Hina Raja Lewat Kalender Bebek Kuning, Pria di Thailand Divonis 2 Tahun Penjara

8 Maret 2023 14:41 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bebek kuning tiup, yang telah menjadi simbol perlawanan selama demonstrasi anti-pemerintah, diangkat di atas kerumunan pengunjuk rasa di Bangkok, Thailand, pada 27 November 2020. Foto: Sakchai Lalit/AP Photo
zoom-in-whitePerbesar
Bebek kuning tiup, yang telah menjadi simbol perlawanan selama demonstrasi anti-pemerintah, diangkat di atas kerumunan pengunjuk rasa di Bangkok, Thailand, pada 27 November 2020. Foto: Sakchai Lalit/AP Photo
ADVERTISEMENT
Seorang pria di Kota Bangkok menjual kalender yang menampilkan kartun bebek karet kuning, dijatuhi hukuman dua tahun penjara. Keputusan diambil lantaran menurut pengadilan, kartun satir itu merupakan bentuk ejekan terhadap raja Thailand.
ADVERTISEMENT
Dikutip dari Associated Press, informasi terkait vonis hukuman terhadap pria yang bernama Narathorn Chotmankongsin (26 tahun) itu disampaikan oleh kelompok Pengacara Hak Asasi Manusia Thailand, pada Selasa (7/3).
Dia dilaporkan telah menjual kalender bergambar kartun bebek karet kuning yang dianggap kontroversial. Sementara bebek karet kuning pernah menjadi simbol gerakan protes pro-demokrasi bersejarah di Thailand pada 2020 lalu.
Pengadilan menegaskan, enam ilustrasi bebek karet kuning miliknya tersebut sengaja dibuat untuk menghina raja.
“Pengadilan Pidana Bangkok memutuskan bahwa kalender untuk tahun 2021 yang berisi gambar bebek kuning dalam berbagai pose menyerupai dan mengolok-olok Raja Thailand Maha Vajiralongkorn, sehingga merusak reputasinya,” jelas kelompok pembela HAM.
Pria yang akrab dipanggil Ton Mai itu didakwa di bawah hukum lese majeste Thailand.
ADVERTISEMENT
Demonstran menggunakan bebek karet sebagai tameng untuk melindungi diri dari meriam air saat protes anti-pemerintah di luar gedung parlemen di Bangkok, Thailand. Foto: Athit Perawongmetha/Reuters
Hukum ini berisi aturan bahwa setiap warga negara yang menghina keluarga kerajaan khususnya raja, maka akan dianggap sebagai kejahatan.
Di bawah hukum lese majeste, siapa pun yang mencemarkan nama baik, menghina, atau mengancam baik itu raja, ratu, pewaris takhta, atau bupati — maka diharuskan menjalani hukuman penjara hingga 15 tahun.
Namun, kelompok pembela HAM menerangkan bahwa Ton Mai telah dikurangi hukumannya menjadi dua tahun karena dinilai bersikap baik dan sopan di hadapan pengadilan.
Hukum lese majeste telah lama menuai kritik di Thailand, lantaran bersifat ketat, tabu, dan berisi ketentuan bahwa siapa saja bisa mengajukan pengaduan. Sehingga, hukum ini bisa disalahgunakan demi mencapai tujuan politik partisan.
Dalam beberapa tahun terakhir, UU ini telah menjadi titik fokus para kelompok aktivis pro-demokrasi yang menentang monarki — mereka ingin agar UU lese majeste diubah atau bahkan dihapuskan.
ADVERTISEMENT
Menurut Pengacara HAM Thailand, sedikitnya 233 orang telah didakwa atas tuduhan lese majeste sejak November 2020. Sebelumnya, penuntutan telah ditangguhkan secara informal, tetapi dihidupkan kembali ketika gerakan protes anti-monarki dan kritik terhadap kerajaan kian meningkat.
Tuntutan untuk mengubah sistem monarki di Thailand juga tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sudah menjadi tradisi turun-temurun, monarki dianggap tak tersentuh dan kebal dari hukum, sekaligus menjadi salah satu fondasi utama nasionalisme di Negeri Gajah Putih.