Hikmahanto Ungkap Kenapa Rohingya di Aceh Bukan Pengungsi

12 Desember 2023 17:37 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Petugas melakukan pendataan terhadap imigran Rohingya yang baru terdampar di Desa Blang Raya, Kabupaten Pidie, Aceh, Minggu (10/12/2023). Foto: Ampelsa/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Petugas melakukan pendataan terhadap imigran Rohingya yang baru terdampar di Desa Blang Raya, Kabupaten Pidie, Aceh, Minggu (10/12/2023). Foto: Ampelsa/Antara Foto
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Warga Aceh, kembali digemparkan kedatangan kapal-kapal Rohingya. Dengan menggunakan kapal yang tidak layak untuk berlayar dan tanpa kartu identitas pengenal, mereka tiba di perairan Indonesia berharap belas kasihan dari warga.
ADVERTISEMENT
Alhasil, secara keseluruhan hampir dua ribu orang Rohingya saat ini berada di Aceh — tanpa mengetahui bagaimana nasib mereka kelak dan tanpa kejelasan di mana mereka nantinya akan menetap.
Menurut data UNHCR, sejak November lalu terhitung sedikitnya ada 1.200 orang Rohingya tiba di Indonesia. Angka ini kemungkinan akan terus bertambah, seiring dengan keterbukaan pemerintah menyambut mereka dengan alasan kemanusiaan.
Padahal, Indonesia bukanlah negara yang meratifikasi Konvensi PBB soal pengungsi tahun 1951. Namun, masyarakat luas menggambarkan etnis Rohingya sebagai 'pengungsi' yang melarikan diri dari kekerasan di negara asal mereka, Myanmar.
Sejumlah imigran etnis Rohingya beristirahat setelah terdampar di Blang Raya, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie, Aceh, Minggu (10/12/2023). Foto: Joni Saputra/ANTARA FOTO
Presiden Joko Widodo dalam pidatonya pada Senin (11/12) pun ikut mengatakan kedatangan 'pengungsi' Rohingya ke Indonesia bisa jadi berkaitan dengan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan penyelundupan manusia.
ADVERTISEMENT
Lantas, apakah benar mereka adalah 'pengungsi' hanya karena melarikan diri dari konflik?
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, berpendapat bahwa definisi seorang 'pengungsi' sebenarnya tidak sesempit itu. Perlu ada proses screening dan verifikasi terlebih dahulu oleh UNHCR untuk mengidentifikasi apabila seseorang benar adalah seorang 'pengungsi'.
Hal itu disampaikan Hikmahanto kepada kumparan dalam podcast Diplomatic Talk (DipTalk) yang ditayangkan di Youtube pada Selasa (12/12).
Rektor Universitas Jenderal A. Yani itu menjelaskan, aturan mengenai penyebutan 'pengungsi' tertuang dalam Konvensi Pengungsi PBB yang diadopsi pada 1951. Negara yang bukan peratifikasi konvensi tersebut sebenarnya tidak berkewajiban menampung pengungsi dari negara lain.
"Kalau kita menyebut sebagai pengungsi itu ada aturannya, ada Konvensi Pengungsi [PBB] tahun 1951. Di situ disebutkan bahwa definisi pengungsi adalah mereka yang dikejar-kejar karena perbedaan ras-lah, perbedaan agama-lah, dan seterusnya. Mereka dikejar-kejar atau dipersekusi, di Perpres 125 juga disebutkan begitu," jelas Hikmahanto.
ADVERTISEMENT
"Cuma masalahnya kan mereka harus diverifikasi — betul gak mereka ini pengungsi? Jangan-jangan yang datang itu adalah mereka-mereka yang ingin mendapatkan penghidupan yang lebih baik," tambahnya.
Pakar Hukum Internasional Hikmawanto Juhana dalam program DipTalk kumparan. Foto: Dicky Adam Sidiq/kumparan
Menurut Hikmahanto, di sinilah akar dari masalah keimigrasian etnis Rohingya yang tiba di Indonesia — dan konflik apa yang bisa terjadi jika mereka dibiarkan berada di sini berlama-lama.
"Bagaimana kalau tidak diverifikasi ternyata mereka punya catatan kriminal dari negara asalnya yang kemudian masuk ke Indonesia? Tentu kan gak boleh," tegas Hikmahanto.
"Mereka ini kalau dalam konteks Konvensi Pengungsi maka harus dilakukan proses dulu. Maka mereka disebut awalnya itu adalah pencari suaka. Setelah pencari suaka kalau misalnya oleh UNHCR dianggap sebagai memenuhi kriteria sebagai pengungsi — baru kemudian dianggap sebagai pengungsi. Karena apa? Karena mereka nanti akan disalurkan ke negara ketiga yang mau menerima mereka. Jadi gak setop sampai di Indonesia," jelas dia.
Pakar Hukum Internasional Hikmawanto Juhana dalam program DipTalk kumparan. Foto: Dicky Adam Sidiq/kumparan
Terlebih, sambung Hikmahanto, aturan mengenai imigran sah yang masuk ke wilayah Indonesia juga tertuang dalam Undang-Undang Keimigrasian RI.
ADVERTISEMENT
"Undang-Undang Keimigrasian Pasal 8 Ayat 1 mengatakan bahwa orang kalau mau masuk wilayah Indonesia — atau keluar, mereka harus mempunyai dokumen perjalanan yaitu paspor. Pertanyaan kita: mereka datang ke sini punya paspor atau tidak?" ujarnya.
"Yang kedua, Pasal 9 Ayat 1 Undang-Undang Keimigrasian mengatakan bahwa mereka harus diperiksa melalui tempat pemeriksaan imigrasi, TPI. Mereka diperiksa gak? Kan enggak. Kalau enggak berarti apa? Penyelundup ilegal. Ya kan mereka ini adalah imigran yang ilegal masuk ke Indonesia," jelas dia.
Dengan begitu, Hikmahanto mengimbau seluruh jajaran rakyat Indonesia untuk lebih berhati-hati lagi dalam menggunakan istilah 'pengungsi'. Sebab, dalam kasus orang Rohingya yang tiba di Aceh, hal itu bukan termasuk kategori 'pengungsi' lagi.
ADVERTISEMENT
Melainkan, sudah imigran ilegal yang seharusnya tidak diperlakukan sebagai pengungsi. "Jangan sampai kita menganggap mereka pengungsi, rasa kasihan muncul, rasa kemanusiaan muncul — kita lupa sama rakyat kita sendiri yang mereka ini masih banyak yang miskin, makan belum tentu sehari tiga kali," tutup Hikmahanto.