Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Hubungan Pimpinan dan Dewas KPK Memanas, Berikut Deretan Faktanya
6 Juni 2024 8:26 WIB
·
waktu baca 7 menit
ADVERTISEMENT
Dewan Pengawas (Dewas) KPK dan pimpinan KPK 'memanas'. Semua berawal dari pertemuan di DPR.
ADVERTISEMENT
Saat itu Dewas meluapkan curahan hati (curhat) mengenai pimpinan KPK yang melakukan perlawanan dengan melaporkan Dewas ke polisi karena diproses perkara etik.
Curhat Dewas
Hal itu disampaikan Dewas KPK dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR pada Rabu (5/6). Dalam salah satu poin paparan, perlawanan itu disebut oleh Dewas KPK sebagai salah satu kendala mereka untuk bekerja.
“Terakhir ini, ada perlawanan juga dari pimpinan KPK kalau pimpinan KPK sudah terlibat di dalam dugaan pelanggaran etik, seperti yang sudah diberitakan baru-baru ini, yaitu salah satu orang pimpinan yang sedang diperiksa dalam persidangan etik oleh Dewan Pengawas atas laporan masyarakat, justru melaporkan Dewas kepada Aparat Penegak Hukum dengan tuduhan menyalahgunakan kewenangan dan pencemaran nama baik,” kata Ketua Dewas Tumpak Hatorangan Panggabean dalam rapat dengar pendapat di Komisi III DPR RI.
ADVERTISEMENT
Selain melaporkan ke polisi, pimpinan dimaksud juga melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan melakukan judicial review ke Mahkamah Agung.
Dan perlawanan semacam ini, kata Tumpak, baru terjadi di KPK. Dia baru mengalami sejak dirinya di KPK sebagai pimpinan pertama.
“Saya cukup lama juga di KPK karena saya termasuk pimpinan KPK yang pertama, ini satu hal yang baru ya, jadi pimpinan KPK melaporkan Dewan Pengawas melakukan tindak pidana ke Bareskrim, pencemaran nama baik, dan penyalahgunaan kewenangan, karena kami memanggil dan menyidangkan seorang pimpinan,” imbuh Tumpak.
Perlawanan ini dianggap sebagai kendala Dewas dalam menindak dan memproses etik pimpinan KPK.
Hal ini diduga terkait dengan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron. Dewas KPK sedang mengusut dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Ghufron.
ADVERTISEMENT
Ghufron diduga menyalahgunakan pengaruh sebagai Pimpinan KPK dalam proses mutasi pegawai di Kementerian Pertanian. Dalam pembelaannya, Ghufron mengakui soal mutasi anak kerabatnya itu. Namun, ia berdalih bukan pelanggaran etik, melainkan hanya meneruskan aspirasi.
Ghufron tak terima dengan proses di Dewas KPK itu. Ia kemudian menggugat Dewas KPK ke MA dan PTUN Jakarta. Bahkan melaporkan secara pidana ke Bareskrim.
Dewas KPK sudah menyidangkan dan tinggal membacakan vonis. Namun, belum sempat vonis dibacakan, PTUN Jakarta mengeluarkan putusan sela yang isinya memerintahkan Dewas KPK menghentikan proses.
Kini, proses etik itu belum jelas kelanjutannya. Menurut Dewas, menunggu hingga inkrah.
Dewas Merasa Dibatasi dan Disepelekan
Tumpak menceritakan, mulanya mereka bebas meminta data apa saja ke Kesekjenan atau kepada Deputi. Namun belakangan, akses tersebut dibatasi dengan harus meminta persetujuan pimpinan KPK.
ADVERTISEMENT
Jadi, Dewas tidak lagi bebas meminta informasi yang dibutuhkan. Harus terlebih dahulu melalui persetujuan pimpinan KPK.
“Dalam dua tahun terakhir ini, akses kami untuk mendapatkan data-data itu juga sudah mulai sulit kami peroleh, karena ada ketentuan di pimpinan KPK pemberian dokumen atau data tertulis itu harus melalui persetujuan pimpinan KPK,” kata Tumpak.
“Yang selama ini kami bisa minta saja kepada Deputi, ‘tolong kami minta’, [kepada] Sekjen, ‘tolong minta’, dikasih-kasih. Tapi dua tahun terakhir ini itu sudah ditutup, harus melalui pimpinan KPK. Kami merasa itu satu kendala,” imbuh Tumpak.
Lalu kendala lain yang disebut Tumpak adalah sikap pimpinan KPK yang disebut terkesan memandang sepele putusan-putusan atau ketetapan yang diketok Dewas. Dalihnya, karena ketetapan Dewas tidak tercatat di Kemenkumham sehingga dianggap tidak sah.
ADVERTISEMENT
“Juga pernyataan-pernyataan pimpinan di dalam rapat-rapat tertentu dengan Deputi dengan Direktur yang mengatakan, seolah-olah apa yang telah diputuskan Dewas adalah, ya, tidak sah, sehingga menimbulkan persepsi yang negatif terhadap Dewan Pengawas,” ungkap Tumpak.
Dia mengungkapkan, pimpinan KPK kerap menilai peraturan kode etik dan perilaku yang ditetapkan Dewas sebagai aturan yang tidak sah.
“Kenapa? Karena tidak didaftarkan, tidak diundangkan di Menkumham, tidak dimuat dalam berita negara, padahal sebelum kami menetapkan peraturan itu terlebih dahulu kami berkonsultasi kepada Menteri Hukum dan HAM karena ini adalah aturan internal, tidak perlu didaftarkan ke Kemenkumham,” ujar Tumpak.
