SQR- COV- LIPSUS SIMPANG LOCKDOWN

Hitung-hitungan Lockdown: Karantina Jakarta Bisa Jadi Solusi

18 Maret 2020 8:02 WIB
comment
14
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Penumpang MRT menggunakan masker di tengah penyebaran corona di Jakarta. Foto: Reuters/Willy Kurniawan
zoom-in-whitePerbesar
Penumpang MRT menggunakan masker di tengah penyebaran corona di Jakarta. Foto: Reuters/Willy Kurniawan
Pemerintah Jokowi bisa menetapkan lockdown parsial alih-alih total. Area yang dikunci adalah wilayah-wilayah episentrum corona seperti Jabodetabek.
Kata “lockdown” belakangan kerap bergaung bersama “virus corona” dan “work from home”. Ketiganya memang terkait satu sama lain. Di masa pandemi coronavirus COVID-19 ini, sejumlah negara dan berbagai kota di dunia berturut-turut memberlakukan kebijakan lockdown.
Lockdown secara harfiah bermakna “penguncian”. Artinya, penerapan isolasi atau pembatasan akses wilayah oleh otoritas berwenang sebagai tindakan keamanan. Ini protokol darurat untuk mencegah seseorang meninggalkan suatu area.
Dalam konteks kekinian, lockdown dilakukan guna membendung penyebaran SARS-CoV-2 (nama coronavirus yang tengah mewabah di dunia). Dalam semalam, 16 ke 17 Maret 2020, tiga wilayah di belahan bumi berbeda mengumumkan lockdown: Malaysia, Guatemala, dan Luzon—pulau terbesar di Filipina dan menjadi lokasi ibu kota negara itu.
Sebelumnya, lockdown telah berlaku antara lain di selusin lebih kota di Provinsi Hubei, China—tempat asal COVID-19, Italia, Irlandia, Denmark, Spanyol, dan terbaru adalah Belgia.
Bagaimana dengan Indonesia?
Seperti ucapan Presiden Jokowi, Indonesia tidak berencana memberlakukan lockdown.
“Kalau di-lockdown, kita malah tidak bisa berbuat apa-apa. … Kita harus hati-hati, tidak latah-latahan. Kita negara merdeka,” kata Achmad Yurianto, juru bicara pemerintah RI untuk penanganan coronavirus.
Apa yang sebetulnya bakal terjadi jika Indonesia memberlakukan lockdown?
Lockdown di Indonesia jamak dikenal dengan istilah isolasi (pemisahan) atau karantina (pengurungan). Ia diatur dalam UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Ini regulasi untuk mencegah atau menangkal keluar-masuknya penyakit yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.
Lebih spesifiknya, lockdown yang diterapkan berbagai kota dan negara di dunia dalam UU tersebut masuk definisi “karantina wilayah”, yakni “pembatasan penduduk dalam suatu wilayah beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa, untuk mencegah penyebaran penyakit atau kontaminasi.”
Karantina wilayah, menurut Pasal 5 ayat 1 UU itu, diselenggarakan oleh pemerintah pusat dengan melibatkan pemerintah daerah.
Berikutnya pada Pasal 53 ayat 2, dijelaskan bahwa karantina wilayah dilakukan apabila dari hasil konfirmasi laboratorium terbukti sudah terjadi penyebaran penyakit antaranggota masyarakat di suatu wilayah.
Warga mengenakan masker melintas di kawasan Monumen Nasional, Jakarta. Foto: ANTARA/Aditya Pradana Putra
Dalam kondisi karantina diberlakukan, maka inilah yang akan terjadi seperti diatur dalam UU Kekarantinaan tersebut:
Poin keempat terkait kebutuhan dasar masyarakat yang ditanggung pemerintah pusat sudah tentu bakal memberatkan pemerintah, dan ini diduga menjadi faktor penyumbang keengganan pemerintah melakukan lockdown.
“Apakah pemerintah bisa menjamin semua kebutuhan pokok masyarakat? Termasuk makanan, obat-obatan?” kata ekonom INDEF Bhima Yudhistira.
