Indonesia Darurat Plastik, Hewan Laut Terusik

6 Desember 2018 12:42 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Spesial Konten Mati Bergelimang Plastik (Foto: REUTERS/Dave Kaup)
zoom-in-whitePerbesar
Spesial Konten Mati Bergelimang Plastik (Foto: REUTERS/Dave Kaup)
ADVERTISEMENT
Tahun 2050 PBB memprediksi jumlah plastik di laut akan lebih banyak daripada ikan-ikan. Sementara, sebaran mikroplastik-plastik dalam ukuran kecil-akan lebih banyak daripada jumlah plankton.
ADVERTISEMENT
Padahal, berdasarkan organisasi pangan PBB, FAO, Indonesia diprediksi pada tahun serupa akan lebih banyak mendapat sumber pangan dari laut ketimbang darat.
Namun, dengan kondisi laut yang kelak dipenuhi sampah apakah manusia akan memakan plastik?
Itulah yang terus dipertanyakan dan dikaji oleh beberapa ilmuwan termasuk peneliti oseanografi LIPI, Muhammad Reza Cordova. Kepada kumparan, Reza menyebut jumlah sampah di laut, terutama plastik, sudah tak terhingga jumlahnya.
Kuantitas ini ke depannya akan mengancam ekosistem laut yang pada prinsipnya juga berdampak pada kelangsungan hidup manusia kelak.
Seringkali Reza melihat sampah-sampah plastik itu mengusik kehidupan hewan-hewan di laut dan sekitarnya. Di Pulau Rambut, Kepulauan Seribu misalnya, pada 2016 lalu dia melihat seekor burung terjerat plastik di kakinya.
ADVERTISEMENT
"Seperti ada indikasi kalau masuk ke suatu daerah lalu mau mencari makan plastiknya menempel. Atau bisa jadi dia memakan plastik gitu," cerita Reza.
Peneliti LIPI, Muhammad Reza Cordova (Foto: Nesia Qurrota A'yuni/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Peneliti LIPI, Muhammad Reza Cordova (Foto: Nesia Qurrota A'yuni/kumparan)
Ingin hati Reza menyelamatkan burung tersebut dari jerat plastik. Namun, sifat burung yang berbeda dengan manusia menjadi kendala saat itu.
"Namanya burung misalnya binatang ketika kita datang kan tidak mungkin langsung bisa lepas kan. Ketika kita sudah lari, burung itu terbang. Sebenarnya pengin plastiknya kita ambil, kita cabut, itu yang pengin kami lakukan," Reza menyebut.
Kejadian di Pulau Rambut itu menjadi kali pertama Reza melihat hewan menjadi korban dari sampah plastik. Pengalaman lainnya saat dia bersama rekan-rekan di sebuah NGO melihat penyu terjerat jaring nelayan saat diving. Jerat tersebut kemudian dilepaskan dari sang penyu malang.
ADVERTISEMENT
Tak hanya penyu, ekosistem terumbu karang juga perlahan terusik karena tertutup sampah. Mirisnya kondisi ini dia temukan justru di wilayah timur Indonesia, seperti di Wakatobi, Ternate, dan wilayah lain yang terkenal dengan keindahan alam bawah lautnya.
"Ada karung, ada bekas-bekas jaring nelayan. Yang cukup banyak itu adalah yang kami temukan itu kantong kresek. Ya memang sudah bercampur. Itu ya menutupi terumbu karang kan. Akhirnya terumbu karangnya lama-lama kemungkinan mati," sebut Reza.
Tumpukan sampah di pinggir pantai Pulau Pari. (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tumpukan sampah di pinggir pantai Pulau Pari. (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
Bicara soal sampah plastik, Reza dan tim penelitiannya baru-baru ini mengkaji 18 pantai di Indonesia sebagai area monitoring setiap bulan untuk pemantauan sampah terdampar. Dari area monitoring itu ditemukan berbagai jenis plastik, seperti plastik dan karet, logam, kaca, kayu (olahan), kain, dan beberapa bahan berbahaya. Di antara sampah tersebut, plastik menjadi jenis sampah yang dominan dengan jumlah 36-38 persen.
ADVERTISEMENT
Adapun wilayah perairan yang banyak ditemukan sampah adalah di sekitar Jawa dan Sulawesi. Menurut Reza, ada beberapa faktor yang menyebabkan kondisi tersebut terjadi, salah satunya kemungkinan adanya anggapan lebih baik membuang sampah ke alam masih kental di masyarakat.
