HNW Tolak Wacana Perpanjangan Masa Jabatan Presiden Melalui Dekrit

24 November 2022 10:45 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hidayat Nur Wahid. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Hidayat Nur Wahid. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) mengkritik dan menolak wacana usulan perpanjangan/penambahan masa jabatan Presiden Jokowi melalui dekrit. Usul ini dilayangkan oleh salah seorang pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
ADVERTISEMENT
Wacana itu menurut HNW selain tidak sesuai dengan ketentuan Konstitusi yang berlaku yaitu UUD NRI 1945 terkait dengan ketentuan soal terkait perubahan UUD dan ketentuan UUD terkait masa jabatan Presiden dan Pilpres per lima tahun sekali.
Ia menambahkan, usulan soal dekrit itu juga bisa mengarahkan Indonesia menjadi negara kekuasaan, bukan negara hukum. Hal yang juga tidak sesuai dengan ketentuan baru UUD NRI 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.
“Melalui amandemen UUD 45, sudah diputuskan, Indonesia ini disepakati ditetapkan bersama sebagai negara hukum (rechtstaat), bukan negara kekuasaan (machstaat). Itulah ketentuan baru yang ada dalam Bab I Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945. Jadi, apabila ada yang mewacanakan mengubah UUD NRI 1945 termasuk perpanjangan masa jabatan Presiden, pengunduran Pilpres," kata HNW melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (24/11).
ADVERTISEMENT
"Tetapi dengan mekanisme yang tidak sesuai dengan ketentuan Konstitusi yang berlaku, sebagaimana sudah diatur dalam Pasal 37 ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945. Itu merupakan wacana yang tidak bisa dibenarkan dan tidak bisa ditindaklanjuti, karena tidak memenuhi aturan konstitusi yang berlaku,” ujarnya.
Ia mengatakan, sesuai tuntutan Reformasi, maka sudah disepakati amandemen UUD 1945, di antaranya selain ketentuan mekanisme perubahan terhadap UUD, termasuk masa jabatan Presiden. MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara waktu itu, sudah melaksanakan kewenangan konstitusional dan tuntutan reformasi dengan menyepakati ketentuan baru bahwa Indonesia merupakan negara hukum.
Hal tersebut secara jelas dan definitif disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945.
“Dan salah satu ciri negara hukum adalah menjunjung tinggi supremasi hukum, termasuk ketentuan UUD. Itu yang harusnya dilaksanakan, dipegang bersama. Dan para pimpinan lembaga negara yang mestinya menjadi Negarawan, harusnya berada di garda terdepan, menjadi teladan bagi Rakyat,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Karenanya, HNW sangat menyayangkan adanya wacana mengusulkan perpanjangan masa jabatan Presiden dengan mendorong Presiden Jokowi membuat Dekrit. Karena “dekrit” itu secara legal adalah jenis keputusan Presiden, dan itu bukan ketentuan UUD. Bila mengacu kepada konsep negara hukum yang berlaku saat ini di Indonesia.
Keputusan Presiden tidak bisa mengubah ketentuan-ketentuan atau ayat-ayat yang ada dalam UUD NRI 1945.
“Pasal 3 ayat (1) UUD NRI 1945 secara tegas menyebut bahwa perubahan UUD NRI 1945 itu merupakan kewenangan MPR, bukan Presiden. Mekanismenya pun diatur dengan jelas dalam Pasal 37 ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945, juga tidak dengan wacana bernama dekrit yang tidak ada di dalam ketentuan UUD,” ujar Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
ADVERTISEMENT
HNW mengingatkan agar wacana perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi melalui dekrit ini tidak disamakan dengan dekrit mengembalikan UUD NRI 1945 oleh Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959.
“Kondisi politik dan aturan hukum yang berlaku sangatlah berbeda. Dahulu, ada kondisi deadlock politik konstitusional, sekarang tidak ada. Dulu tidak ada aturan Konstitusi yang menyebut dengan tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, sekarang ketentuan sebagai negara hukum itu dinyatakan dengan tegas di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945,” tukasnya.
Oleh karenanya, lanjut HNW, dengan kondisi konstitusional dan politik yang berbeda itu, dan apalagi pasca amandemen UUD NRI 1945, upaya untuk mengulang model “dekrit” presiden tersebut tidak berhasil dilakukan. Misalnya, seperti maklumat atau dekrit Presiden Gus Dur yang membubarkan DPR.
ADVERTISEMENT
“Maklumat atau ‘dekrit’ tersebut tidak bisa dijalankan, malah berdampak negatif terhadap Presiden Gus Dur dan kelanjutan kekuasaannya,” ujarnya.
HNW juga menuturkan bahwa wacana perpanjangan masa jabatan apalagi dengan dekrit tersebut juga tidak sesuai dengan sikap Presiden Joko Widodo yang sudah menegaskan di depan para Relawannya agar tidak ada lagi yang membahas perpanjangan masa jabatan Presiden. Bahkan, kata dia, Presiden Jokowi pernah menyebutkan bahwa yang mengusulkan perpanjangan masa jabatan Presiden ada kemungkinan untuk menjerumuskannya.
Selain mencari muka atau bahkan menampar wajah Presiden. Maka wajar bila dalam acara pembukaan Munas HIPMI di Solo kemaren, Presiden yang sudah menyebut adanya calon presiden dan calon wakil presiden, dan tidak merespons positif usulan untuk mengeluarkan Dekrit demi perpanjangan masa jabatannya.
ADVERTISEMENT
“Semestinya semua pihak, apalagi yang mengaku sebagai negarawan, mengikuti aturan Konstitusi dan arahan Presiden Jokowi, tegak lurus dengan Konstitusi, agar menjaga kondisi politik tetap kondusif, dengan tidak bermanuver yang bisa menimbulkan kondisi yang memanas dan membuat resah masyarakat, karena tidak dilaksanakannya ketentuan konstitusi,” tuturnya.
Semua pihak menurut dia mestinya fokus bantu KPU dan Bawaslu mempersiapkan sukses Pemilu 2024, apalagi UU tentang Pemilu yang menetapkan Pemilu (termasuk Pemilihan Presiden) tetap tanggal 14 Februari 2024, sudah disepakati oleh Pemerintah, DPR, DPD, KPU dan Bawaslu. Bahkan tahapan menuju Pemilu sudah makin berjalan. Partai-partai peserta pemilu juga sudah diverifikasi administrasi dan faktual oleh KPU.
"Beberapa partai juga sudah umumkan bacapres dan/atau koalisinya untuk pilpres 2024. Focus sukseskan Pemilu termasuk Pilpres 2024, lebih konstruktif, konstitusional, dan sesuai harapan Rakyat dan Presiden Jokowi,” pungkasnya.
ADVERTISEMENT