Dia juga menceritakan bahwa dirinya beberapa kali mendapatkan ‘cerita belakang’ dari pimpinan KPK. Pimpinan KPK dianggap sering melontarkan komentar negatif terhadap dewan pengawas tak pernah disampaikan langsung di hadapan Dewas.
ADVERTISEMENT
“Kemudian pandangan-pandangan yang negatif dari pimpinan juga dalam rapat-rapat internal dengan struktural memberikan komentar-komentar yang negatif tentang Dewan Pengawas tetapi tidak pernah menyampaikan itu secara langsung kepada Dewan Pengawas, baik di dalam pertemuan formal maupun yang tidak formal,” pungkas Tumpak.
Singgung Sulit Diperiksa Etik
Hal lain, menurutnya pimpinan KPK kerap menunda bila ada pemeriksaan etik
“Kemudian juga di dalam etik, itu ada satu resistensi dari pimpinan KPK, apabila pimpinan KPK terlibat di dalam dugaan pelanggaran kode etik ini, pemanggilan untuk kami dengar keterangannya, sulit sekali kami peroleh, dan selalu diulur-ulur waktunya karena pimpinan punya banyak tugas dan sebagainya sehingga tidak menepati apa yang sudah kami jadwalkan,” kata Tumpak saat rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, Rabu (05/6).
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, pimpinan KPK juga terkesan memandang sepele putusan-putusan yang ditetapkan Dewas. Dalihnya, karena ketetapan Dewas tidak tercatat di Kemenkumham.
“Juga pernyataan-pernyataan pimpinan di dalam rapat-rapat tertentu dengan Deputi dengan Direktur yang mengatakan, seolah-olah apa yang telah diputuskan Dewas adalah, ya, tidak sah, sehingga menimbulkan persepsi yang negatif terhadap Dewan Pengawas,” ungkap Dewas.
Tumpak menceritakan bahwa peraturan mengenai kode etik dan perilaku yang ditetapkan Dewas dinilai oleh pimpinan KPK sebagai aturan yang tidak sah.
“Kenapa? Karena tidak didaftarkan, tidak diundangkan di Menkumham, tidak dimuat dalam berita negara, padahal sebelum kami menetapkan peraturan itu terlebih dahulu kami berkonsultasi kepada Menteri Hukum dan HAM karena ini adalah aturan internal, tidak perlu didaftarkan ke Kemenkumham,” kata Tumpak.
ADVERTISEMENT
“Nah, itu sudah kita sudah jelaskan juga, tetapi kelihatannya, ya, dia tidak tahu ya,” imbuh Tumpak.
Diawali Gugatan oleh Pimpinan KPK
Dalam pernyataan tertulisnya yang disampaikan ke Dewas KPK, pimpinan KPK Nurul Ghufron mengungkapkan alasannya tidak hadir. Salah satunya, berkaitan dengan menggugat Peraturan Dewas Nomor 3 Tahun 2021 dan Peraturan Dewas Nomor 4 Tahun 2021 ke Mahkamah Agung (MA).
"Sebelumnya perlu kami sampaikan bahwa sebelum persidangan dugaan pelanggaran etik dilaksanakan, kami telah mengajukan uji keabsahannya persidangan ini," kata Ghufron dalam keterangannya, Kamis (2/5).
"Yaitu landasan hukum pemeriksaan sidang etik ini, sedang diajukan Hak Uji Materiil terhadap Peraturan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2021 tentang Penegakan Kode Etik dan Kode Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Peraturan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Persidangan Pelanggaran Kode Etik dan Kode Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana terdaftar dalam kepaniteraan Mahkamah Agung pada tanggal 24 April 2024," lanjut dia.
ADVERTISEMENT
Ghufron juga menyinggung tentang laporannya ke MA tersebut. Menurutnya, laporan kepadanya terkait kasus etik itu telah kedaluwarsa dan tidak selayaknya naik proses sidang.
"Oleh karena itu, karena baik tindakannya memeriksa saya yang dalam perspektif saya laporan dimaksud telah daluarsa, maupun peraturan yang mendasarinya itu sedang saya uji ke Mahkamah Agung, maka secara hukum saya berharap [sidang etik] itu ditunda," tuturnya saat ditemui wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (2/5).
Jika dilihat pada info perkara di laman resmi MA, tercantum gugatan Ghufron itu teregister dengan nomor perkara 26/P/HUM/2024 yang terdaftar pada Kamis, 25 April 2024.
Dengan mempertimbangkan pertimbangan hukum pada Pasal 55 UU MK, Ghufron pun meminta sidang kasus etiknya pun ditunda.
ADVERTISEMENT
Pasal 55 UU MK itu sebelumnya digugat di MK. Berikut bunyi pasal yang dimaksud:
Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.
Gugatan itu diajukan Abda Khair Mufti dan dua Pemohon lainnya selaku pegawai swasta. MK pun mengabulkan gugatan UU tersebut, yakni digantinya frasa 'wajib dihentikan' menjadi 'ditunda pemeriksaannya'.
Sehingga, pasal itu berubah bunyinya menjadi:
Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung ditunda pemeriksaannya apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.
ADVERTISEMENT
"Mendasari putusan MK tersebut, bahwa ketentuan yang mendasari pemeriksaan sidang etik ini sedang diajukan uji materi ke Mahkamah Agung, oleh karena itu secara hukum semestinya penerapan norma yang sedang diuji tersebut ditunda sampai ada putusan Mahkamah Agung," imbuh Ghufron.