Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Iman Adipurnama, Pakar Teknik Material yang Mengajar di NTUST Taiwan
16 Februari 2022 13:13 WIB
·
waktu baca 8 menitPemahaman Iman Adipurnama di bidang materials engineering (teknik material) tak perlu diragukan lagi. Ia sudah memiliki gelar Ph.D secara mendalam pada bidang tersebut.
Imam merupakan orang Indonesia, asli dari Kota Kembang, Bandung yang lahir pada tanggal 30 Desember 1987. Kini, ia menekuni karier sebagai Project Assistant Professor di National Taiwan University of Science and Technology (NTUST).
Iman pertama kali mendalami teknik material sekaligus memperoleh gelar sarjananya di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 2006. Kesempatannya untuk mendalami teknik material kemudian semakin terbuka lantaran kampus teknik tertua di Taiwan itu sedang membuka rekrutmen di ITB.
Kala itu, Iman memang sedang mencari-cari peluang untuk bisa melanjutkan kuliah S2. Kebetulan dosennya waktu di ITB menawarkan kesempatan kepada Iman untuk melanjutkan pendidikannya di NTUST.
"Kayaknya waktu itu mereka (NTUST) lagi gencar untuk menarik orang-orang internasional. Selanjutnya langsung menyiapkan dokumen dan waktu itu cukup cepat sih prosesnya. Berangkat tahun 2012 Februari untuk S2. Terus saya lanjutkan sampai S3 dan akhirnya lulus juga," kata Iman Adipurnama saat dihubungi kumparan melalui sambungan telepon, Sabtu (5/2).
Perjalanan Karier di NTUST
Selama menuntut ilmu untuk gelar S2 dan S3 di bidang materials engineering, Iman cukup aktif dalam mengembangkan kemampuannya. Baik di dunia riset, maupun perlombaan di bidang start up .
Kala itu, Iman pernah berkesempatan menyusun proposal riset bersama profesornya di NTUST. Kebetulan proyek ini merupakan kerjasama antara Taiwan dengan Polandia. Akhirnya pada tahun 2017, Iman berhasil mempresentasikan hasil risetnya di Warsawa, Polandia .
Iman dan profesornya di NTUST, berhasil merumuskan karya ilmiahnya dengan judul Surface Modification and Endothelialization of Polyurethane for Vascular Tissue Engineering Applocations: A Review (2017) yang hingga kini sudah 110 kali dijadikan sitasi. Kemudian, jurnal lainnya berjudul Endothelial Cell Growth on Polyurethane Modified with Acrylic Acid and REDV Peptide (2019).
Tak berhenti sampai di situ, Iman kembali mengembangkan potensinya dengan terlibat dalam sebuah perlombaan start up tingkat nasional Taiwan . Ia dan tim berhasil mendapatkan predikat juara.
Konsep start up yang ditawarkan Iman dan tim adalah bergerak pada pembuatan aplikasi yang dapat mencari makanan halal di Taiwan. Inspirasi tersebut muncul dari keresahannya lantaran sulit mencari makanan halal pada saat tinggal di sana.
"Kita menang kira-kira juara 2 di kategori itu (start up), jadi di Taiwan itu ada kebijakan yang namanya the southbound policy yang kerja sama dengan negara-negara di bagian selatan, termasuk Asia Tenggara, India dan lain-lain. Kita menang di situ dan dapet predikat juara. Selepas tahun 2018, gak kita fokuskan lagi sebenernya, karena ada beberapa kesulitan. Saya juga mau menyelesaikan studi pada waktu itu dan gak mau fokus di situ lagi," jelas Iman.
Setelah berhasil menyelesaikan studi S3-nya, Iman mendapatkan lowongan untuk menjadi Project Assistant Professor di NTUST . Di tahun 2018, ia mulai mengajar di program international student yang baru saja dibuka pada tahun 2017.
IATP merupakan program khusus bagi mahasiswa sarjana internasional yang pengajarannya menggunakan bahasa Inggris. Iman menjadi salah satu pengajar di program tersebut sejak program ini dibuka.
