ICW Ungkap Ada Tiga Indikator Pelemahan KPK di Era Jokowi

2 April 2024 23:06 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana saat dijumpai usai mengikuti acara KPK mendengar, Kamis (21/12/2023). Foto: Thomas Bosco/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana saat dijumpai usai mengikuti acara KPK mendengar, Kamis (21/12/2023). Foto: Thomas Bosco/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, menilai citra KPK kini menurun. Ia mengacu pada hasil survei kepercayaan publik yang dirilis CSIS pada akhir 2023.
ADVERTISEMENT
KPK yang biasanya berada di urutan tiga teratas lembaga negara yang dipercaya publik, kata Kurnia, kini turun jauh. Dalam survei akhir 2023 yang dirilis CSIS, KPK berada di urutan kedua paling bawah.
"Empat tahun terakhir KPK itu peringkat bawah," kata Kurnia saat diskusi publik bertajuk 'Pemberantasan Korupsi: Refleksi & Harapan', di Ruang Konferensi Pers Gedung KPK, Jakarta, Selasa (2/4).
"Bahkan di survei CSIS 2023, KPK itu hanya satu tingkat di atas DPR. Sudah sebegitu parahnya citra KPK di tengah masyarakat," lanjut dia.
Menurutnya, ada tiga tolok ukur yang menyebabkan citra KPK menurun saat ini. Pelemahan KPK di era Jokowi menjadi salah satu sebabnya.
"Apa sebenarnya gejala yang mengakibatkan situasi saat ini? Kalau saya ingin menggunakan tiga tolok ukur. Pelemahan yang terjadi di KPK hari ini bisa kita lihat dari tiga indikator," tutur Kurnia.
ADVERTISEMENT
"Pertama dari eksternal, misalnya pemerintah dan DPR. Kedua, pihak lain di luar pemerintah dan DPR. Kalau dulu rezim sebelumnya itu hanya dua pelemahannya, hanya dari eksternal serta pemerintah dan DPR. Tapi sekarang jadi tiga, yaitu dari internal KPK sendiri yang justru mendegradasi nilai kepercayaan KPK," jelasnya.
Ilustrasi KPK. Foto: Hedi/kumparan
Dari aspek internal misalnya, Kurnia membeberkan beberapa aspek. Mulai dari rentetan pelanggaran etik yang terus terjadi, perspektif terhadap KPK, aspek keberadaan Dewas KPK, hingga kepegawaian KPK yang saling lempar tanggung jawab.
Sementara itu, dari aspek pemerintah dan DPR, Kurnia mencontohkan kala terjadi konflik kepentingan dalam Pansel calon pimpinan KPK 2019.
"Tentu kita tidak ingin Panselnya seperti 2019. Pansel yang kami anggap tidak akomodatif pada partisipasi publik, yang disinyalir ada konflik kepentingan," jelas Kurnia.
ADVERTISEMENT
Selain itu, juga terkait dengan kontribusi KPK dalam penguatan agenda legislasi.
"Ada juga problem yang saya rasa KPK terbilang jarang berkontribusi untuk mendukung agenda penguatan legislasi. Kalau dulu di era Pak Alex juga getol banget KPK menolak RKUHP, tapi sekarang kita gak mendengar suara itu lagi. Mendorong agar RUU Perampasan Aset diundangkan, itu juga jarang KPK berbicara," pungkasnya.
Terkait dengan indikator di luar pemerintah dan DPR, Kurnia menyebut yakni aspek lembaga kekuasaan kehakiman.
"Kita baru mendengar banyak praperadilan tiba-tiba dikabulkan oleh PN Jakarta Selatan. Misalnya, kasus mantan Wamenkumham yang sampai saat ini masih kita pertanyakan tindak lanjutnya pada KPK," imbuh dia.
"Ada juga putusan MK yang seharusnya Pak Alex bisa santai di rumah di tahun 2023 selesai malah diperpanjang. Itu kami anggap sebagai problem," tandasnya.
ADVERTISEMENT