Di samping itu, merujuk pada perhitungan kasar dengan asumsi sederhana, diperkirakan 100 ribu hingga 400 ribu ton plastik per tahun yang dikonsumsi masyarakat Indonesia masuk ke wilayah laut. Sementara itu, berdasarkan data lainnya sebanyak 80 persen sampah baik plastik maupun non plastik berasal dari kegiatan di darat. Sementara, 20 persen sisanya berasal dari kegiatan perkapalan, transportasi laut, dan bisa juga berasal dari luar wilayah Indonesia (transboundary debris).
"Padahal Indonesia wilayahnya 70 persen itu laut ya, kalau sampahnya sudah lebih banyak, apalagi kita banyak orang yang tergantung kehidupannya ke laut. Ya, kita akan cepat hancur secara ekosistem. Itu patut disayangkan," ungkap Reza.
ADVERTISEMENT
Intaian Mikroplastik
Bahaya lain yang turut mengintai biota laut adalah mikroplastik. Mikroplastik adalah segala jenis plastik yang memiliki ukuran kurang dari 5 mm. Jenisnya pun banyak, ada yang bentuknya seperti serpihan, benang, lapisan film, granule (bulat-bulatan).
Reza menemukan mikroplastik di seluruh pantai Indonesia dan pesisir Indonesia. Bahkan, dari hasil kajian penelitiannya, jenis plastik tersebut sudah ditemukan di kedalaman 2.000 meter. Padahal, seharusnya di kedalaman tersebut tidak ada kehidupan lain selain biota dasar laut.
"Yang memang kita anggap bersih tetapi itu sudah ketemu. Itu ada di barat daya dari Sumatra. Jadi antara Padang sampai Selat Sunda," sebut Reza.
Tumpukan sampah plastik di dekat dermaga Pulau Pari. (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tumpukan sampah plastik di dekat dermaga Pulau Pari. (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
Mikroplastik tentu membahayakan biota laut, apalagi bila ukurannya lebih kecil seperti virus, disebut nanoplastik. Ketika ikan dipapari oleh nanoplastik, partikel itu bisa masuk ke saluran tubuh, bahkan ke saluran darahnya.
ADVERTISEMENT
"Kalau saluran darah pasti masuk ke saluran otak sistem saraf pusat dari ikan itu terganggu. Akibatnya kebiasaan ikan itu terganggu juga," urai Reza.
Selain ikan, kerang-kerangan di laut pun bisa terusik akibat plastik berukuran kecil ini. Kesuburan mereka menjadi lebih kecil daripada yang tidak terpapar mikroplastik.
Suasana terumbu karang di kepulauan Taka Bonerate, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. (Foto:  Cornelius Bintang/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana terumbu karang di kepulauan Taka Bonerate, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. (Foto: Cornelius Bintang/kumparan)
Plastik dengan ukuran kecil sendiri di sisi lain juga bisa menjadi media penempelan bagi logam-logam berat atau misalnya bahan pencemar lain atau bahkan bakteri. Pencemar tersebut akan membahayakan kelangsungan hidup biota laut karena tertinggal di dalam tubuh.
"Kalau plastik yang ukuran besar itu masalahnya sudah jelas, pertama estetika. Kemudian masalah dari itu akan mengganggu secara fisik untuk saluran pencernaan. Tapi kalau untuk mikroplastik bahayanya mungkin kita tahu oh mungkin bahayanya sama tapi bahaya yang di dalamnya lagi itu yang masih kita belum tahu. Masih menjadi perlombaan banyak ilmuwan peneliti untuk membuktikan ini dampaknya seperti apa," terang Reza.
ADVERTISEMENT
Untuk itu, tak ingin hal ini semakin parah ke depannya, Reza mengajak masyarakat untuk mengurangi konsumsi plastik sekali pakai. Sudah saatnya masyarakat beralih menggunakan bahan-bahan yang sekiranya cepat terurai.
Plastik 5,9 kg di Perut Paus
Menjadi hal yang ramai diperbincangkan, mengapa ada 5,9 kg sampah plastik di perut paus sperma yang terdampar di Pulau Kapota, Wakatobi, beberapa hari silam. Apakah mamalia laut itu memakan berbagai sampah dari karet hingga plastik?
