Humphrey Djemat: Ada Calon Menteri Diminta Bayar Rp 500 M ke Parpol

24 November 2019 19:39 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Humphrey Djemat, Ketum PPP versi mukhtamar Jakarta. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Humphrey Djemat, Ketum PPP versi mukhtamar Jakarta. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
ADVERTISEMENT
Ketum PPP versi Muktamar Jakarta, Humphrey Djemat, ikut menolak wacana perubahan pilkada langsung menjadi tidak langsung. Pasalnya, menurut Humphrey, hampir semua peristiwa politik pasti transaksional, apalagi dengan pilkada tak langsung.
ADVERTISEMENT
Menurut pengalamannya, Humprey menyebut, tiap jabatan pasti memiliki harga tertentu.
“Tidak ada yang namanya makan siang gratis, semuanya harus ada nilai tertentu, ini yang menyulitkan,” kata Humphrey saat diskusi di kantor Formappi, Jakarta Timur, Minggu (24/11).
Humphrey kemudian mencontohkan salah satu transaksi uang di partai politik yang dia ketahui. Menurutnya, ada salah satu calon menteri yang diwajibkan partai politik untuk menyetor uang sebesar Rp 500 miliar setelah duduk di kabinet Jokowi-Ma’ruf.
Namun, Humphrey enggan menyebutkan partai mana yang dimaksud.
“Bahkan juga, saya sudah mendengar dari calon menteri yang sebenernya itu pilihan dari Jokowi. Dia mau di-endorse partai politik tersebut, dia tidak harus kasih uang untuk itu. Tapi harus ada komitmen selama dia menjadi menteri, dia harus bisa mengkontribusi Rp 500 miliar,” kata Humphrey.
Menteri Kabinet Indonesia Maju di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Rabu (23/10/2019). Foto: AFP/Adek Berry
“Nah itu karena dia memang orang profersional ya, itu tentu against dari pada esensi dari hati nuraninya, dia tidak mau. Kalau dia mau, dia bisa, karena diminta uang pun dia tidak punya, karena dia seorang profesional, keahliannya memang dibutuhkan oleh Presiden,” ujar Humphrey.
ADVERTISEMENT
Menurut Humprey, persoalan ini yang harus dibenahi dengan segera. Setiap partai politik harus membenahi masalah transaksi politik yang sudah dianggap wajar dan menjadi rahasia umum. Masalah ini, kata dia, harusnya menjadi catatan penting dalam evaluasi pilkada.
“Jadi memang partai politik kitalah yang bermasalah. Karena memang di situ transaksional kerap terjadi. Bahkan saya yang relatif baru terjun ke dunia partai politik sudah melihat itu, masalah terbesar kita adalah di partai politik,” kata Humphrey.
Jika masalah ini tidak diselesaikan, maka mau pilkada langsung atau tidak langsung tidak akan ada bedanya. Hasilnya akan tetap sama, yakni melahirkan pemimpin yang tidak berintegritas.
“Karena andai katakan juga pilkada tidak langsung ini dilangsungkan kehidupan partai politik kita masih juga transaksional," jelas Humprey.
ADVERTISEMENT
"Pemimpin yang muncul ini pasti akan tersandera oleh kepentingan partai politik tersebut,” tutup Humprey.