Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ICW Sentil Ghufron & Tanak yang Masuk 40 Besar Capim: Apa Pantas Pimpin KPK?
9 Agustus 2024 15:44 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Setelah rampung melaksanakan tes tertulis bagi calon pimpinan (Capim) KPK dan Dewas KPK, panitia seleksi mengumumkan ada masing-masing 40 nama Capim dan 40 nama calon Dewas KPK yang lolos ke tahap berikutnya, yakni profile assesment pada 28–29 Agustus 2024 mendatang.
ADVERTISEMENT
Dari 40 nama Capim tersebut, ada dua nama pimpinan KPK saat ini yang lolos. Mereka adalah Nurul Ghufron dan Johanis Tanak.
Peneliti ICW Diky Anandya pun menyoroti dua nama tersebut. Pasalnya, keduanya merupakan pimpinan KPK yang sempat diperiksa Dewas KPK terkait kasus etik saat menduduki kursi pimpinan lembaga antirasuah itu.
Diky turut mempertanyakan kinerja keduanya. Bahkan, ia juga mempertanyakan kepantasan Nurul Ghufron maupun Johanis Tanak kembali memimpin KPK.
"Pansel seharusnya bisa melihat berdasarkan evaluasi kinerja pimpinan KPK 2019-2024 itu kan seharusnya bisa dijadikan dasar untuk menilai apakah Johanis Tanak dan Nurul Ghufron itu pantas untuk menduduki kembali sebagai pimpinan KPK?" ujarnya dalam diskusi bertajuk 'Menakar Kerja Pansel KPK 2024: Menguatkan atau Memperlemah Pemberantasan Korupsi?' di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, yang juga disiarkan secara daring, Jumat (9/8).
ADVERTISEMENT
Diky menilai, selama masa kepemimpinan KPK 2019–2024 justru lebih banyak menghadirkan kontroversi alih-alih prestasi dalam menjalankan kerja-kerja utamanya.
"Kita melihat bahwa yang seringkali dihadirkan oleh pimpinan KPK itu lebih banyak kontroversi ketimbang prestasi, apalagi belakangan waktu terakhir itu lebih banyak berkutat pada persoalan etik di internal mereka," jelas dia.
"Sehingga, kerja-kerja utamanya seperti penindakan, pencegahan, maupun pendidikan itu kemudian menjadi terhambat," lanjutnya.
Oleh karenanya, Diky mendorong Pansel untuk menelusuri rekam jejak di tahapan profile assesment secara lebih mendalam, terkhusus untuk Nurul Ghufron dan Johanis Tanak.
"Spesifik terkait dua nama ini, sebetulnya kami juga mendorong Pansel untuk bisa mencari rekam jejak menggunakan metode jemput bola dengan berkoordinasi misalnya degan Dewas, apakah dua orang ini pernah melakukan pelanggaran kode etik, yang kemudian itu dikategorikan cukup berat," tutur Diky.
ADVERTISEMENT
"Jangan kemudian hanya bertumpu pada ada atau tidaknya putusan etik, tetapi apakah kemudian tindakan yang bersangkutan itu sudah dikategorikan sebagai pelanggaran etik berat," imbuh dia.
Kasus Etik
Terkait Ghufron, ia sempat terjerat kasus etik di Dewas KPK. Kasus etiknya saat ini masih belum diputus. Kasus itu, terkait dengan dugaan penyalahgunaan wewenangnya sebagai pimpinan KPK dalam proses mutasi jabatan ASN di Kementerian Pertanian.
Ghufron menyebut apa yang dilakukannya bukan intervensi, melainkan hanya meneruskan keluhan saja terkait mutasi ASN itu dari Jakarta ke Malang, yang tak kunjung disetujui.
Ia pun menilai kasus etik yang ditangani Dewas itu sudah kedaluwarsa karena sudah berlangsung lebih dari setahun. Peristiwanya sudah terjadi sejak 2022.
Imbasnya, kasus pelanggaran etik ini dilawan Ghufron dengan melaporkan Dewas ke PTUN Jakarta atas dugaan tindakan melampaui wewenang.
ADVERTISEMENT
Sedianya, vonis etik Ghufron dibacakan pada Selasa (21/5) lalu. Namun, sidang ditunda karena ada putusan sela PTUN Jakarta. Putusan sela itu memerintahkan Dewas KPK menunda proses etik terhadap Ghufron.
Sementara terkait kasus Tanak, dia pernah disidang terkait dengan berkomunikasi dengan pihak berperkara.
Tanak dilaporkan ke Dewas KPK terkait chat dengan Idris Sihite selaku Kabiro Hukum Ditjen Minerba. Berdasarkan laporan, komunikasi itu terjadi pada 27 Maret 2023.
Ada sembilan buah chat antara Johanis Tanak dengan Idris Sihite yang merupakan saksi kasus di ESDM itu. Namun dua chat pertama dari Tanak ke Idris dihapus, dan tidak terungkap apa isinya di persidangan.
Dalam putusannya, Dewas menilai bahwa dengan terhapusnya chat itu maka tidak terjadi komunikasi. Sebab, pesan jadi tidak tersampaikan. Sehingga Johanis Tanak dinilai tak terbukti berkomunikasi.
ADVERTISEMENT
Alhasil, dia lolos dari sanksi etik. Dia tidak terbukti melanggar etik.