Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
ADVERTISEMENT
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai status terpidana mati kasus penyelundupan narkoba asal Filipina, Mary Jane Veloso, membingungkan.
ADVERTISEMENT
Hikmahanto mengatakan, hingga saat ini tidak kabar yang menunjukkan permohonan grasi Mary Jane dikabulkan. Ini menjadi kerumitan hukum tersendiri.
"Mary Jane oleh Presiden Bongbong Marcos disampaikan akan kembali ke Filipina. Presiden Marcos menyampaikan terima kasih kepada Presiden Prabowo. Di Indonesia khabar ini menjadi kerumitan hukum tersendiri," kata Hikmahanto lewat keterangannya, Kamis (21/11).
"Hal ini dikarenakan kembalinya Mary Jane tidak didasarkan pada dikabulkannya permohonan grasi oleh Presiden Prabowo atas hukuman mati yang dijatuhkan. Hingga saat ini belum tersengar kabar adanya permohonan grasi dibawah pemerintahan Prabowo. Sementara di bawah pemerintahan Jokowi permohonan grasi pernah diajukan namun ditolak," lanjutnya.
Sementara itu menurut Menkum HAM Imigrasi dan Pemasyarakatan Prof Yusril Ihza Mahendra, lanjut Hikmahanto, menyebut bahwa status Mary Jane adalah pemindahan narapidana.
ADVERTISEMENT
"Menko Hukum HAM Imigrasi dan Pemasyarakatan Prof Yusril Ihza Mahendra dalam siaran persnya menyampaikan bakal kembalinya Mary Jane ke Filipina didasarkan pada kerja sama pemindahan narapidana atau transfer of sentenced person," ujarnya.
Menurut Hikmahanto, pemindahan narapidana hingga saat ini belum diatur dalam UU. Dia lalu membandingkan dengan pemindahan narapidana narkotika Schapelle Corby.
"Padahal di Indonesia hingga saat ini belum ada Undang-undang Pemindahan Narapidana. Ketiadaan Undang-undang Pemindahan Narapidana yang digunakan sebagai alasan bagi Indonesia saat Schapelle Corby diminta oleh Australia untuk dipindahkan dan menjalankan sisa masa hukumannya di Australia," jelasnya.
"Belum lagi saat itu Corby tidak dipindahkan ke Australia untuk menjalani sisa hukuman karena tindak pidana yang dilakukan merupakan tindak pidana yang tergolong berat yaitu yang berkaitan dengan narkotika. Suatu tindak pidana yang sama yang dilakukan oleh Mary Jane," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Tidak Ada Konsistensi
Hikmahanto menyebut, belajar dari kasus Schapelle Corby dan Mary Jane, tampak kebijakan pemerintahan menunjukkan ketidak konsistensi.
Ia juga mempertanyakan, apakah dengan pindahnya Mary Jane, hukuman matinya akan dijalankan oleh Filipina.
"Dalam konteks demikian kebijakan antara satu pemerintahan dengan pemerintahan di Indonesia di mata negara lain tidak ada konsistensi. Juga patut dipertanyakan bagaimana mungkin terpidana mati dipindahkan ke Filipina bila Filipina telah menghapuskan hukuman mati," katanya.
"Menjadi pertanyaan bila Mary Jane dikirim Filipina apakah Filipina akan melaksanakan putusan hukuman mati Indonesia?," sambungnya.
Hikmahanto menganggap sah-sah saja jika kesepakatan Presiden Prabowo dan Presiden Marcos untuk mengembalikan Mary Jane dalam hubungan negara.
Meski begitu, Hikmahanto menilai tak seharusnya kesepakatan itu melanggar hukum Indonesia.
ADVERTISEMENT
"Tentu kesepakatan Presiden Prabowo dan Presiden Marcos untuk mengembalikan Mary Jane ke Filipina dalam hubungan antar negara sah-sah saja. Namun tidak seharusnya kesepakatan ini melanggar hukum Indonesia di mana Mary Jane saat ini berada. Kedaulatan hukum tidak seharusnya mudah dikesampingkan bila Indonesia hendak dikenal sebagai negara hukum dan mempertahankan kedaulatan hukumnya," tandasnya.