5,9 kg sampah itu berisi beragam jenis, daftarnya sebagai berikut:
1. Tali rafia seberat 3,26 kilogram
2. Gelas plastik sebanyak 115 pcs, seberat 750 gram
3. Sandal jepit satu pasang, seberat 279 gram
4. Kantong plastik sebanyak 25 pcs, seberat 260 gram
ADVERTISEMENT
5. Botol plastik sebanyak 4 pcs, seberat 150 gram, dan
6. Plastik keras sebanyak 19 pcs, seberat 140 gram.
kumparan berbincang dengan seorang dokter hewan, Dwi Suprapti, yang kini menjadi Marine Species Conservation Coordinator World Wide Fund for Nature (WWF), untuk mencari jawaban terkait masalah ini.
Dwi Suprapti (Foto: Bintang/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Dwi Suprapti (Foto: Bintang/kumparan)
Berdasarkan keterangan Dwi, paus sperma sebenarnya tidak memakan plastik. Namun, plastik-plastik tersebut tidak sengaja termakan olehnya. Karena pada dasarnya, paus sperma memakan ikan dan cumi, bukan plastik.
“Kemudian sebenarnya bisa saja lagi mau makan atau mengejar ikan atau cumi sampah tersebut berada dalam satu kolom air. Sehingga tertelan masuk, karena dia enggak punya tangan untuk memilah. Jadi dia berada dalam satu kolom air, dan masuk ke tubuhnya dan sampah tidak sengaja tertelan ke tubuhnya,” jelas Dwi di kantornya, Jalan TB Simatupang, Selasa (4/12).
ADVERTISEMENT
Sementara itu, juga terdapat analisis lain dari Dwi terkait kasus ini. Diindikasikan paus bisa saja tidak mengenali sampah-sampah plastik itu. Paus menduga kumpulan sampah tersebut mirip dengan mangsanya karena memiliki gelombang echo atau suara yang mirip dengan cumi dan ikan.
Dokter hewan Indonesia saat memeriksa ikan paus sperma mati di Banda Aceh. (Foto: Chaideer Mahyuddin / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Dokter hewan Indonesia saat memeriksa ikan paus sperma mati di Banda Aceh. (Foto: Chaideer Mahyuddin / AFP)
Hal itu cukup wajar mengingat paus saat bergerak atau mencari makanan tidak 100 persen menggunakan matanya.
“Beda dengan kita (manusia) mata itu benar-benar untuk melihat. Kalau paus itu bergerak menggunakan gelombang suara. Nah begitu juga untuk mengenali makannya dia juga menggunakan gelombang suara,” ucap Dwi.
Dengan kondisi tersebut, wajar bila paus terindikasi salah menelan mangsanya.
Sementara itu, hingga saat ini terkait kematian paus sperma di Wakatobi belum diketahui penyebabnya karena saat ditemukan paus tersebut sudah dalam kondisi membusuk sehingga tidak bisa dilakukan nekropsi (autopsi).
Warga melihat dua hiu paus mati di Surabaya. (Foto: Juni Kriswanto / AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Warga melihat dua hiu paus mati di Surabaya. (Foto: Juni Kriswanto / AFP)
Apalagi, saat itu perut paus sudah dibedah oleh masyarakat sekitar yang tengah berburu muntahan paus sperma. Dipercaya oleh mereka, muntahan paus sperma berkhasiat sehingga memiliki nilai jual tinggi.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, fenomena penemuan sampah plastik di tubuh hewan tidak hanya terjadi pada paus di Wakatobi. Sebagai seorang dokter hewan, Dwi pernah menemukan penyu sisik terdampar di Bali dalam kondisi memprihatinkan tahun 2005 silam. Dia pun merawat penyu sisik itu tapi kemudian penyu itu mati. Nekropsi pun dilakukan dan didapat hasil yang mengagetkan.
"Ada sampah jaring di perutnya dengan kawat yang menyangkut di jaring tersebut apalagi sampai merobek lambungnya. Jadi lambungnya robek," kata Dwi.
Terkait kondisi tersebut, Dwi mengimbau kepada masyarakat untuk segera melapor ke pihak terkait apabila menemukan hewan-hewan yang terdampar, semisal BKSDA setempat, BPSPL, DKP, dan dokter hewan setempat.
Masyarakat juga diharapkan untuk tidak menyentuh dan membedah hewan tersebut. Hal itu untuk memudahkan proses identifikasi dan investigasi ke depannya.
ADVERTISEMENT
Ikuti cerita lainnya di kumparan tentang hewan-hewan yang mati bergelimang plastik dengan follow topik Mati Bergelimang Plastik.