Ikuti Nasihat Hakim MK, Adik Almas Hapus Nama Kaesang di Gugatan Uji UU Pilkada

12 Agustus 2024 19:01 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Aditia Noviansyah
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Aditia Noviansyah
ADVERTISEMENT
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perbaikan permohonan uji materi yang diajukan oleh anak koordinator MAKI Boyamin Saiman yang juga adik dari Almas Tsaqibbirru, Aufaa Luqmana Rea. Uji materi tersebut terkait Perkara Nomor 99/PUU-XXII/2024 yang menguji Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 (UU Pilkada).
ADVERTISEMENT
Dalam perbaikannya, Aufaa menghapus nama Kaesang Pangarep dalam permohonannya.
"Kami akan mematuhi nasihat Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mencoret judul ‘Kaesang Dilarang Jadi Gubernur’ juga telah mencoret nama Kaesang dari materi-materi posita permohonan ini," ujar kuasa hukum Pemohon, Dwi Nurdiansyah Santoso, yang menghadiri sidang melalui video conference pada Senin (12/8/2024), dikutip dari laman MK.
Dalam permohonan sebelumnya, terdapat kalimat “Kaesang Dilarang Jadi Gubernur” tepat di bawah perihal pada halaman pertama. Beberapa kali juga Pemohon menyebutkan nama Kaesang yang dinilai mendapatkan keuntungan atas ketentuan norma Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada mengenai penafsiran batas usia minimal menjadi kepala daerah.

Teguran Hakim

Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada Senin (5/8), Hakim Konstitusi Arsul Sani dan Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyinggung judul permohonan Pemohon atau bagian di bawah perihal yang tertulis “Kaesang Dilarang Jadi Gubernur”. Hal itu disampaikannya dalam sesi pemberian nasihat hakim.
ADVERTISEMENT
“Sebaiknya judul permohonan yang berbunyi Kaesang Dilarang Jadi Gubernur itu tidak perlu ada,” tutur Arsul saat memberikan nasihatnya.
Sementara, Arief mengatakan, permohonan harus memenuhi unsur kepatutan, kewajaran, dan kesopanan. Menurutnya, tulisan “Kaesang Dilarang Jadi Gubernur” yang bersifat provokatif dalam permohonan menjadi hal yang tidak lazim sehingga seharusnya tidak ada.
“Supaya dihapus ini provokatif, enggak boleh bikin permohonan begini, seolah-olah memprovokasikan orang Indonesia atau memprovokasi hakim supaya memutus seperti apa yang diinginkan ini, enggak benar ini, apalagi kita di Indonesia berhukum itu harus berkarakter Pancasila,” jelas Arief.
Hakim Konstitusi Arsul Sani mengikuti sidang perdana perselisihan hasil Pemilu (PHPU) atau Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (27/3/2024). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Dalam gugatannya, Aufaa mengatakan, banyak penafsiran mengenai ketentuan syarat usia paling rendah untuk menjadi calon kepala daerah sehingga tidak ada kepastian hukum dalam pasal tersebut.
ADVERTISEMENT
Aufaa mengatakan, aturan yang tidak memberikan kepastian hukum dimanfaatkan beberapa orang untuk mendukung calon gubernur yang sebenarnya belum memenuhi persyaratan untuk maju dalam pilkada gubernur tahun 2024.
Sebelumnya, Aufaa menyebut Kaesang Pangarep yang lahir pada 25 Desember 1994 belum memenuhi syarat untuk diajukan sebagai calon gubernur maupun calon wakil gubernur.
Kemudian, jika Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuka pendaftaran pasangan calon pada 27-29 Agustus 2024, maka Kaesang masih berusia 29 tahun sehingga belum memenuhi ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf e.
Sebab, menurut Pemohon, kata “calon” dalam pasal tersebut menandakan aturan berlaku pada saat pendaftaran pasangan calon atau maksimal saat pelaksanaan pemungutan suara. Kalau diartikan berlaku pada saat pelantikan, maka kata yang dipakai dalam pasal tersebut seharusnya adalah pasangan calon terpilih.
ADVERTISEMENT
Sementara, KPU melalui Peraturan KPU (PKPU) memaknai usia calon gubernur/calon wakil gubernur adalah pada saat pelantikan pasangan terpilih menyusul putusan Mahkamah Agung (MA) yang menafsirkan kembali PKPU tersebut.
Di sisi lain, selama ini jadwal pelantikan masing-masing kepala daerah pun berbeda atau tidak bersamaan karena berakhirnya masa jabatan kepala daerah berbeda.
“Terdapat kegamangan dan kebingungan KPU dalam menentukan usia pada saat pelantikan terbukti berbeda keterangan Ketua KPU Hasyim Asyari pada saat masih menjabat dan belum dicopot karena asusila,” kata Aufaa.
Dengan demikian, dalam petitumnya Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk memaknai Pasal 7 ayat (2) huruf e mengenai usia paling rendah menjadi calon kepala daerah terhitung pada saat pelaksanaan pemungutan suara pasangan calon. Meskipun Pemohon mengaku memahami pasal tersebut merupakan open legal policy atau kebijakan pembentuk undang-undang untuk menentukan aturan yang tidak diatur konstitusi.
ADVERTISEMENT