ICW soal Pilkada Lewat DPRD: Bukan Tak Mungkin Uang 'di Bawah Meja' Makin Besar

14 Desember 2024 16:09 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Staf Divisi Korupsi Politik ICW, Seira Tamara. Foto: Jonathan Devin/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Staf Divisi Korupsi Politik ICW, Seira Tamara. Foto: Jonathan Devin/kumparan
ADVERTISEMENT
Staf Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Seira Tamara, menilai usulan diubahnya sistem Pilkada menjadi lewat DPRD tak bakal menyelesaikan masalah utama. Bahkan pemilihan lewat DPRD juga rawan politik uang.
ADVERTISEMENT
Usulan mengubah sistem pilkada awalnya disampaikan oleh Ketum Golkar Bahlil Lahadalia. Kemudian, usulan tersebut disambut positif oleh Presiden Prabowo.
Prabowo beralasan, Pilkada secara langsung dinilai tidak efektif. Tak hanya itu, pelaksanaan Pilkada secara langsung juga dianggap mengeluarkan biaya yang tinggi.
Menanggapi itu, Seira berpendapat bahwa usulan kepala daerah dipilih oleh DPRD justru membuka kemungkinan adanya potensi korupsi.
"Karena dengan dipilih oleh DPRD, bukan tidak mungkin uang-uang di bawah meja ini malah jadi lebih besar," ujar Seira saat dihubungi, Sabtu (14/12).
Menurutnya, persoalan biaya politik yang tinggi itu justru berasal dari gelontoran uang mahar politik dan untuk jual beli suara.
"Harus diingat bahwa yang berkontribusi dalam hal itu adalah politik uang dalam bentuk mahar politik (dari paslon ke partai untuk dapat tiket pencalonan), dan jual beli suara (paslon dengan pemilih)," katanya.
ADVERTISEMENT
Dengan begitu, wacana perubahan sistem tersebut justru hanya seakan memindahkan letak distribusi uangnya ketimbang menyelesaikan masalah utama.
"Dengan persoalan ini, maka menjadikan Pilkada oleh DPRD tidak menyelesaikan masalah utama, tapi memindahkan letak distribusi uangnya saja," imbuh dia.
Ia juga menyebut bahwa persoalan tingginya biaya politik yang dikeluarkan saat kontestasi merupakan sebuah keniscayaan. Sehingga, lanjutnya, partai maupun paslon perlu memetakan pengeluaran agar tak berujung korupsi.
"Dan patut diingat juga bahwa proses dalam sebuah demokrasi memang tidak bisa dipaksa menjadi murah atau mengeluarkan biaya yang sangat sedikit," ucap dia.
"Tapi bukan besar atau kecilnya biaya yang jadi soal, namun bagaimana pengelolaan biaya besar itu dilakukan. Tepat guna atau malah jadi dikorupsi?" imbuhnya.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Seira pun menekankan bahwa persoalan utama yang mesti diperbaiki adalah partisipasi publik alih-alih menyalahkan sistem pemilihan.
"Mandat UUD kita, kan, demokrasi, partisipasi publik adalah hal dasar dari ini. Maka dari itu, memastikan partisipasi publik terfasilitasi dengan baik dalam mekanisme pergantian kekuasaan adalah hal yang harus jadi tujuan," terangnya.
Ia kemudian mencontohkan penggunaan anggaran yang dilakukan oleh KPU sebagai penyelenggara pemilihan. Dengan anggaran yang begitu besar, lanjutnya, KPU masih cenderung memfasilitasi peserta ketimbang menggunakan anggaran untuk kepentingan informasi bagi pemilih.
Misalnya, dalam pengelolaan teknologi yang membantu proses pemilihan seperti Sirekap. Seira menilai, KPU tak mampu memanfaatkan anggaran besar tersebut untuk pengembangan teknologi agar memudahkan pemilih dalam mengakses dana kampanye calon secara transparan.
ADVERTISEMENT
Alih-alih bermanfaat bagi publik, Seira menyebut penggunaan anggaran itu justru mengakomodir kepentingan peserta Pilkada dan partai politik.
"Contoh ini menunjukkan bahwa bukan biaya tinggi yang jadi soal, karena buktinya mereka tetap pakai uang yang besar untuk buat tools itu meski enggak membantu pemilih sedikit pun," papar dia.
Dengan begitu, Seira menekankan evaluasi pelaksanaan Pilkada mesti mengedepankan prinsip negara demokrasi sesuai mandat undang-undang dasar.
"Dalam konteks ini, jika ada evaluasi dan bahan perbaikan terhadap pelaksanaan pilkada, seharusnya fokusnya tetap pada partisipasi masyarakat agar bisa lebih dikuatkan, bukan malah ujug-ujug dihilangkan dan dijadikan dipilih oleh DPRD," pungkasnya.