Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Helena Lim Akan Kasasi Kasus Timah, Sudah Tax Amnesty Jadi Salah Satu Alasan
17 Februari 2025 15:52 WIB
ยท
waktu baca 5 menit
ADVERTISEMENT
Pengacara crazy rich PIK Helena Lim, Andi Ahmad, menyesalkan Majelis Hakim di Pengadilan Tinggi Jakarta tidak mempertimbangkan ketentuan program pengampunan pajak (tax amnesty) dalam menetapkan status aset kliennya yang disita.
ADVERTISEMENT
Dalam putusan pengadilan tingkat pertama, Majelis Hakim menyatakan bahwa sejumlah aset milik Helena harus dikembalikan. Tax amnesty menjadi salah satu pertimbangan Hakim kala itu.
Namun, putusan itu dianulir oleh pengadilan tingkat banding. Kini Hakim berpandangan tax amnesty tidak menghalangi penyitaan aset untuk membayar denda dan uang pengganti hasil korupsi.
Sementara, menurut Andi, program tax amnesty yang diikuti oleh kliennya tersebut sudah semestinya menjadi bentuk perlindungan oleh negara. Sehingga harus dipertimbangkan.
"Memang ada satu yang kami agak sedikit sayangkan, ya, di dalam putusan karena terkait dengan putusannya Helena. Karena kami merasa bahwa tax amnesty ini, kan, seharusnya menjadi suatu bentuk perlindungan, kepada seluruh lapisan masyarakat Indonesia," ujar Andi kepada wartawan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (17/2).
ADVERTISEMENT
"Bahwa yang namanya tax amnesty jika sudah dilakukan, kemudian programnya sudah diikuti oleh peserta tax amnesty dalam hal ini masyarakat, itu harusnya diberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum oleh negara, ya," jelas dia.
Dalam putusan di pengadilan tingkat pertama, Majelis Hakim menyatakan seluruh aset Helena yang disita jaksa saat proses penyidikan tak terkait dengan kasus korupsi pengelolaan timah. Hakim menyatakan aset itu diperoleh di luar tempus atau waktu kasus tersebut.
Sehingga, terhadap aset yang disita tersebut, Majelis Hakim menilai tak memenuhi satu pun syarat penyitaan sebagaimana diatur dalam KUHAP. Menurut Hakim, aset tersebut harus dikembalikan.
Majelis Hakim juga mempertimbangkan bahwa Helena telah mengikuti program pengampunan pajak atau tax amnesty pada tahun 2016 dan program pengungkapan sukarela (PPS) tahun 2022.
ADVERTISEMENT
Majelis Hakim pun menilai bahwa aset-aset Helena tersebut telah dilaporkan dan divalidasi hingga terdapat surat pengampunan pajak dan surat keterangan harta bersih.
Akan tetapi, Andi menyayangkan hal tersebut justru tidak menjadi pertimbangan pengadilan tingkat banding. Terkait hal itu, ia menekankan bahwa pihaknya akan menempuh upaya hukum berikutnya, yakni kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
"Nah, di dalam pertimbangan putusan pengadilan tinggi, kami tidak melihat seperti itu karena kemudian asetnya dirampas kembali," ucap dia.
"Itu yang kami juga akan jadikan satu pertimbangan bagaimana nanti ke depannya kita akan susun kasasinya. Yang pasti adalah kami, untuk yang Helena, kami fokusnya ke tax amnesty," imbuhnya.
Hukuman Helena Lim Diperberat di Tahap Banding
Pengadilan Tinggi Jakarta memperberat hukuman Helena Lim menjadi 10 tahun penjara. Di pengadilan tingkat pertama, Helena hanya divonis 5 tahun penjara.
ADVERTISEMENT
Dalam pertimbangannya, Pengadilan Tinggi Jakarta menyatakan tak sepakat dengan pertimbangan yang disampaikan oleh Pengadilan Tipikor Jakarta terkait barang bukti yang disita dari Helena.
"Barang bukti yang disita oleh penuntut umum di mana barang bukti yang diperoleh sebelum dan sesudah perkara tindak pidana korupsi dilakukan tetap disita, sedangkan mengenai barang bukti yang diperoleh dalam tindak pidana korupsi tersebut diperhitungkan sebagai pembayaran uang pengganti dari terdakwa," kata Hakim Budi Susilo membacakan pertimbangannya dalam amar putusan, di Pengadilan Tinggi Jakarta, Kamis (13/2) lalu.
"Oleh karenanya terhadap pertimbangan majelis hakim tingkat pertama mengenai pertimbangan ketentuan tax amnesty dalam menentukan barang bukti yang disita majelis Pengadilan Tinggi tidak sependapat, karena aset yang diputihkan berdasarkan pengungkapan sukarela sebagaimana pasal 20 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2016 dapat dilakukan penyitaan dan perampasan untuk kepentingan penyidikan serta penuntutan serta pemilihan kerugian negara dalam tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Hakim menilai aset-aset ini harus disita sebagai bagian dari pembayaran uang pengganti yang dijatuhkan kepada Helena. Adapun di tingkat banding itu, Helena juga dihukum pidana denda sebesar Rp 1 miliar subsider 6 bulan penjara.
Tak hanya itu, Helena juga dihukum pidana tambahan dengan membayar uang pengganti sebesar Rp 900 juta.
Apabila uang pengganti tersebut tidak dibayar paling lambat dalam waktu 1 bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya disita dan dilelang untuk menutupi kekurangan uang pengganti sebagaimana dimaksud.
"Dalam hal Terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar kekurangan uang pengganti, maka dipidana dengan pidana penjara selama 5 tahun," kata Hakim Budi.
Dalam kasus ini, Helena merupakan pemilik perusahaan money changer PT Quantum Skyline Exchange (QSE). Melalui perusahaan itu, ia disebut berperan menampung dana pengamanan yang telah dikumpulkan Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT).
ADVERTISEMENT
Dana pengamanan itu dihimpun Harvey dari perusahaan smelter yang melakukan penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah. Para perusahaan smelter itu, yakni CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Internusa.
Harvey menutupi pengumpulan uang pengamanan itu dengan kedok dana corporate social responsibility (CSR) yang bernilai 500 hingga 750 USD per metrik ton. Perbuatan itu diduga dilakukan dengan bantuan Helena Lim.
Helena yang menghimpun dana dalam bentuk Rupiah itu, kemudian menukarkannya ke dalam mata uang Dolar Amerika Serikat dengan total 30 juta USD. Lalu, uang tersebut diserahkan dalam bentuk tunai kepada Harvey secara bertahap melalui kurir PT QSE.
Atas penukaran tersebut, Helena disebut menerima keuntungan hingga Rp 900 juta. Keuntungan yang didapatnya dari kasus korupsi timah diduga digunakan untuk kepentingan pribadi. Mulai dari membeli rumah, mobil, hingga 29 tas mewah.
ADVERTISEMENT