ICW: Pilkada 2020 Rawan Kecurangan dan Corona, Mesti Ditunda

2 Oktober 2020 14:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi pilkada Foto: Embong Salampessy/Antara
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pilkada Foto: Embong Salampessy/Antara
ADVERTISEMENT
Desakan untuk menunda Pilkada 2020 di tengah pandemi virus corona terus mengemuka. Pilkada yang digelar di tengah pandemi dinilai justru membahayakan keselamatan masyarakat.
ADVERTISEMENT
ICW mengecam keputusan Presiden Jokowi bersama DPR yang menyatakan tetap menggelar Pilkada Serentak 2020.
ICW menilai bahwa pilkada dikhawatirkan justru akan membuat penyebaran virus corona akan lebih masif. Sebab, penyelenggaraan pilkada melibatkan banyak orang.
"Pelaksanaan pilkada di tengah pandemi yang semakin memburuk akan menyebabkan berbagai dampak negatif. Pertama, dapat dipastikan pelaksanaan pilkada akan mengancam kesehatan dan nyawa warga," kata Peneliti ICW, Egi Primayogha, kepada wartawan, Jumat (2/10).
Peneliti ICW Egi Primayogha. Foto: Mirsan Simamora/kumparan
ICW melansir bahwa hingga 1 Oktober 2020, jumlah kasus positif COVID-19 di Indonesia telah mencapai 291 ribu. Tercatat 10.856 orang telah meninggal dunia akibat virus tersebut.
Sementara pilkada berpotensi membuat kerumunan yang justru rawan akan penyebaran corona.
"Proses kampanye misalnya, jelas akan melibatkan banyak orang. Lebih lagi KPU telah mengizinkan digelarnya konser untuk kampanye pilkada. Begitu juga dengan perhitungan suara yang akan melibatkan cukup banyak pihak dalam prosesnya. Dengan begitu, maka risiko penularan akan semakin tinggi," papar Egi.
ADVERTISEMENT
Selain corona, permasalahan lain yang disoroti ICW ialah kerawanan terjadinya kecurangan dalam Pilkada 2020. ICW menenggarai politik uang akan semakin marak di tengah pandemi. Sebab, kondisi ekonomi masyarakat yang terimbas.
"Bantuan sosial yang diberikan pemerintah juga tak selalu lancar. Kondisi itu dapat dimanfaatkan oleh para kandidat untuk melakukan praktik vote buying. Kandidat memberikan hal mendesak yang dibutuhkan warga guna mendapatkan suara. Politisasi bantuan sosial untuk kepentingan Pilkada juga akan marak, terutama dilakukan oleh petahana," ungkap Egi.
Warga melintas di depan mural bertema pemilihan umum di kawasan Dukuh Atas, Jakarta. Foto: ANTARA FOTO/Galih Pradipta
Hal itu diperburuk dengan pengawasan yang dinilai akan semakin kurang. Sebab, pandemi akan membatasi ruang gerak warga untuk mengawasi.
"Jika pun dipaksakan risiko penularan akan semakin tinggi. Oleh sebab itu praktik kecurangan akan semakin marak," ujar Egi.
ADVERTISEMENT
ICW juga memprediksi partisipasi warga dalam memilih akan menurun. Warga kemungkinan besar akan enggan untuk berpartisipasi karena besarnya risiko penularan.
Rendahnya partisipasi dinilai justru akan menurunkan kualitas Pilkada. "Ikut hadir di bilik suara dengan protokol kesehatan sekalipun, tetap tidak mengurangi risiko dan ancaman kesehatan dan nyawa mereka," kata Egi.
Ia menambahkan, opsi penundaan pilkada masih terbuka. Ia merujuk penjelasan Pasal 201A ayat (3) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 2 tahun 2020 yang turut menegaskan bahwa Pilkada dapat ditunda dan dijadwalkan kembali apabila pandemi belum berakhir.
"Keputusan untuk tetap melaksanakan Pilkada juga menjadi janggal apabila melihat pemilihan kepala desa (pilkades) yang diputuskan untuk ditunda dengan alasan keselamatan warga, sementara pilkada tetap dijalankan," sindir Egi.
ADVERTISEMENT
ICW menduga kuat ada kepentingan lain di balik keputusan pilkada tetap dijalankan. ICW merujuk pada pernyataan Menteri Koordinator Hukum dan HAM, Mahfud MD mensinyalir bahwa 92 persen calon kepala daerah disokong oleh para cukong. Para cukong ini akan mendapatkan keuntungan ekonomi-politik berlipat-lipat saat calonnya menang dalam kontestasi Pilkada nanti.
"Oleh karena itu jika Presiden RI Joko Widodo terus bersikukuh untuk tak menunda Pilkada 2020 dengan dalih yang tidak cukup masuk akal, maka Presiden dapat dianggap tidak memprioritaskan keselamatan warga. Sebaliknya, Presiden dapat dianggap lebih mendahulukan kepentingan politik dan kepentingan para bandar yang mungkin telah ‘membeli’ Pilkada di depan," pungkas dia.