Dalam program international student bernama International Advance Technology Program (IATP), dosen-dosen yang aktif dan fokus mengajar di sana, terdapat 4 orang tim inti. Pertama, satu orang Program Director, kemudian Iman Adipurnama sebagai pengajar, lalu satu orang pengajar lain yang berasal dari Vietnam, dan satu lagi berasal dari Taiwan.
Sementara, untuk tenaga pengajar yang lain diambil dari pengajar-pengajar di jurusan lain di NTUST. Iman Adipurnama paling banyak mengajar untuk mata kuliah Matematika Dasar dan Kalkulus. Selain itu, ilmu teknik material yang pernah ia ajarkan dalam perkuliahan tersebut, di antaranya ada Recent Trends on Smart Materials dan Material and Energy Balance.
"Saya sejauh ini paling banyak mengajar mata kuliah dasar seperti, Matematika dasar dan Kalkulus. Untuk yang berkaitan dengan ilmu material, ada satu mata kuliah yang saya pernah ajar yaitu, Recent Trends on Smart Materials, kurang lebihnya kuliah ini mencoba mengupas beberapa material maju yang masuk kategori “smart materials”. Ada juga kuliah Material & Energy Balance, ini adalah kuliah tentang sistem kesetimbangan pada material dan juga energi," jelas Iman.
Dari pengalamannya itu, ia sudah mengajar mahasiswa yang berasal dari berbagai negara, mulai dari Thailand, Vietnam, Indonesia , Taiwan, Filipina, Korea Selatan, Paraguay, dan beberapa negara di Amerika Latin dan Oseania.
Awal ketertarikan Iman dalam bidang teknik material sampai akhirnya konsisten amatlah menarik. Pasalnya, ia menilai bahwa kunci dari semua teknologi berada di material. Ketika ia mempelajari tentang material, Iman juga harus sedikit banyak mempelajari ilmu yang ingin diaplikasikan dalam turunan material, misalnya, elektromagnetik, teknik sipil, maupun pengembangan teknologi seperti smartphone.
"Kenapa sih smartphone itu dari dulu kan besar, terus semakin lama semakin tipis, karena materialnya baru. Ada orang yang menemukan material yang lebih kecil, lebih kecil, lebih bagus, lebih kencang. Sebenarnya itu yang namanya material. Cuma orang enggak sadar kalau itu materials science. Di situlah saya sadar, keilmuan ini akan saya pelajari lebih lanjut, karena menarik," tambah Iman.
Mengenal Taiwan dan Dunia Risetnya yang Bisa Indonesia Pelajari
Saat ini, Iman Adipurnama tinggal bersama istri dan anaknya yang masih kecil di Taiwan. Ketika ia memutuskan untuk tinggal di Taiwan dan membangun keluarga kecilnya, banyak tantangan dan kebiasaan orang Taiwan yang menghambat sekaligus menarik perhatian Iman untuk bisa dicontoh.
Perbedaan bahasa yang mencolok dan banyaknya makanan non-halal sempat jadi penghalang Iman dalam melakukan adaptasi di negara tersebut. Akan tetapi, tingkat disiplin waktu yang dimiliki oleh orang Taiwan ini lah yang menjadi pelajaran berharga baginya.
"Mereka sangat concern pada aturan dan waktu. Pokoknya mereka ini sudah teratur banget. Misalnya di jam-jam tertentu, kita harus buang sampah. Kita ngantri ya untuk buang sampah saja dan itu orang-orang otomatis berjajar. Model-model seperti itu lah saya harus beradaptasi sedikit," jelas Iman.
Selama banyak berkiprah di dunia akademisi, praktis Iman juga terjun dalam kultur riset di Taiwan. Kepada kumparan, Iman turut membagikan pandangannya terkait ekosistem riset di Taiwan yang dinilai olehnya bahwa Indonesia bisa banyak mengadaptasi sistem riset di sana.
