ICW Sebut KPK Tak Butuh Dipimpin dari Institusi Penegak Hukum Lain

15 Juli 2024 16:01 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, saat diwawancarai wartawan di Rumah Belajar ICW, Jakarta Selatan, Minggu (19/5/2024). Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, saat diwawancarai wartawan di Rumah Belajar ICW, Jakarta Selatan, Minggu (19/5/2024). Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Masa jabatan komisioner KPK 2019–2024 akan segera habis. Saat ini, pendaftaran seleksi calon pimpinan (Capim) KPK dan Dewan Pengawas (Dewas) KPK 2024–2029 tengah berlangsung.
ADVERTISEMENT
Muncul sejumlah pertanyaan, termasuk apakah pimpinan KPK harus ada diisi dari institusi penegak hukum lain seperti kepolisian dan kejaksaan.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, menilai bahwa pimpinan KPK tak perlu diisi oleh perwakilan dari dua institusi penegak hukum tersebut. Sebab rawan akan terjadinya konflik kepentingan.
"Kalau kita baca Pasal 11 UU KPK, salah satu subjek yang ditangani oleh KPK itu adalah institusi penegak hukum. Nah, bagaimana nanti ketika pimpinan itu diisi oleh institusi penegak hukum, bukankah itu membuka celah konflik kepentingan? Ini juga menjadi hal yang amat krusial," kata Kurnia dalam diskusi bertajuk 'Kupas Tuntas Seleksi Capim dan Dewas KPK' yang berlangsung secara daring, Senin (15/7).
Meski tak ada larangan bagi institusi penegak hukum lain untuk menjadi pimpinan KPK, Kurnia menyebut bahwa pimpinan KPK mesti independen.
ADVERTISEMENT
Sehingga, lanjut dia, jikalau ada pendaftar dari kedua institusi tersebut, mereka tak hanya harus mundur dari jabatannya, tapi juga harus mundur dari institusinya.
"Apalagi kalau kita bicara perwakilan institusi penegak hukum di KPK banyak, penyidiknya banyak dari kepolisian. Penuntutnya, ya sudah pasti penuntut umum dari Kejaksaan Agung," ujarnya.
"Maka dari itu, rasanya tidak butuh ada perwakilan institusi penegak hukum di struktural komisioner ataupun Dewas KPK," jelas dia.
Ilustrasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Lebih lanjut, Kurnia pun menyampaikan usulan kepada pemimpin tertinggi di kedua lembaga tersebut, dalam hal ini Kapolri dan Jaksa Agung, untuk mengungkapkan ke publik terkait siapa saja yang diizinkannya atau dikirimkan untuk mengikuti seleksi Capim KPK.
"Agar publik bisa menilai, bagaimana sebenarnya indikator yang digunakan oleh pimpinan instansi penegak hukum dalam hal ini Kapolri, dalam menentukan orang-orang yang akan dikirimkan ke KPK," imbuh dia.
ADVERTISEMENT
"Itu, kan, menarik kalau misalnya Kapolri bisa ungkap, kepolisian mengirimkan A, B, C, ke KPK. Nanti, kan, timbul pertanyaan, pengalaman 2019 lalu, kita jadi menebak, orang ini mendaftar atas seizin Kapolri atau mendaftar sendiri? Dulu itu yang sempat ramai didiskusikan di tengah masyarakat, jadi hal itu penting untuk didorong lebih lanjut," pungkasnya.
Pansel Harus Telusuri Rekam Jejak Etik
Selain itu, Kurnia juga menyinggung agar panitia seleksi (Pansel) harus menelusuri rekam jejak pendaftar. Tak hanya berkaitan dengan rekam jejak di bidang hukum, namun juga melihat rekam jejak etik.
Ia menyebut hal ini perlu dilakukan untuk menghindari kesalahan saat pemilihan pada 2019 lalu. Saat itu, produk pimpinan yang dilahirkan Pansel 2019 dianggap gagal karena melahirkan pimpinan yang berujung bermasalah seperti Firli Bahuri.
ADVERTISEMENT
Kurnia menyinggung salah satu internal KPK yang mendaftar, namun sebelumnya sempat tersandung kasus etik di Dewan Pengawas KPK. Akan tetapi, saat itu justru putusan etik tersebut belum ada.
Oleh karenanya, Pansel diharapkan dapat 'menjemput bola' mendatangi Dewas KPK untuk meminta fakta-fakta apa saja yang terungkap saat yang bersangkutan menjalani sidang etik tersebut. Kurnia tidak menyebut siapa pimpinan yang mendaftar lagi tersebut.
"Kalau memang ada faktanya pelanggaran kode etik, namun karena satu dua lain hal tidak ada putusannya, harusnya orang itu tidak diloloskan," ucap Kurnia.
"Kan itu konsep jemput bola yang benar. Jadi bukan hanya duduk diam menunggu apakah ada putusan administrasi hukumnya atau tidak. Tapi, apa yang berkembang di tengah masyarakat itu harus didalami lebih lanjut oleh Pansel," tandasnya.
ADVERTISEMENT