Hikmahanto Ungkap Alasan Tidak Berdasarnya Klaim China di Natuna

5 Januari 2020 9:55 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kapal coast guard China mengusir nelayan Indonesia di perairan Natuna.  Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Kapal coast guard China mengusir nelayan Indonesia di perairan Natuna. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Masuknya kapal ikan China yang dikawal China Coast Guard (CCG) di perairan Natuna dianggap telah melanggar batas kedaulatan Indonesia. Namun, menurut pemerintah China, tindakan mereka tidak melanggar jika berdasarkan nine dash line atau sembilan garis putus yang menjadi klaim China atas Natuna.
ADVERTISEMENT
Menurut Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana, pemerintah China sebenarnya sudah lama mengklaim sembilan garis putus yang menjorok masuk ke Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Natuna Utara. Klaim tersebut, menurut Hikmahanto, sebenarnya secara historis tidak memiliki dasar di mata hukum internasional.
"Klaim ini didasarkan pada alasan historis yang secara hukum internasional, utamanya UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea), tidak memiliki dasar," kata Hikmahanto dalam keterangannya, Minggu (5/1).
Hikmahanto Juwana. Foto: Okke Oscar/kumparan
Apalagi, ia menyebut, sembilan garis putus yang diklaim China tidak memiliki titik koordinat yang jelas. Bahkan, pemerintah China kadang menyebutnya sebagai sepuluh atau sebelas garis putus.
"China tidak mengakui klaim Indonesia atas ZEE Natuna Utara atas dasar kedaulatan Pulau Nansha yang berada di dalam sembilan garis putus, dan pulau tersebut memiliki perairan sejenis ZEE. Perairan sejenis ZEE disebut oleh China sebagai Traditional Fishing Grounds," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Padahal, kata Hikmahanto, dalam UNCLOS konsep yang dikenal adalah Traditional Fishing Rights, bukan Traditional Fishing Ground. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 51 UNCLOS.
Patroli udara di perairan Natuna, Sabtu (4/1). Foto: Dok. Puspen TNI
"Pemerintah Indonesia telah sejak lama, saat Ali Alatas menjabat Menlu, mempertanyakan kepada pemerintah China apa yang dimaksud dengan sembilan garis putus. Namun hingga saat ini jawaban atas pertanyaan tersebut belum pernah diberikan oleh China," lanjutnya.
Hikmahanto menuturkan, untuk meredakan ketegangan terkait isu Natuna, pemerintah China selalu menegaskan jika pihaknya tidak bersengketa dengan Indonesia soal masalah kedaulatan. Sebab, sembilan garis putus yang diklaim China tidak menjorok hingga laut teritorial Indonesia.
"Perlu dipahami dalam hukum laut internasional dibedakan antara sovereign dengan sovereign rights. Sovereign merujuk pada konsep kedaulatan yang di laut disebut Laut Teritorial. Sementara sovereign rights bukanlah kedaulatan," ucap Hikmahanto.
ADVERTISEMENT
"Sovereign rights memberikan negara pantai untuk mengeksploitasi dan mengelola sumber daya alam di wilayah laut lepas tertentu (ZEE) atau yang berada di bawah dasar laut (landas kontingen)," pungkasnya.