Ia menilai, prioritas riset di Taiwan berada di titik knowledge sharing. Mereka memiliki prinsip tersebut dan diterapkan dengan sungguh-sungguh. Tak heran, Taiwan bisa menjadi salah satu penyedia teknologi chip dalam pabrik semi-konduktor yang terbilang cukup besar di dunia. Iman menyatakan, brand besar seperti Apple pun juga membeli chip dari Taiwan.
Beberapa aspek yang menjadi kelebihan riset di Taiwan menurut pandangan Iman, berada di-funding, kolaborasi, dan prioritas.
Ketika Iman mengajukan dana untuk keperluan riset, Taiwan menyediakan sistemnya melalui satu pintu. Artinya, semua template sudah disediakan dan peneliti dengan mudah bisa menggunakan skema tersebut untuk mengajukan dana yang dibutuhkan.
"Semua itu template-nya udah ada, tinggal kita bikin skemanya mau gimana terus pengajuan dananya mau berapa itu tinggal diajukan dan mereka sudah menyediakan mau ikut skema yang mana, budget-nya berapa segala macem. Nanti, di situ dilihat dari sisi budget. Taiwan bisa menyediakan (funding) yang memang untuk risetnya itu sudah sangat cukup," jelas Iman.
Iman membandingkannya dengan kasus di Indonesia . Masih banyak di Indonesia yang kesulitan untuk dibiayai proyek risetnya. Beberapa momen, seperti pengalaman Iman waktu masih berada di Indonesia, ia masih harus menggunakan uang pribadi untuk memulai proses penelitiannya saat masih berkuliah.
"Nah saya dulu di Indonesia, pengalaman saya meskipun kurang tahu masih sama apa tidak, saya harus menyiapkan sampel, per sampelnya itu ada harganya sekian. Kalau dikonversi, itu kayaknya besar banget, waktu itu saya S1 bisa abis Rp 1 sampai 2 juta. Di Taiwan saya enggak keluar sama sekali. Beda banget kan, dari sini keliatan sebenarnya perbedaannya. Saya bukan menjelekkan yang ada di Indonesia atau gimana. Cuma dari situ kita bisa lihat kesiapannya memang jauh," tutur Iman Adipurnama.
Kemudian, Iman menambahkan lingkungan riset di Taiwan memiliki kolaborasi antar bidang yang baik. Menurutnya, terdapat sebuah sistem dalam kampus yang tidak akan memonopoli satu perusahaan saja untuk diajak bekerja sama dalam sebuah proyek riset. Akan tetapi, tiap perusahaan yang ingin bekerja sama dengan kampus diberikan semacam 'kuota' dengan persentase yang sama.
Jadi, tidak ada perusahaan yang dibiarkan untuk 'membayar lebih' kepada kampus hingga menutup kesempatan bagi perusahaan lain untuk bekerja sama. Hal ini yang membuat semua perusahaan di Taiwan memiliki kesempatan setara untuk bisa berkolaborasi dengan pihak universitas.
Menurut Iman, prinsip ini dilakukan, karena Taiwan lebih memprioritaskan knowledge sharing daripada profit. Iman Adipurnama yang juga sempat menjadi Ketua PPI Taiwan, mengaku Indonesia sudah mulai mempelajari ekosistem riset di Taiwan.
Ketika ditanyai soal apakah Iman bersedia bila sewaktu-waktu diminta untuk kembali ke Indonesia, ia menjawab bahwa dirinya bersedia. Akan tetapi, ia berpikir masih belum memiliki cukup kapabilitas dibandingkan teman-teman diasporanya. Selain itu, banyak juga kasus yang dialami teman-teman penelitinya yang kehilangan pekerjaan saat pindah ke Indonesia.
"Selama ini saya lihat teman-teman yang pulang itu, saya jadinya kasihan. Banyak tuntutan-tuntutan, misalnya yang baru-baru ini dalam kasus merger jadi BRIN, ada beberapa peneliti yang akhirnya jadi gak ada job. Atau mungkin job-nya jadi berubah gak nyambung. Kan itu sebenarnya jadi kasian juga. Kalau saya sih melihatnya, selama itu jelas. Tupoksinya jelas, saya siap-siap saja (kembali ke Indonesia)," tutup Iman.