ILUNI FH UI Tentang Keras Upaya Pembegalan Demokrasi Lewat Revisi UU Pilkada

22 Agustus 2024 7:42 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi gedung DPR RI. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gedung DPR RI. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (ILUNI FHUI) merespons upaya DPR RI merevisi UU Pilkada. Revisi ini dinilai merupakan akrobat politik. Sebab dilakukan secara spontan, disepakati dalam hitungan jam pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
ADVERTISEMENT
"Menentang keras adanya praktik pembegalan demokrasi yang secara nyata-nyata dipertontonkan secara luas," demikian keterangan ILUNI FH UI yang disampaikan oleh Ketum ILUNI FH UI, Rapin Mudiardjo dikutip Kamis (22/8).
Menurut Rapin, akrobat politik tersebut merupakan fenomena nyata bagaimana DPR dan Pemerintah menciderai sistem hukum nasional. Dia menyebut, dalam putusannya MK mengabulkan sebagian permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora terkait ambang batas pencalonan kepala daerah dalam Putusan MK.
Putusan ini menetapkan terkait persyaratan suara sah yang harus dipenuhi oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk mendaftarkan calon kepala daerah berdasarkan jumlah penduduk di wilayah tersebut. Putusan ini bertujuan memberikan kejelasan mengenai ambang batas suara sah dalam proses pencalonan.
ADVERTISEMENT
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menegaskan bahwa Pasal 40 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Putusan MK ini juga dinilai mempertimbangkan bahwa syarat ambang batas perolehan suara sah untuk partai politik atau gabungan partai politik seharusnya tidak lebih tinggi dibandingkan dengan syarat untuk calon perseorangan.
"Maka, MK berpendapat bahwa persyaratan yang lebih tinggi untuk partai politik dapat dianggap tidak rasional dan tidak adil, mengingat calon perseorangan memiliki syarat yang lebih ringan," kata dia.
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: Shutterstock
Menurut Rapin, ancaman serius supremasi hukum alih-alih mematuhi Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024, tidak lama berselang DPR dan Pemerintah melakukan pembahasan revisi UU Pilkada yang justru malah mengesampingkan isi dari Putusan MK.
ADVERTISEMENT
"Praktik ini merupakan ancaman serius terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum bagi Indonesia. Tindakan DPR dan Pemerintah yang mengesampingkan Putusan MK ini merupakan tindakan pembangkangan konstitusi," ucapnya.
"Hal ini tentu saja merupakan preseden buruk yang merusak tatanan bernegara, seakan keberadaan Putusan MK yang berkekuatan hukum tetap berdasarkan Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI 1945), hanyalah secarik tulisan tanpa makna," sambungnya.
Menurutnya, pengabaian Putusan MK ini jelas-jelas merupakan cerminan buruknya supremasi hukum di Indonesia. Tentunya, hal ini akan memiliki dampak yang sangat luas.
"Negara dengan supremasi hukum yang buruk tentunya akan mendapat stigma negatif secara global. Indonesia berpotensi kehilangan reputasi baik di mata komunitas internasional, membuat negara-negara lain enggan menjalin kerja sama di berbagai bidang. Termasuk di bidang ekonomi yang dibutuhkan untuk mendanai berbagai mega proyek yang dikejar oleh Pemerintah di bawah kendali Presiden Joko Widodo," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Rapin menyebut jika pemerintah sering mendengungkan keseriusannya mendatangkan calon investor dari dalam dan luar negeri, bagaimana bisa Indonesia mencapai target tersebut jika ekosistem hukum yang ditunjukkan Indonesia jauh dari nilai-nilai demokratis.
Menurutnya, calon investor tentunya berpikir dua kali untuk menanamkan modalnya di negara yang tidak memiliki ketidakpastian hukum, yang tentunya dapat berimbas pada terhambatnya aliran investasi dan menyebabkan instabilitas ekonomi.
Kemudian, dampak dari lemahnya supremasi hukum juga akan dirasakan di berbagai lini. Ketidakpercayaan terhadap institusi hukum dapat menyebabkan disintegrasi sosial, meningkatnya kejahatan, dan keresahan di kalangan masyarakat.
"Selain itu, ketidakadilan yang berkelanjutan dapat memicu protes massal dan kerusuhan, yang mengancam ketertiban umum dan stabilitas nasional. Artinya, terlalu banyak yang dipertaruhkan dengan adanya proses pembegalan demokrasi ini. Hanya untuk melanggengkan kepentingan segelintir elite-elite politik di negara ini," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Atas dasar itu, ILUNI FH UI menyerukan sejumlah hal kepada pemerintah. Salah satunya dengan mengedepankan norma putusan MK dalam revisi UU Pilkada.
Berikut selengkapnya: