ICW Laporkan Komjen Firli Bahuri ke Dewas KPK Terkait OTT UNJ

26 Oktober 2020 15:13 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ketua KPK Firli Bahuri menggunakan masker dan pelindung wajah saat menjalani sidang etik dengan agenda pembacaan putusan di Gedung ACLC KPK, Jakarta. Foto: Hafidz Mubarak A/Antara Foto
zoom-in-whitePerbesar
Ketua KPK Firli Bahuri menggunakan masker dan pelindung wajah saat menjalani sidang etik dengan agenda pembacaan putusan di Gedung ACLC KPK, Jakarta. Foto: Hafidz Mubarak A/Antara Foto
ADVERTISEMENT
Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan Ketua KPK, Komjen Firli Bahuri dan Deputi Penindakan, Irjen Karyoto, ke Dewan Pengawas (Dewas). Laporan tersebut atas dugaan pelanggaran etik pada OTT KPK terhadap pejabat Universitas Negeri Jakarta (UNJ) di Kemendikbud beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
"Pada hari ini, Indonesia Corruption Watch melaporkan Firli Bahuri selaku Ketua KPK dan Karyoto selaku Deputi Penindakan atas dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku ke Dewan Pengawas," kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, dalam keterangannya, Senin (26/10).
Kurnia mengatakan, latar belakang pelaporan ini berkaitan kasus OTT UNJ beberapa waktu lalu. ICW menilai, berdasarkan petikan putusan etik terhadap mantan Direktur Pengaduan Masyarakat (Dumas) KPK Aprizal, Firli dan Karyoto dinilai turut melakukan pelanggaran etik.
"Diduga terdapat beberapa pelanggaran serius yang dilakukan oleh keduanya," kata Kurnia.
ICW merinci, setidaknya ada empat dugaan pelanggaran etik yang terjadi.
Deputi Penindakan KPK Karyoto (tengah) didampingi Juru Bicara Ali Fikri (kanan) memberikan keterangan pers terkait penahanan tersangka Heri Tantan Sumaryana. Foto: Indrianto Eko Suwarso/kumparan
Pertama, Firli dinilai bersikukuh untuk mengambil alih penanganan kasus yang saat itu dilakukan Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
ADVERTISEMENT
Padahal Aprizal sudah menjelaskan bahwa setelah Dumas yang melakukan pendampingan, tidak ditemukan adanya unsur penyelenggara negara.
"Sehingga, berdasarkan Pasal 11 ayat (1) huruf a UU KPK, maka tidak memungkinkan bagi KPK untuk menindaklanjuti kejadian tersebut," kata Kurnia.
Kedua, Firli menyebutkan dalam pendampingan yang dilakukan oleh Tim Dumas terhadap Itjen Kemendikbud, telah ditemukan tindak pidananya. Padahal, ia diduga tidak mengetahui kejadian sebenarnya.
Sehingga, kata Kurnia, menjadi janggal jika Firli langsung menyimpulkan adanya tindak pidana korupsi dan dapat ditangani KPK.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Ketiga, tindakan Firli dan Karyoto saat menerbitkan surat perintah penyelidikan dan pelimpahan perkara ke Kepolisian juga diduga tidak didahului dengan mekanisme gelar perkara di internal KPK.
Padahal, kata Kurnia, dalam aturan KPK untuk dapat melakukan dua hal tersebut mesti didahului dengan gelar perkara yang diikuti stakeholder kedeputian penindakan serta para Pimpinan KPK.
ADVERTISEMENT
Keempat, tindakan Firli untuk mengambil alih penanganan yang dilakukan Itjen Kemendikbud diduga atas inisiatif pribadi tanpa melibatkan atau pun mendengar masukan dari Pimpinan KPK lainnya. Padahal, kata Kurnia, Pasal 21 UU KPK menyebutkan bahwa Pimpinan KPK bersifat kolektif kolegial.
Atas dasar itu, ICW melaporkan Firli dan Karyoto ke Dewas KPK. Laporan didasari atas keduanya diduga melanggar Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 5 ayat (1) huruf c, Pasal 5 ayat (2) huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf e, Pasal 7 ayat (1) huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) huruf c Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi.
ADVERTISEMENT
"ICW mendesak agar Dewan Pengawas menyelenggarakan sidang dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Firli Bahuri dan Karyoto," kata Kurnia.
"Serta mendesak agar Dewan Pengawas memanggil dan meminta keterangan dari keduanya serta saksi-saksi lainnya yang dianggap relevan dengan pelaporan ini," sambungnya.
Gaya Ketua KPK Firli Bahuri saat menjalani sidang etik dengan agenda pembacaan putusan di Gedung ACLC KPK, Jakarta, Kamis (24/9/2020). Foto: Hafidz Mubarak A/Antara Foto
Selain itu, ICW juga meminta Dewas untuk menjatuhkan sanksi etik kepada Firli dan Karyoto. Khusus Firli, ICW meminta sanksi yang dijatuhkan lebih berat.
"Kita perlu mengingat kembali 2 pelanggaran etik yang telah terbukti dilakukan oleh Firli Bahuri. Pada 2018, ketika menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK, Firli Bahuri diketahui bertemu dengan Tuan Guru Bajang," kata Kurnia.
"Pelanggaran etik yang terkini adalah, Firli Bahuri terbukti menggunakan moda transportasi mewah berupa helikopter pada sekitar bulan Juni 2020. Untuk itu, Dewan Pengawas semestinya dapat menjatuhkan sanksi lebih berat, berupa pemberhentian dengan tidak hormat terhadap yang bersangkutan," pungkasnya.
Ilustrasi KPK. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan

