IDAI Ingatkan Provinsi Lain soal Polio: Jadikan Aceh Alarm, Jangan Galau Vaksin

20 November 2022 14:06 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi vaksin polio. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi vaksin polio. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr Piprim Basarah Yanuarso mengingatkan kasus polio bisa muncul dan menjalar di provinsi lain. Belum lama ini, Status Kejadian Luar Biasa (KLB) Polio ditetapkan oleh pemerintah usai ditemukannya kasus polio (lumpuh layuh) pada anak 7 tahun di Kabupaten Pidie, Aceh.
ADVERTISEMENT
Ia meminta masyarakat tak ragu dengan vaksinasi polio untuk anak dan menjadikan kasus di Aceh sebagai pelajaran.
"Kan yang kena polio itu kan enggak pernah divaksin ya. Sejak awal enggak pernah vaksin, kemudian cakupan vaksinasi polio di daerah itu juga rendah, kemudian ada korbannya, nah ini harus jadi lesson learn untuk provinsi lain," kata Piprim kepada wartawan usai pembukaan Pekan Ilmiah IDAI ke-11 di Jakarta, Minggu (20/11).
"Ini harus jadi wake up call, jadi alarm, provinsi lain harus siap, lho. Ini bisa ke mana-mana. 2005 kan itu juga ke mana-mana kan polionya. Bukan hanya di Sukabumi. Ada beberapa tempat juga. Kalau sudah ada satu muncul, ini seluruh provinsi harus waspada dan diingatkan kembali masyarakatnya," imbuh dia.
ADVERTISEMENT
Menurut Piprim, data IDAI menunjukkan vaksinasi PD3I menurun dalam dua tahun terakhir. Adapun pasien polio di Aceh belum pernah divaksinasi sehingga penemuan pasien tersebut dinilainya tak mengherankan.
Piprim menerangkan turunnya cakupan vaksinasi dapat disebabkan karena pandemi COVID-19. Di satu sisi, cakupan vaksinasi PD3I yang sebelumnya cukup tinggi membuat kewaspadaan masyarakat berkurang terhadap penyakit polio, campak, hingga difteri.
Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr Piprim Basarah Yanuarso. Foto: Dok. Istimewa
"Siklusnya, kalau imunisasi tinggi, penyakit berbahaya enggak ada, masyarakat itu enggak percaya vaksin bisa cegah penyakit itu. Saat itu [yang muncul] kegalauan terhadap vaksin, bukan penyakitnya. Kami diskusi sebelum KLB, dengan teman IDAI di 5 provinsi yang imunisasi rendah dan cakupan PD3I tinggi, yang mereka kemukakan ini," terangnya.
"Kalau enggak kenal, contoh ada ibu-ibu bilang 'Difteri yang berak berdarah itu ya?' Dia keliru dengan disentri. Pantas enggak takut. Kalau disentri antibiotik sembuh. Difteri harus dibolongin lehernya, bisa meninggal karena jantungnya berhenti," tambah dia.
ADVERTISEMENT
Piprim sekali lagi mengimbau masyarakat agar tak ragu vaksinasi PD3I pada anak. Ia menegaskan, risiko vaksinasi jauh lebih rendah dibandingkan dengan bahaya PD3I.
"Jangan galau oleh vaksin tapi tidak galau dengan penyakitnya. Enggak boleh gagal fokus. Masa kita lebih galau sama vaksinnya padahal efek sampingnya mungkin hanya demam sedikit, bengkak-bengkak merah sedikit? Kalau polio, lumpuh seumur hidup. Anak itu susah mau jadi pemain bola, atlet sprinter," ujarnya.
"Jadi orang tua enggak boleh egois. Karena perilaku ortu yang menghalang-halangi anaknya vaksin, itu yang jadi korban anaknya. Dia merusak masa depan anaknya. Ortu harus bijaksana, cerdas, mengerti," pesan dia.
Di sisi lain, ia juga berharap pemerintah dapat menggencarkan program vaksinasi PD3I dan deteksi potensi polio pada anak.
ADVERTISEMENT
"Survei lumpuh layuh akut kan digencarkan kembali, mesti beriringan surveillance ditingkatkan, imunisasi juga digencarkan. Perlu Program Imunisasi Nasional mungkin seperti 2005," ungkap dia.