Hikmahanto: Isu Rohingnya Itu Urusan Negara Lain, Kenapa Kita yang Menderita?

13 Desember 2023 15:39 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Sejumlah imigran etnis Rohingya beristirahat setelah terdampar di Blang Raya, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie, Aceh, Minggu (10/12/2023). Foto: Joni Saputra/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah imigran etnis Rohingya beristirahat setelah terdampar di Blang Raya, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie, Aceh, Minggu (10/12/2023). Foto: Joni Saputra/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Isu terkait penanganan etnis Rohingya yang terdampar di Aceh baru-baru ini bukanlah urusan Indonesia, melainkan masalah yang harus ditangani lembaga internasional dan negara anggota Konvensi 1951 PBB.
ADVERTISEMENT
Sejak kapal pengangkut imigran Rohingya kembali tiba di sejumlah wilayah Aceh pada November lalu, warga lokal mengaku tak nyaman hingga gesekan sosial pun tak terelakkan. Imigran Rohingya ditolak keberadaannya di tengah kehidupan warga setempat.
Penolakan tegas turut disampaikan Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, kepada kumparan di podcast Diplomatic Talk (DipTalk) yang ditayangkan di Youtube, pada Selasa (12/12).
"Kenapa kita yang harus menderita masalah ini? Saya bukannya tidak mementingkan masalah hak asasi manusia. Tapi kalau hak asasi manusia rakyat kita sendiri kita injak-injak demi hak asasi warga negara lain — enggak saya bilang. Saya akan mengatakan lantang saya tidak mau seperti itu," kata Hikmahanto.
Dalam argumennya, Hikmahanto memaparkan konsekuensi apa yang ditimbulkan oleh imigran Rohingya jika terus dibiarkan berlama-lama di Indonesia dan jika pemerintah tidak mengambil tindakan.
ADVERTISEMENT
Pergesekan sosial di kalangan warga Aceh dengan imigran Rohingya menjadi salah satunya. "Yang paling kita kasat mata terlihat yaitu penolakan masyarakat di Aceh. Begitu marahnya mereka. Bahkan mereka ada yang merobohkan tenda-tenda yang sudah dipasang. Itu yang kasat mata kita lihat," tutur Hikmahanto.
Pengungsi Rohingya yang baru tiba beristirahat di sebuah pantai di pulau Sabang, provinsi Aceh, pada 2 Desember 2023. Foto: CHAIDEER MAHYUDDIN / AFP
Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani itu menyebut, jika imigran Rohingya tidak ditempatkan di pusat detensi imigrasi dan dibiarkan membaur dengan warga lokal — bakal memicu masalah lain seperti kecemburuan sosial dan berkurangnya lapangan pekerjaan.
"Kalau misalnya mereka diperbolehkan ke Indonesia dan kemudian mereka langsung lari berbaur dengan masyarakat kita mungkin mereka akan menawarkan buruh kasar yang murah, ya kan? Mereka kan gak akan kena UMP, karena bukan warga negara Indonesia — warga negara asing.
ADVERTISEMENT
"Lapangan pekerjaan yang seharusnya untuk rakyat Indonesia akan hilang. Padahal lapangan pekerjaan itu sangat penting untuk memberikan kesejahteraan," jelas dia.
Padahal, hak untuk memperoleh lapangan pekerjaan bagi warga sipil sudah tertuang dalam Pasal 27 Undang-Undang 1945. Tidak benar, kata Hikmahanto, apabila justru warga asing lebih mudah mendapat pekerjaan dibandingkan warga lokal itu sendiri.
Pakar Hukum Internasional Hikmawanto Juhana dalam program DipTalk kumparan. Foto: Dicky Adam Sidiq/kumparan
Lebih lanjut, Hikmahanto memandang masalah lain yang ditimbulkan adalah kriminalitas apabila imigran Rohingnya tidak ditempatkan di pusat detensi khusus. Di Malaysia, menurut laporan Channel News Asia, pada September lalu dua pemuda Rohingya ditangkap gara-gara memperkosa perempuan lokal.
Selain itu, keberadaan imigran Rohingya yang tidak punya dokumen perjalanan dan status pengungsi dari UNHCR dapat memicu praktik Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) hingga penyelundupan manusia.
ADVERTISEMENT
Saat ini pun, menurut Presiden Joko Widodo, dalam proses imigrasi ratusan orang Rohingya yang tiba di Aceh memiliki indikasi adanya TPPO dan penyelundupan manusia oleh mafia. Sebab, mereka bisa tiba di Indonesia dilaporkan dengan membayar uang senilai jutaan rupiah.
"Bukannya tidak mungkin bahkan mafia-mafia people smuggling ini juga akan tumbuh subur. Ada dugaan bahwa mereka datang ini sebenarnya dimobilisasi oleh mafia, Mereka [mafia] mendapatkan uang dan lain sebagainya," tutur Hikmahanto.
Imigran etnik Rohingya asal Myanmar menaiki kendaraan menuju tempat penampungan sementara di Banda Aceh, Aceh, Minggu (10/12/2023) malam. Foto: ANTARA FOTO/Irwansyah Putra
Belum lagi, sambung Hikmahanto, negara-negara lain — khususnya anggota Konvensi Pengungsi 1951 yang seharusnya andil dalam isu ini, seolah tutup mata dan enggan menjalankan kewajibannya.
"Nanti kita dijadikan oleh negara-negara asing: sudah lempar aja ke Indonesia, iya kan? Etnis Rohingya itu kan permasalahan di Myanmar, di Bangladesh, gitu kan. Tapi kok kenapa kita yang harus menderita masalah ini?" ujarnya.
ADVERTISEMENT
"Sekarang Australia sudah mengurangi. Coba bagaimana tuh? Akhirnya kita yang harus menderita ini semua. Saya sih sebagai warga negara Indonesia, saya enggak rela negara saya dibuat kayak begitu," tegas Hikmahanto.
Sejatinya, Indonesia bukan bagian dari 26 negara yang meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951. Sehingga Indonesia tidak berkewajiban menerima pengungsi dari negara mana pun — termasuk Rohingya dari Myanmar atau Bangladesh.
Namun, dengan alasan kemanusiaan pemerintah memutuskan tetap mengizinkan orang-orang Rohingya yang tiba menggunakan kapal tak layak di sejumlah wilayah Aceh ditampung sementara.
Menurut data UNHCR, sejak November lalu, imigran Rohingya yang saat ini berada di Indonesia sudah mencapai hampir 2 ribu orang — diprediksi bakal terus bertambah jika pemerintah membiarkannya.
ADVERTISEMENT
"Jadi kalaupun kita mau bicara hak asasi manusia boleh tapi harus bersama-sama dengan negara-negara lain jangan kemudian dilimpahkan kepada Indonesia," tutup Hikmahanto.