OTT KPK yang Berujung Etik

Berantakannya OTT KPK di Kemendikbud beberapa waktu lalu terungkap dari putusan etik Aprizal. Dalam putusan itu, Aprizal dinilai melanggar etik dan pedoman perilaku yang menimbulkan suasana tegang yang tak kondusif dan harmonis. Atas putusan itu, dia disanksi teguran lisan.
ADVERTISEMENT
Namun, dari putusan itu, terungkap pula bagaimana berantakannya operasi KPK itu. Pada hari itu, KPK sebenarnya hanya mendampingi Tim Inspektorat Kemendikbud yang sedang mengusut dugaan adanya suap. Aprizal bagian dari Direktorat Pengaduan Masyarakat KPK yang menurunkan tim untuk mendampingi Tim Itjen Kemendikbud.
Saat itu, Itjen Kemendikbud bersama KPK menyambangi Kemendikbud. Tim kemudian meminta keterangan Dwi Achmad Noor yang merupakan Kabag Kepegawaian UNJ.
Saat itu, Dwi bercerita bahwa ia diminta oleh Rektor UNJ, berdasarkan hasil Rapimsus, untuk memberikan sejumlah uang kepada beberapa orang di Kemendikbud untuk THR. Namun ada yang belum terealisasi.
Bersamanya, diamankan sejumlah dugaan barang bukti yakni uang sebesar USD 1.200, ditambah Rp 8 juta, CCTV, kemudian bukti percakapan yang berisi perintah rektor kepada Kabag SDM UNJ untuk serahkan uang kepada pejabat di Kemendikbud.
ADVERTISEMENT
Setelah itu, tindak lanjutnya diserahkan pada Tim Itjen Kemendikbud. Aprizal pun melaporkan hasil kegiatannya tersebut kepada Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dan Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat (PIPM) Herry Mulyanto.
Selanjutnya, ia mengirimkan laporan yang sama ke semua Pimpinan KPK dan Deputi Penindakan Karyoto. Tak lama, Ketua KPK Komjen Firli Bahuri membalas pesan tersebut dan meminta kasus tersebut ditangani oleh KPK.
Ketua KPK Firli Bahuri menyampaikan keterangan pers usai melakukan pertemuan dengan MPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (14/1). Foto: ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
"Kemudian saksi 9 (Firli) menyampaikan, 'Ini ada OTT, kenapa tidak diambil alih. Saudara (Aprizal) pernah jadi direktur lidik, itu harusnya ditangani oleh KPK'. Lalu Terperiksa jawab 'Pak, itu tak ada PN (penyelenggara negara)-nya'," kata Dewas KPK Syamsuddin Haris membacakan pertimbangan putusan etik Aprizal.
"Selanjutnya Terperiksa menghubungi saksi 1 (Karyoto), lalu sampaikan 'Pak Karyoto tadi saya membantu melakukan OTT, tapi bukan untuk kita tangani, karena tidak ada PN-nya' Terperiksa juga ceritakan adanya rektor tapi rektor belum diperiksa. Lalu saksi 1 terdiam, lalu merespons 'Pak tapi ini perintah loh, perintah dari Pak Firli, saya tidak bisa ngapa-ngapain'. Saksi 2 (Direktur Penyelidikan Endar Prihanto) juga merespons 'Bahwa ini perintah Pak Firli'," bunyi putusan Dewas terhadap Aprizal.
ADVERTISEMENT
Belakangan, diputuskan dilakukan penyelidikan terkait perkara itu. Bahkan Dwi sempat diminta datang ke kantor KPK untuk diminta keterangannya.
Belakangan, KPK mengakui tidak ada unsur penyelenggara negara dalam perkara tersebut. KPK melimpahkannya ke Polda Metro Jaya.
Namun, pada akhirnya, Polda Metro Jaya pun menghentikan perkara tersebut karena dinilai tidak cukup bukti.