Hikmahanto Pertanyakan Joint Statement RI-China yang Singgung LCS

11 November 2024 7:44 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pakar Hukum Internasional Hikmahanto Juhana dalam program DipTalk kumparan. Foto: Dicky Adam Sidiq/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Pakar Hukum Internasional Hikmahanto Juhana dalam program DipTalk kumparan. Foto: Dicky Adam Sidiq/kumparan
ADVERTISEMENT
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menyoroti Joint Statement yang disampaikan oleh Presiden Prabowo dengan Presiden Xi Jinping pada tanggal 9 November 2024 lalu.
ADVERTISEMENT
Hikmahanto menyebut, dalam butir sembilan dengan judul "The two sides will jointly create more bright spots in maritime cooperation" disebutkan bahwa "The two sides reached important common understanding on joint development in areas of overlapping claims."
"Menjadi pertanyaan mendasar apakah yang dimaksud dengan overlapping claims ini terkait klaim sepuluh garis putus oleh China yang bertumpang tindih dengan klaim Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Natuna Utara?" kata dia dalam keterangannya, Senin (11/11).
"Bila memang benar, berarti kebijakan Indonesia terkait klaim sepihak China atas Sepuluh Garis Putus telah berubah secara drastis dan merupakan perubahan yang sangat fundamental dan berdampak pada geopolitik di kawasan," sambungnya.
Hikmahanto mengatakan, hingga berakhirnya pemerintahan Jokowi, Indonesia memilki kebijakan untuk tidak mengakui klaim sepihak Sepuluh (dahulu Sembilan) Garis Putus dari China. Hal ini karena klaim Sepuluh Garis Putus tidak dikenal dalam UNCLOS di mana Indonesia dan China adalah negara peserta.
ADVERTISEMENT
Terlebih lagi Permanent Court of Arbitration pada tahun 2016 telah menegaskan klaim sepihak China tersebut memang tidak dikenal dalam UNCLOS.
Namun, kata dia, dengan adanya joint statement 9 November lalu berarti Indonesia telah mengakui klaim sepihak China atas Sepuluh Garis Putus. Menurutnya, perlu dipahami Joint development hanya terjadi bila masing-masing negara saling mengakui adanya zona maritim yang saling bertumpang tindih.
"Pengakuan klaim sepihak Sepuluh Garis Putus jelas tidak sesuai dengan perundingan perbatasan zona maritim yang selama ini dilakukan oleh Indonesia di mana Indonesia tidak pernah melakukan perundingan maritim dengan China," kata Hikmahanto.
"Hal ini karena dalam peta Indonesia dan dalam Undang-undang Wilayah Negara tidak dikenal Sepuluh Garis Putus yang diklaim secara sepihak oleh China. Pemerintah pun selama ini konsisten untuk tidak mau melakukan perundingan terlebih lagi memunculkan ide joint development dengan China," sambungnya.
Kapal China Coast Guard (CCG-5042) di Laut Natuna Utara, Jumat (25/10) Foto: Dok. Bakamla
Hikmahanto mengatakan, bila memang benar area yang akan dikembangkan bersama berada di wilayah Natuna Utara maka Presiden Prabowo seharusnya melakukan konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
ADVERTISEMENT
"Terlebih lagi bila joint development ini benar-benar direalisasikan maka banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia yang dilanggar," kata dia.
"Bila memang benar Indonesia hendak melakukan joint development dengan pemerintah China maka ini akan berdampak pada situasi geopolitik di kawasan," sambungnya.
Menurutnya, negara-negara yang berkonflik dengan China sebagai akibat klaim sepihak Sepuluh Garis Putus, seperti Vietnam, Malaysia, Filipina dan Brunei Darussalam akan mempertanyakan posisi Indonesia dan bukannya tidak mungkin memicu ketegangan di antara negara ASEAN.
"Belum lagi negara-negara besar yang tidak mengakui klaim sepihak China karena berdampak pada kebebasan pelayaran internasional seperti Amerika Serikat dan Jepang akan sangat kecewa dengan posisi Indonesia. Tentu ini akan mengubah peta politik di kawasan," kata dia.
ADVERTISEMENT
Bila benar joint development dengan China di area Natuna Utara benar-benar direalisasikan, menurut Hikmahanto, maka yang justru mendapat keuntungan besar adalah China.
"Bahkan China bisa mengeklaim bahwa Indonesia telah jatuh di tangannya, suatu hal yang tidak sesuai dengan pernyataan Presiden Prabowo dalam pidato pertama sebagai Presiden di depan MPR bahwa Indonesia akan tidak berada di belakang negara adidaya yang sedang berkompetisi," ucapnya.

Penjelasan Pihak Kemlu

Ilustrasi laut China Selatan. Foto: Shutterstock
Dalam keterangan terpisah, pihak Kemlu menjelaskan soal kerja sama antara RI dengan China terkait LCS. Kemlu menyebut kerja sama ini sejalan dengan semangat Declaration of the Conduct of the Parties in the South China Sea yang telah disepakati oleh negara-negara ASEAN dan China pada tahun 2022, serta upaya untuk menciptakan perdamaian di kawasan LCS.
ADVERTISEMENT
"Indonesia dan Tiongkok sepakat untuk membentuk kerja sama maritim. Kerja sama ini diharapkan dapat menjadi suatu model upaya memelihara perdamaian dan persahabatan di Kawasan," demikian keterangan dari Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dikutip Senin (11/11).
Pihak Kemlu menyatakan, kerja sama ini diharapkan akan mencakup berbagai aspek kerja sama ekonomi, khususnya di bidang perikanan dan konservasi perikanan di Kawasan dengan berdasarkan kepada prinsip-prinsip saling menghormati dan kesetaraan.
"Kerja sama ini juga akan dilaksanakan dalam koridor ketentuan undang-undang dan peraturan negara masing-masing," kata Kemlu.
Terpenting, Kemlu memastikan bahwa kerja sama ini bukan berarti pengakuan terhadap 'nine-dash line' China.
"Kerja sama ini tidak dapat dimaknai sebagai pengakuan atas klaim '9-Dash-Lines'. Indonesia menegaskan kembali posisinya selama ini bahwa klaim tersebut tidak memiliki basis hukum internasional dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982," kata Kemlu.
ADVERTISEMENT
"Dengan demikian, kerja sama tersebut tidak berdampak pada kedaulatan, hak berdaulat, maupun yurisdiksi Indonesia di Laut Natuna Utara," sambungnya.
Sebagai informasi, '9-Dash Line' merupakan garis yang dibuat sepihak oleh China. '9-Dash Line' menjadi wilayah historis LCS seluas 2 juta kilometer persegi yang 90 persen wilayahnya diklaim China sebagai hak maritim historisnya.
Klaim '9-Dash Line' ini berdampak terhadap hilangnya perairan Indonesia seluas 83.000 Km persegi atau 30 persen dari luas laut RI di Natuna. Kemlu menegaskan kerja sama ini bukan berarti pengakuan atas 9-Dash-Lines tersebut.