Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Heboh Sejak 2012, Kenapa Boikot Starbucks Muncul Lagi?
2 Juli 2017 13:36 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
ADVERTISEMENT
Baru-baru ini tagar #BoikotStarbucks ramai beredar di media sosial dengan berbagai reaksi baik pro maupun kontra. Hal ini dipicu oleh ajakan boikot Starbucks yang diserukan oleh Sekjen MUI yang juga merupakan pengurus PP Muhammadiyah, Anwar Abbas, beberapa hari yang lalu.
ADVERTISEMENT
Anwar mengaku mengambil sikap menentang pandangan Starbucks yang mendukung LGBT setelah mendapatkan informasi pernyataan Eks-CEO Starbucks, Howard Schultz, di akun grup chat-nya. Anwar bahkan meminta pemerintah untuk mengambil sikap tegas, mencabut izin operasi Starbucks, karena dukungannya terhadap LGBT dianggap tidak sesuai dengan ideologi bangsa.
"Sikap dari Howard Schultz, CEO Starbucks, jelas-jelas sangat mendukung gerakan gay atau LGBT. Bahkan dalam rapat pemegang saham dari perusahaan tersebut, yang bersangkutan mengatakan jika ada di antara pemegang saham saat ini tidak mendukung perkawinan sejenis yang diperjuangkan, maka silakan menjual sahamnya dan melakukan investasi di tempat lain," ujar Anwar dalam penjelasan yang diterima kumparan (kumparan.com), Sabtu (1/7) lalu.
Senator Fahira Idris juga ikut menyuarakan aksi boikot terhadap Starbucks. Fahira dalam siaran pers menyatakan, isu ini sudah beredar sejak tahun 2012, namun dia mendukung ajakan Anwar untuk mencabut izin Starbucks di Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Hemat saya, harus ada gerakan bersama atau sinergi terutama ormas-ormas keagamaan dan berbagai komunitas untuk mengkampanyekan tidak membeli produk-produk starbuck karena sikap mereka yang mendukung propaganda LGBT dan pernikahan sesama jenis,” kata Fahira.
Pernyataan Schultz soal dukungan LGBT memang dilakukan pada tahun 2012 lalu. Kala itu, di Washington, Amerika Serikat, sedang ada referendum soal pernikahan gay. Schultz termasuk tokoh yang memberikan selamat pada kelompok LGBT dan mendukung upaya mereka lepas dari diskriminasi.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan laporan Forbes, pernyataan Schultz itu kemudian jadi buah bibir setahun kemudian. Schultz yang sekarang posisinya digantikan oleh Kevin Johnson dan kini duduk sebagai executive chairman di Starbucks itu diberitakan berselisih dengan pemegang saham lain.
Dalam pertemuan tahunan para pemegang saham Starbucks, tepatnya pada bulan Mei 2013, di Seattle, Washington, Amerika Serikat, salah satu pemegang saham Starbucks mengeluhkan pendapatan dan penjualan Starbucks yang mengalami penurunan usai pernyataan dukungan Schultz terhadap perjuangan kelompok LGBT.
"Di kuartal pertama setelah pemboikotan diumumkan, penjualan dan pendapatan kami bisa dibilang mengecewakan," ujar salah satu pemegang saham Starbucks, Tom Strobhar, yang juga merupakan founder dari organisasi anti-gay dan anti aborsi, pada 2013 lalu.
Meski 'dijegal' oleh para pemegang saham, namun hal tidak mengubah pendirian Schultz. Dia menegaskan, dukungannya tidak ada hubungannya dengan strategi bisnis yang dilakukan Starbucks. Dia juga meminta para pemegang saham yang tak setuju, untuk melepas sahamnya.
ADVERTISEMENT
"Tidak semua keputusan adalah keputusan ekonomi," ungkapnya.
Ia menambahkan, Starbucks bahkan masih bisa memberikan pengembalian saham sebesar 38 persen kepada pemegang saham dalam waktu satu tahun mesti pemboikotan terhadap Starbucks diserukan di mana-mana.
"Ini bukan keputusan ekonomi bagi saya. Kami melihat dari kacamata orang-orang kami. Kami mempekerjakan lebih dari 200 ribu pegawai di perusahaan ini, dan kami hanya ingin merangkul keberagaman. Itu saja," tambah Schultz.
Starbucks dan Howard Schultz memang dua hal yang tak bisa terpisahkan. Pernyataan Schultz selalu diasosiasikan dengan sikap Starbucks secara umum, termasuk tentang isu LGBT. Starbucks juga kerap bersikap terkait berbagai isu politik dan sosial di berbagai belahan dunia. Mereka bahkan punya arsip sendiri untuk pandangan-pandangannya.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, secara umum sikap Schultz dan Starbucks bukan fokus pada aktivitas orang yang didukungnya, namun terkait dengan diskriminasi yang dialami mereka. Contoh terakhir adalah sikap Starbucks yang mendukung kaum pengungsi muslim yang mengalami diskriminasi oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Saat itu, Trump baru saja mengeluarkan larangan masuk bagi pengungsi dan warga beberapa negara muslim ke AS. Starbucks adalah salah satu perusahaan yang melawan itu dan menyatakan siap menampung para pekerja dari berbagai negara pengungsi, mulai dari Suriah sampai Afghanistan. Starbucks juga membuka lowongan bagi 10 ribu orang pengungsi yang memiliki talenta untuk bekerja bersama mereka.
Berikut pernyataan Schultz:
We have a long history of hiring young people looking for opportunities and a pathway to a new life around the world. This is why we are doubling down on this commitment by working with our equity market employees as well as joint venture and licensed market partners in a concerted effort to welcome and seek opportunities for those fleeing war, violence, persecution and discrimination. There are more than 65 million citizens of the world recognized as refugees by the United Nations, and we are developing plans to hire 10,000 of them over five years in the 75 countries around the world where Starbucks does business. And we will start this effort here in the U.S. by making the initial focus of our hiring efforts on those individuals who have served with U.S. troops as interpreters and support personnel in the various countries where our military has asked for such support...
ADVERTISEMENT
We are in business to inspire and nurture the human spirit, one person, one cup and one neighborhood at a time – whether that neighborhood is in a Red State or a Blue State; a Christian country or a Muslim country; a divided nation or a united nation. That will not change. You have my word on that
Sikap-sikap Starbucks lainnya bisa Anda simak di sini.