Selain itu, inilah yang bisa terjadi sebagai implikasi lockdown:
Relawan PMI menyemprotkan cairan disinfektan di sebuah sekolah di Jakarta, Senin (16/3). Foto: REUTERS/Willy Kurniawan
Jadi, lockdown atau tidak?
Bhima berpendapat, lockdown adalah kebijakan bias kelas. “Karyawan di perusahaan-perusahaan mapan bisa work from home. Tapi yang UMKM, tukang gorengan, driver ojol, pekerja kerah biru, mereka kan harus kerja secara fisik di luar rumah.”
Ia menambahkan, “Yang kaya bisa nimbun sembako, yang miskin buat makan besok saja susah, apalagi kalau di-lockdown. Indonesia enggak punya kapasitas untuk memberi makan 10,5 juta orang.”
Usul lockdown sempat disinggung Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Rosan Roeslani, saat bertemu Jokowi. Menurutnya, keselamatan masyarakat adalah yang utama.
Perkara lockdown juga dibahas khusus oleh Pemprov DKI Jakarta bersama Kadin DKI dan Asosiasi Pengusana Indonesia (Apindo) DKI, Minggu (15/3). Pengusaha pada kesempatan itu merekomendasikan tiga kategori lockdown: 1) menutup seluruh kegiatan usaha; 2) menutup sebagian kegiatan usaha; 3) tidak menutup kegiatan usaha untuk sebagian perusahaan.
Perusahaan yang tidak dapat menutup kegiatan usaha ialah yang bergerak di sektor pelayanan kesehatan dan industri alat kesehatan, jasa pemenuhan bahan pokok dan BBM, serta jasa angkutan penumpang dan barang.
Pembatasan kegiatan operasional selama lockdown, ujar Wakil Ketua Pertimbangan Kadin DKI Sarman Simanjorang, memang menjadi dilema bagi sebagian pengusaha. Sebab, gaji karyawan tetap harus dibayar meski pemasukan terhambat.
Apakah artinya tak perlu lockdown?
Peneliti INDEF Abra Talattov mengatakan, lebih baik lihat dulu data tingkat kematian COVID-19 di Indonesia. Sebab, angkanya berada di kisaran 4,3 persen—di atas rata-rata dunia yang hanya 3,4 persen.
“Itu termasuk yang tertinggi di dunia, nomor empat setelah Filipina, Italia, dan Iran. Artinya, risiko penularan dan risiko kematian (akibat corona) di Indonesia itu besar,” ujar Abra. “Mau tak mau, harus ada kebijakan yang agresif.”
Bila pun lockdown dilakukan, lanjut Abra, ada beberapa skema atau varian yang bisa dipilih, semisal: 1) lockdown total se-Indonesia; 2) lockdown wilayah tertentu seperti Jakarta dan sekitarnya yang menjadi episentrum corona di Indonesia; 3) lockdown sektoral sehingga sebagian sektor jasa dan industri penting tetap buka.
Peta sebaran corona di DKI Jakarta, Selasa (17/3). Foto: Dok. corona.jakarta.go.id
Bila wilayah-wilayah yang menjadi episentrum corona seperti Jabodetabek dikarantina, Indonesia dapat meniru model Malaysia yang tak sepenuhnya menghentikan kegiatan operasional. Ia menerapkan pola lockdown parsial.
Di Negeri Jiran itu, 25 sektor yang terkait dengan hajat hidup orang banyak tetap dibuka, antara lain retail (mulai pedagang eceran sampai supermarket), listrik, energi, telekomunikasi, transportasi, bahan bakar migas, keuangan, perbankan, kesehatan (termasuk apotek dan farmasi), pembersihan (cleaning service), pelabuhan, serta bandara.
Dengan demikian, perekonomian tak berhenti total. Di sisi lain, penyebaran virus corona melambat dan kasus infeksi dapat ditekan karena mata rantai penularan dipotong secara signifikan.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten