Hukou, Sistem Kartu Keluarga China yang Bikin Wanita Patah Hati

29 Oktober 2017 6:30 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hukou, kartu keluarga di China. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Hukou, kartu keluarga di China. (Foto: Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
Menjalankan sebuah negara sejatinya adalah sebuah proses yang terus berjalan. Mencari kecocokan sistem dengan masyarakat bukan perkara mudah, percobaan dan kegagalan adalah barang lumrah. Seperti di China dalam hal sistem kependudukan yang kini telah direformasi.
ADVERTISEMENT
Sejak pembentukan China tahun 1949, industri mulai berkembang pesat di perkotaan. Jurang pendapatan antara warga kota dan desa kian nyata.
Mao Zedong menyadari adanya kecenderungan perpindahan masyarakat desa ke kota. Ini berbahaya. Desa bisa kosong dari petani, dan kota akan dipadati manusia dengan segala problematikanya. Imbasnya, hasil tani bisa anjlok, angka kriminalitas dan pengangguran bisa meroket.
Akhirnya pemerintah Mao menerapkan sistem kartu keluarga wilayah yang dikenal dengan nama Hukou.
Menurut Guihua Xie, ahli sosiologi di Renmin University, Beijing, sistem Hukou dibentuk untuk mengendalikan migrasi dari desa ke kota. Dengan hukou ini, warga pedesaan China tidak boleh pindah dan tinggal menetap di kota, begitu juga sebaliknya.
Melalui Hukou, pemerintah China kala itu membagi masyarakat menjadi dua bagian.
Hukou, kartu keluarga di China. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Hukou, kartu keluarga di China. (Foto: Wikimedia Commons)
"Hukou adalah sistem pendataan keluarga yang dibagi menjadi dua jenis. Yaitu hukou pertanian (urban) dan hukou non-pertanian (rural)," kata Guihua dalam sebuah kuliah yang dihadiri kumparan (kumparan.com) di Renmin University, Sabtu (28/10).
ADVERTISEMENT
Dalam buku Hukou yang diterbitkan per keluarga terdapat data kelahiran, kematian, pernikahan, perceraian, dan perpindahan dari semua anggota keluarga tersebut. Status dan pergerakan mereka diawasi betul oleh pemerintah.
Tidak hanya itu, menurut Guihua, Hukou juga mengatur jaminan sosial pemerintah yang berbeda antara warga desa dan kota. Para petani mendapatkan lahan. Sedangkan warga kota dapat pekerjaan, makanan, dan sembako yang semuanya diatur dengan pemberian kupon.
Hukou kemudian membagi lagi warga desa menjadi beberapa bagian sesuai dengan sistem kelas Karl Marx.
Ilustrasi keluarga China di pedesaan. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi keluarga China di pedesaan. (Foto: Pixabay)
"Ada sistem kelas, yaitu petani, kelas pekerja, borjuis yaitu pemilik pabrik, dan tuan tanah. Ini adalah pelabelan generasi pertama," ujar Guihua.
Dengan sistem ini, pemerintah juga menentukan pekerjaan warganya di pemerintahan. Penentuan ini sifatnya wajib dipenuhi, mustahil untuk mengubah pekerjaan, kata Guihua.
ADVERTISEMENT
"Biasanya saat itu pekerjaan pertama adalah pekerjaan terakhir. Tidak ada kebebasan memilih pekerjaan. Saat itu dihapuskan, sekarang justru anak muda yang ingin sistem ini dikembalikan karena sulit cari kerja," ujar Guihua.
Bikin patah hati
Pemilik Hukou dari desa boleh ke kota untuk menempuh pendidikan di bangku kuliah. Pendidikan tinggi ini menjadi cara mereka untuk meningkatkan strata sosial, lalu menjadi pejabat desa kemudian mendaftar jadi kader Partai Komunis. Nasib bisa berubah.
Setelah menyelesaikan bangku kuliah, para pemilih Hukou desa harus pulang kembali ke desanya. Itulah sebabnya, ketika acara kelulusan bukannya kegembiraan yang ada justru kesedihan.
Menurut Guihua, dia harus patah hati karena berpisah dengan kekasihnya yang memiliki Hukou beda wilayah.
ADVERTISEMENT
"Saat perpisahan adalah saatnya patah hati. Karena mustahil kala itu pemilik Hukou yang berbeda bisa menikah," ujar dia.
Ilustrasi keluarga China di perkotaan. (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi keluarga China di perkotaan. (Foto: Wikimedia Commons)
Pada perkembangannya, kata Guihua, Hukou tidak ubahnya sistem kasta, membagi masyarakat berdasarkan keturunan dan status sosial. Kesenjangan pendapatan antara masyarakat kota dan desa juga kian dalam. Hukou membatasi upaya warga desa untuk memperbaiki nasib dengan bekerja di kota.
"Terjadi diskriminasi antara penduduk desa dan kota," lanjut dia.
Lantas upaya reformasi Hukou didengungkan. Pada tahun 2015, akhirnya pemerintah China di bawah pemerintahan Xi Jinping mereformasi sistem Hukou untuk meredakan ketegangan di tengah masyarakat.
Di bawah sistem yang baru, warga bisa mengajukan izin tinggal jika telah bekerja selama enam bulan di kota dengan menunjukkan surat kontrak kerja. Para migran ini juga mendapatkan akses yang sama dengan warga setempat, yaitu jaminan kesehatan dan pendidikan gratis bagi anak-anak mereka hingga usia 15 tahun.
ADVERTISEMENT
Laporan: Denny Armandhanu dari Beijing, China