Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Imbas Krisis Ekonomi, Persediaan Obat di Sri Lanka Makin Menipis
30 Maret 2022 14:53 WIB
·
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
Sri Lanka melaporkan pada Selasa (29/3/2022), pasokan obat-obatan di rumah sakit pemerintah nyaris habis. Kekurangan pasokan itu berujung pada kerugian jiwa yang harus ditanggung.
ADVERTISEMENT
Selama beberapa waktu terakhir Sri Lanka terhuyung akibat krisis ekonomi yang mengerikan.
Krisis ekonomi tersebut mengakibatkan pemerintah tidak lagi mampu mengimpor kebutuhan rumah sakit. Layanan kesehatan pun lantas terhambat.
Rumah Sakit Pendidikan Peradeniya mengatakan, pihaknya menangguhkan semua operasi bedah rutin. Mereka telah kehabisan obat bius dan kebutuhan penting lainnya untuk operasi. Fasilitas kesehatan itu melayani populasi 2,4 juta orang di provinsi Tengah.
Sebuah serikat pekerja kesehatan mengatakan, masalah di Peradeniya juga terjadi di sebagian besar rumah sakit yang pemasoknya tidak dibayar selama lebih dari enam bulan.
Seorang ahli bedah di Rumah Sakit Nasional utama di Kolombo melaporkan, mereka kekurangan banyak obat-obatan vital. Akibatnya, pasien yang membutuhkan insulin manusia diminta untuk membawa sendiri obat itu.
ADVERTISEMENT
"Situasinya sangat parah dan kami membutuhkan inisiatif penanggulangan bencana untuk mengatasi situasi yang semakin memburuk," kata kepala Asosiasi Teknologi Laboratorium Medis (MLTA), Ravi Kumudesh, seperti dikutip dari AFP.
Kumudesh menambahkan, MLTA tidak dapat memberikan diagnosis. Sebab, sebagian besar bahan kimia dan larutan yang diperlukan untuk tes medis tidak tersedia di rumah sakit pemerintah.
Sementara itu, pemerintah telah mengizinkan pemasok menaikkan 30 persen harga semua perangkat medis, termasuk stent untuk pasien jantung. Langkah itu diambil lantaran para penyuplai tersebut terkena biaya produksi yang lebih tinggi.
Kementerian Kesehatan Sri Lanka mengatakan, pihaknya sedang mempercepat pasokan baru untuk melanjutkan operasi di Peradeniya.
Warga Sri Lanka terpaksa menghabiskan waktu berjam-jam untuk membeli makanan, bahan bakar, hingga obat-obatan. Kesulitan itu terjadi karena Sri Lanka sedang menghadapi kekurangan dolar.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut memutus rantai impor dalam krisis ekonomi terburuk yang dialami negara itu sejak meraih kemerdekaan pada 1948.
Inflasi di Sri Lanka dikabarkan telah mencapai rekor terbaru pada angka 17,5 persen di Februari 2022. Sedangkan inflasi makanan mencapai 25 persen.
Cadangan mata uang asing negara itu pun turun dari USD 7,5 miliar menjadi USD 2,0 miliar. Penurunan valuta mata uang asing terjadi sejak pemerintah saat ini mengambil alih kekuasaan pada November 2019 lalu.
Kondisi demikian telah memaksa Sri Lanka mendevaluasi mata uangnya di tengah lonjakan inflasi dan mencari bantuan dari Dana Moneter Internasional (IMF).
Krisis ekonomi terburuk Sri Lanka dalam beberapa dekade terakhir disebut sebagai akibat dari keuangan pemerintah yang salah urus. Selain dihantam dampak pandemi COVID-19, pemerintah juga dikabarkan telah melakukan pemotongan pajak yang tidak tepat waktu.
ADVERTISEMENT
Dengan cadangan yang hanya tersisa USD 2,31 miliar, Sri Lanka harus membayar utang sekitar USD 4 miliar selama sisa tahun ini. Utang tersebut meliputi obligasi internasional senilai USD 1 miliar yang jatuh tempo pada Juli mendatang.
Pada Agustus 2021, Sri Lanka menerima jatah sebesar USD 787 juta dari alokasi hak penarikan khusus IMF senilai USD 650 miliar.
Uluran tangan itu merupakan bagian dari dukungan untuk menghadapi pandemi. Dana tersebut digunakan untuk menambah cadangan uang negara.
Menteri Luar Negeri Sri Lanka Basil Rajapaksa dikabarkan akan mengadakan pembicaraan dengan IMF pada bulan April mendatang.
Selain bantuan dari IMF, sejumlah negara dilaporkan telah turun tangan untuk membantu Sri Lanka mengatasi kekurangan valuta asing. Negara-negara tersebut ialah India, China, dan Bangladesh.
ADVERTISEMENT
Pada Mei 2021, bank sentral Bangladesh menyetujui kerja sama swap sebesar USD 200 juta. Ini merupakan pengaturan swap pertama antara kedua negara.
Di sisi lain, Menteri Luar Negeri India Subrahmanyam Jaishankar mengatakan, ia 'terganggu' oleh kekurangan pasokan medis. Jaishankar kemudian meminta kedutaan untuk mencari bantuan. Saat itu, Jaishankar sedang melawat ke Sri Lanka untuk menghadiri pertemuan regional.
Penulis: Sekar Ayu