pada kekuatan yang tersedia. Belanda yang ingin mengembalikan kekuasaan mereka di Indonesia tidak akan peduli apakah kemerdekaan Indonesia bikinan Jepang atau bikinan Indonesia. Bagi mereka, setiap revolusi yang bertujuan menghilangkan otoritas mereka berarti itu adalah gerakan anti-otoritas yang harus ditumpas.
Persiapan Indonesia Merdeka telah dimulai sejak pendudukan Jepang adalah fakta tak terbantahkan, yang tidak dapat disangkal oleh argumen yuridis-formil apa pun. Konstitusi, yang telah berlaku di Republik Indonesia, telah disusun selama periode pendudukan Jepang oleh Badan Penyelidikan (Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/BPUPKI, red) untuk cita-cita Indonesia Merdeka. Panitia Persiapan yang bersidang setelah proklamasi 17 Agustus 1945 hanya membuat beberapa perubahan, yang tidak berhubungan dengan dasar-dasar konstitusi.
ADVERTISEMENT
Jika benar-benar ingin mengambil langkah-langkah revolusioner, terlepas dari semua kaitan dengan masa lalu, maka proklamasi harus dilakukan oleh orang lain yang namanya bersih dari apa yang disebut kolaborasi dengan Jepang. Orang-orang itu bagaimanapun juga asal bukan Soekarno-Hatta.
Tetapi kombinasi API-Mahasiswa-Sjahrir tidak dapat melakukan ini. Mereka tidak mampu menghadapi situasi revolusioner yang mereka ciptakan sendiri. Ini adalah kelemahan internal mereka. Mereka bergantung pada Soekarno-Hatta untuk mencapai tahapan revolusioner, proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Atau, seperti dalam kasus Sjahrir, mereka menjauhkan diri, tidak berpartisipasi dalam proklamasi, juga tidak dalam politik setelah proklamasi, menolak keanggotaan Komite Nasional dan hanya mengambil sikap menunggu. Sikap seperti itu tidak bisa disamakan dengan meletuskan revolusi, sebab untuk suatu revolusi tak boleh ada waktu terbuang.
ADVERTISEMENT
Kelemahan Internal
Kelemahan internal dari kombinasi ketiganya, yang tidak mampu menciptakan ketertiban dalam situasi yang mereka ciptakan, telah lebih dulu menentukan kegagalan atas semua langkah-langkah berikutnya yang mereka ambil.
Kelompok API yang dipimpin oleh Sukarni, Chairul Saleh, Adam Malik dan Wikana, serta Dr. Muwardi tanpa barisan bantengnya telah berusaha memaksa Bung Karno sebagai boneka di tangannya. Taktik mereka adalah dengan mengancam dan mengintimidasi, yang dengan itu terbukti mereka tidak paham hukum revolusi bahwa revolusi tidak dapat dipimpin oleh boneka. Suatu revolusi harus dipimpin secara langsung, dengan kewenangan sendiri. Suatu revolusi hanya dapat berhasil jika dipimpin oleh seorang pemimpin yang dapat menjelaskan apa yang diinginkannya, seorang pemimpin yang dapat mengukur kekuatannya terhadap kekuatan lawannya.
ADVERTISEMENT
Kelemahan dari kombinasi ketiganya ini juga terletak pada kenyataan bahwa tidak ada kesatuan dalam cita-cita mereka, tidak juga kesamaan pandangan di antara para pemimpin mereka. Kelompok Sjahrir yang kemudian menyadari bahwa cita-cita Sukarni dkk. hanya akan mengarah pada kekacauan dan anarki, akhirnya keluar dari kombinasi tiga kelompok tersebut dan sejak itu mengambil sikap menunggu.
Kelompok mahasiswa juga mendapati bahwa mereka hanya diperalat oleh kelompok Sukarni dan disesatkan dengan janji-janji palsu perihal konstelasi politik dan kekuatan perjuangan rakyat. Semangat revolusioner dan romantis dari pemuda-pemuda heroik dapat dengan mudah dipengaruhi oleh Sukarni melalui pernyataan-pernyataan palsu, bahwa konon ada 15.000 orang siap untuk menyerbu kota, dan itu akan menjadi saat yang tepat bagi PETA untuk bersama-sama mengalahkan penguasa Jepang.
ADVERTISEMENT
Mahasiswa-mahasiswa ini mengira bahwa seluruh kekuatan PETA memang siap untuk melaksanakan kudeta yang direncanakan dan bahwa kaum muda di seluruh Jawa mendukung API. Tetapi faktanya justru sangat berbeda.
Pada waktu yang telah ditentukan, ternyata tidak terjadi apa pun, baik di Jakarta maupun di tempat lain. Tidak ada 15.000 orang yang siap menyerbu kota, tidak ada PETA yang benar-benar melakukan aksi tersebut, sedangkan tidak ada satu pun kelompok pemuda di tempat lain yang tahu mengenai rencana API tersebut. Para mahasiswa yang kecewa akhirnya berbalik meninggalkan Sukarni dkk. Dan pada pembentukan Komite Nasional Pusat pada 19 Agustus ketua kelompok mahasiswa secara resmi menyatakan bahwa para mahasiswa mendukung Soekarno-Hatta.
Sehari Tertunda
ADVERTISEMENT
Bukan suatu kemenangan Pemuda, penculikan Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok dan kepulangan mereka kembali ke Jakarta pada hari sama telah menjadi bukti sejarah bahwa tindakan politik tanpa perhitungan akan selalu mengarah pada kebangkrutan. Suatu bukti sangat kuat atas politik yang lemah. Akibat penculikan ini, proklamasi Indonesia Merdeka, yang pada awalnya telah ditentukan oleh kami pada 16 Agustus, menjadi tertunda satu hari, demikian Drs. Moh. Hatta.