Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
Helena Lim: Crazy Rich Didakwa Korupsi, Jadi Drama Favorit Netizen
12 Desember 2024 22:42 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Helena Lim menyebut perkara yang menjeratnya menjadi drama yang disukai masyarakat. Di mana, ada seorang crazy rich didakwa melakukan korupsi yang disebut merugikan negara hingga Rp 300 triliun.
ADVERTISEMENT
Hal itu diungkapkan Helena saat membacakan pleidoi atau nota pembelaan dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi timah di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (12/12).
Pleidoi itu dia tulis dan diberi judul 'Berdagang Valas Berujung Naas, Upaya Mencari Keadilan dan Menegakan Hukum Secara Proporsional di Tengah Kontes Popularitas'.
"Nilai kebaikan yang ditanamkan orang tua saya sekarang runtuh, seiring dengan runtuhnya jargon crazy rich yang kemudian dijadikan pondasi bangunan kasus korupsi timah yang berdiri megah dengan dekorasi Rp 300 triliun," kata Helena.
"Seorang crazy rich menjadi terdakwa korupsi. Drama framing orang yang kaya dari uang rakyat, kontan menjadi drama favorit netizen," tambahnya.
Helena bercerita, julukan crazy rich itu bukan klaim pribadinya. Namun, ia mengaku bangga atas hal tersebut. Kerja keras yang dilakukannya sejak muda diapresiasi oleh netizen.
ADVERTISEMENT
Apalagi posisinya saat itu, Helena merupakan seorang anak yatim dan single parent. Ia merasa, apa yang dilakukannya bisa memotivasi banyak perempuan lain.
"Saya bangga bisa menjadi contoh bahwa seorang wanita single mom dan anak yatim bisa mencukupi keluarga, tanpa dukungan suami dan orang tua, mampu bertahan menghidupi anak-anaknya, orang tuanya, bahkan bisa menjadi wanita yang mandiri dan berdaya, tidak hanya di mata keluarga tetapi juga di mata masyarakat," ungkap Helena.
Namun semua perasaan itu sirna seketika ikut terseret kasus korupsi. Berbagai hal yang selama ini ia banggakan justru menjadi bahan bakar masyarakat untuk mencibirnya.
"Ini adalah pembelajaran pertama dan utama yang bisa saya petik dari kejadian ini, betapa tindakan mempertontonkan kebahagiaan, kesuksesan ataupun kemapanan hidup adalah bahan bakar antipati publik yang menjadi api dalam sekam dalam perkara ini yang memanfaatkan hiperbola dunia sobis agar muncul kenyinyiran, bahkan kebencian masyarakat terhadap stigma crazy rich PIK untuk menormalkan tirani dalam penegakan hukum," ucap Helena.
ADVERTISEMENT
Helena berujar tudingan menerima Rp 420 miliar yang dituduhkan terhadapnya adalah tidak benar. Nilai tersebut, menurutnya, adalah paksaan penyidik untuk memperkirakan uang yang ditukarkan di perusahaan money changer miliknya, PT Quantum Skyline Exchange.
Ia mengeklaim, transaksi yang dilakukan di money changernya itu pun bukan transaksi bodong. Melainkan semata jual beli valuta asing.
"Saya juga sudah mengakui bahwa saya melakukan kelalaian administrasi, sejak sebelum saya mengenal saudara Harvey Moeis dan para terdakwa lainnya. Namun tidak ada sekecil apa pun niat saya untuk melakukan tindak pidana apalagi pidana korupsi," ujarnya.
Karenanya, Helena meminta keringanan kepada hakim agar mempertimbangkan kepantasan hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya.
"Saya mohon keadilan, Yang Mulia, agar berkenan menempatkan diri di posisi saya dan mohon dengan sangat agar Yang Mulia mempertimbangkan dengan hati nurani kepantasan tuntutan 8 tahun ditambah 4 tahun karena dalam posisi sekarang saya sudah pasti tidak mampu membayar uang pengganti sebesar Rp 210 miliar tersebut," tuturnya.
Helena dituntut hukuman pidana penjara selama 8 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun penjara. Ia juga dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp 210 miliar dengan subsider pidana penjara 4 tahun.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus ini, Helena merupakan pemilik perusahaan money changer PT Quantum Skyline Exchange (QSE). Melalui perusahaan itu, ia disebut berperan menampung dana pengamanan yang telah dikumpulkan Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin.
Dana pengamanan itu dihimpun Harvey dari perusahaan smelter yang melakukan penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah. Para perusahaan smelter itu, yakni CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Internusa.
Harvey menutupi pengumpulan uang pengamanan itu dengan kedok dana corporate social responsibility (CSR) yang bernilai 500 hingga 750 USD per metrik ton. Perbuatan itu diduga dilakukan dengan bantuan Helena Lim.
Helena yang menghimpun dana dalam bentuk Rupiah itu, kemudian menukarkannya ke dalam mata uang Dolar Amerika Serikat dengan total 30 juta USD. Lalu, uang tersebut diserahkan dalam bentuk tunai kepada Harvey secara bertahap melalui kurir PT QSE.
ADVERTISEMENT
Atas penukaran tersebut, Helena disebut menerima keuntungan hingga Rp 900 juta.
Keuntungan yang didapatnya dari kasus korupsi timah diduga digunakan untuk kepentingan pribadi. Mulai dari membeli rumah, mobil, hingga 29 tas mewah.