IM57+: Di Seluruh Dunia, Tak Ada Aturan Hapus Pidana Koruptor yang Pulihkan Aset

20 Desember 2024 10:15 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lakso Anindito. Foto: Twitter/laksoanindito
zoom-in-whitePerbesar
Lakso Anindito. Foto: Twitter/laksoanindito
ADVERTISEMENT
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menyebut pernyataan Presiden Prabowo Subianto soal memberikan pengampunan bagi koruptor merupakan strategi pemberantasan korupsi yang menekankan pada pemulihan kerugian negara.
ADVERTISEMENT
IM57+ Institute–wadah eks pegawai KPK, mengkritik pernyataan Yusril tersebut. Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito, menilai bahwa terdapat salah pemahaman oleh Yusril terkait pemulihan aset hasil korupsi.
"Ini menjadi upaya untuk menjustifikasi peringanan hukuman koruptor dan bahkan pemaafan dengan menggunakan dalih optimalisasi pemulihan aset hasil korupsi," ucap Lakso kepada wartawan, Jumat (20/12).
"Silakan ditelaah regulasi di seluruh dunia, apakah ada upaya penghapusan pidana ketika adanya pemulihan aset? Jawabannya tidak ada," tegasnya.
Menurut dia, pemulihan aset hasil korupsi tanpa pidana bisa diberlakukan khusus untuk tersangka korporasi, bukan manusia.
"Pemulihan aset dan penghukuman adalah dua rel yang berjalan bersamaan dan tidak menegasikan satu dengan yang lainnya," ujar dia.
"Satu konsep yang mempercepat penanganan perkara ada tetapi khusus hanya untuk korporasi dan bukan manusia (natural person) karena memang korporasi tidak dihukum fisik," lanjutnya.
Menko Kumham Imipas Yusril Ihza Mahendra menyampaikan keterangan pers usai menandatangani perjanjian kesepakatan terkait pemulangan terpidana mati kasus narkotika Mary Jane di Jakarta, Jumat (6/12/2024). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Lakso menekankan, bahwa adanya konsep perjanjian penundaan penuntutan dalam perkara pidana (deferred prosecution agreement) untuk memastikan perkara korporasi dapat dikenakan kewajiban pembayaran dengan waktu cepat. Sementara, para direksinya dan pejabat publik tetap dihukum.
ADVERTISEMENT
Ia menyebut, dalih optimalisasi pemulihan aset bagi pelaku koruptor tak bisa ujug-ujug digunakan untuk pemaafan koruptor.
"Jangan sampai adanya upaya dari free rider yang menjustifikasi upaya peringanan hukuman dan bahkan pemaafan dengan alasan optimalisasi pemulihan aset," paparnya.
Lebih lanjut, Lakso menjelaskan bahwa pernyataan Yusril yang menyebut gagasan pemaafan koruptor telah sejalan dengan United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi harus dimaknai secara utuh.
Ia juga mengingatkan agar pemaknaan UNCAC itu tak dimanfaatkan menjadi kepentingan elite dalam rencana memaafkan dan memberikan pengampunan bagi koruptor.
"Justru UNCAC mendorong pendekatan yang lebih radikal. Sebagai contoh, Pasal 20 UNCAC yang mendorong illicit enrichment (peningkatan kekayaan secara tidak sah) yang dapat merampas harta kekayaan tidak wajar," tutur Lakso.
ADVERTISEMENT
"Apabila bicara UNCAC, beranikah Menko mendorong penerapan pendekatan ini di Indonesia?" sambungnya.
Ilustrasi korupsi. Foto: Shutter Stock
Sebelumnya, Yusril menyebut bahwa Presiden Prabowo Subianto memiliki kewenangan memberikan amnesti dan abolisi terhadap tindak pidana apa pun, termasuk tindak pidana korupsi.
Menurutnya, hal itu merupakan bagian dari strategi pemberantasan korupsi yang menekankan pada pemulihan kerugian negara dan sejalan dengan UNCAC yang telah diratifikasi.
"Apa yang dikemukakan Presiden itu sejalan dengan pengaturan UN Convention Against Corruption (UNCAC) yang sudah kita ratifikasi dengan UU Nomor 7 Tahun 2006. Sebenarnya setahun sejak ratifikasi, kita berkewajiban untuk menyesuaikan UU Tipikor kita dengan Konvensi tersebut, namun kita terlambat melakukan kewajiban itu dan baru sekarang ingin melakukannya," kata Yusril dalam keterangan tertulis, Kamis (19/12).
ADVERTISEMENT
"Penekanan upaya pemberantasan korupsi sesuai pengaturan konvensi adalah pencegahan, pemberantasan korupsi secara efektif dan pemulihan kerugian negara (asset recovery)," ucapnya.
Yusril mengatakan, jika para pelaku korupsi hanya dipenjarakan, tetapi aset hasil korupsi tetap mereka kuasai atau disimpan di luar negeri tanpa dikembalikan kepada negara, maka penegakan hukum seperti itu tidak banyak manfaatnya bagi pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat.