Ijtima Ulama MUI Buka Opsi Pilkada Tak Dipilih Langsung

11 November 2021 17:55 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pentupan Ijtima Ulama VII MUI Pusat. Foto: MUI
zoom-in-whitePerbesar
Pentupan Ijtima Ulama VII MUI Pusat. Foto: MUI
ADVERTISEMENT
Hasil Ijtima Ulama Majelis Ulama Indonesia (MUI) turut menerbitkan panduan penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada. Salah satunya ikut menyoroti tentang pemilihan kepala daerah saat ini yang lebih besar mafsadat (akibat buruk) ketimbang maslahatnya.
ADVERTISEMENT
"Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang berlaku saat ini dinilai lebih besar mafsadatnya daripada maslahatnya, antara lain: menajamnya konflik horizontal di tengah masyarakat, menyebabkan disharmoni, mengancam integrasi nasional, dan merusak moral akibat maraknya praktik politik uang," jelas Ketua Ijtima Ulama yang juga Ketua MUI Asrorun Ni'am dalam keterangannya, Kamis (11/11).
Menurutnya, pemilu dapat dilaksanakan dengan ketentuan luberjurdil (langsung, bebas, jujur, adil, dan rahasia), didasarkan atas keimanan, ketakwaan kepada Allah SWT, kejujuran, amanah, kompetensi, dan integritas.
"Bebas dari suap (risywah), politik uang (money politic), kecurangan (khida’), korupsi (ghulul), oligarki, dinasti politik, dan hal-hal yang terlarang secara syar’i," tutur Ni'am.
Dengan adanya pilihan-pilihan tersebut, pihaknya meyakini memilih seorang pemimpin termasuk kepala daerah dapat dilakukan tidak hanya dipilih langsung.
ADVERTISEMENT
"Proses pemilihan dan pengangkatan kepala daerah dapat dilakukan dengan beberapa alternatif metode yang disepakati bersama sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah," ungkap Ni'am.
Ilustrasi pemilih pada Pilkada. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Lebih lanjut, ia menjelaskan, dalam masalah mu'amalah, termasuk di dalamnya soal politik, Islam senantiasa memberikan keleluasaan berdasarkan kesepakatan demi mewujudkan kemasalahatan, serta menghindari kerusakan atau bahaya.
Namun, hal tersebut berlaku sepanjang kesepakatan tersebut tidak mengharamkan yang halal, atau menghalalkan yang haram.
Ni'am turut menuturkan pemilu dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama, sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.
"Memilih pemimpin (nashbu al-imam) dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama. Oleh karena itu, keterlibatan umat Islam dalam Pemilu hukumnya wajib," tutup dia.
ADVERTISEMENT
Berikut isi lengkap ijtihad ulama soal Pilkada dan Pilpres:
1. Dalam masalah mu’amalah, termasuk di dalamnya masalah politik, Islam memberikan keleluasaan berdasarkan kesepakatan untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan atau bahaya (jalb al-mashalih wa dar’u al-mafasid), sepanjang kesepakatan tersebut tidak mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.
2. Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.
3. Memilih pemimpin (nashbu al-imam) dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama. Oleh karena itu, keterlibatan umat Islam dalam Pemilu hukumnya wajib.
ADVERTISEMENT
4. Pemilu dilaksanakan dengan ketentuan:
a. Dilaksanakan dengan langsung, bebas, jujur, adil, dan rahasia;
b. Pilihan didasarkan atas keimanan, ketaqwaan kepada Allah SWT, kejujuran, Amanah, kompetensi, dan integritas;
c. Bebas dari suap (risywah), politik uang (money politics), kecurangan (khida’), korupsi (ghulul), oligarki, dinasti politik, dan hal-hal yang terlarang secara syar’i.
5. Pembatasan masa jabatan kepemimpinan maksimum dua kali sebagaimana diatur dalam Konstitusi dan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku wajib untuk diikuti guna mewujudkan kemaslahatan serta mencegah mafsadah;
6. Proses pemilihan dan pengangkatan kepala daerah dapat dilakukan dengan beberapa alternatif metode yang disepakati bersama sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah yang berlaku saat ini dinilai lebih besar mafsadatnya daripada maslahatnya, antara lain: menajamnya konflik horizontal di tengah masyarakat, menyebabkan disharmoni, mengancam integrasi nasional, dan merusak moral akibat maraknya praktik politik uang.
ADVERTISEMENT