Indonesia Emas 2045: Siapkah Kita dengan Ledakan Populasi Lansia?

1 Februari 2025 12:07 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi lansia, kakek dan cucu. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi lansia, kakek dan cucu. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Indonesia kini mengalami ageing population atau penuaan populasi. Sebab setelah era bonus demografi selesai di tahun 2035, penduduk usia produktif yang semula mendominasi bergeser menjadi penduduk usia tua.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) berjudul ‘Statistik Penduduk Lanjut Usia 2024’, lansia di Indonesia diproyeksikan mencapai 65,82 juta orang atau mencapai 20,31 persen dari total penduduk pada 2045 atau saat Indonesia Emas. Pada saat itu, ada 1 lansia di antara 5 penduduk di Indonesia.
Dalam satu dekade terakhir (2015 hingga 2024), persentase lansia meningkat nyaris 4 persen. Fenomena pergeseran struktur penduduk ini mulai terjadi di tahun 2021. Saat itu, persentase penduduk lansia di Indonesia sudah berada di angka 10,82 persen. Di tahun 2024, persentase lansia menyentuh angka 12 persen.
Sebuah negara dikatakan berada pada struktur penduduk tua ketika persentase lansianya sudah di atas 10 persen. Sebagai perbandingan, persentase lansia di Jepang menurut United Nation Population Division pada 2024 ada di angka 30,2 persen.
ADVERTISEMENT
Sementara di tingkat global, fenomena penuaan populasi ini diperkirakan akan terus bertambah selama tiga dekade mendatang hingga mencapai total 1,6 miliar pada tahun 2050.

Peluang dan Tantangan

Meningkatnya jumlah lansia di struktur penduduk Indonesia berpengaruh pada rasio ketergantungan penduduk lansia. Rasio ketergantungan ini berarti perbandingan jumlah penduduk lansia (usia 60 tahun ke atas) terhadap penduduk usia produktif (usia 15-59 tahun).
Pada tahun 2020, menurut catatan BPS, rasio ketergantungan lansia berada di angka 15,16. Sementara pada 2024, rasionya meningkat menjadi 17,76. Artinya, setiap 100 penduduk usia produktif (15-59 tahun) harus menanggung setidaknya 17 penduduk lansia. Sejalan dengan pertumbuhan penduduk lansia hingga tahun 2045, rasio ketergantungan lansia pada 2045 pun akan turut meningkat.
Ilustrasi vaksinasi lansia. Foto: aslysun/Shuttterstock
Kepala Lembaga Demografi FEB UI, I Dewa Gede Karma Wisana, menilai fenomena ini memang akan menjadi tantangan tersendiri. Menurutnya, perubahan struktur penduduk yang menjadi stasioner mengakibatkan permintaan atau kebutuhan dari tiap rentang usia penduduk pun akan sama besarnya.
ADVERTISEMENT
Penduduk muda, misalnya, butuh sekolah. Sementara orang dengan usia produktif, anak-anak, maupun balita butuh vaksin dan juga pelayanan kesehatan. Adapun untuk lansia, kata Dewa, pemerintah mesti menyiapkan fasilitas kesehatan khusus lansia.
“Nah pelayanan kesehatan untuk lansia apa saja? Itu banyak sebenarnya. Kalau secara disiplin ilmu kesehatan kan ada namanya geriatri, gerontologi. Artinya kita perlu mulai memahami penyakit-penyakit yang berkaitan dengan lansia,” terang Dewa kepada kumparan pada Selasa (28/1).
Kepala Lembaga Demografi FEB UI, I Dewa Gede Karma Wisana. Foto: Dok. feb.ui
Selain tantangan dalam bidang kesehatan, Dewa juga menilai bahwa pemerintah perlu menyiapkan senior housing atau panti wreda. Selain itu, kata dia, Jaminan hari tua (JHT) dan jaminan pensiun (JP) juga harus dipersiapkan pemerintah dalam mempersiapkan peningkatan jumlah penduduk lansia ini.
Menurutnya, lapangan pekerjaan atau sekolah untuk lansia juga bisa dipersiapkan. Sebab, lanjutnya, mungkin saja penduduk lansia ini masih tetap perlu beraktivitas dan bekerja.
ADVERTISEMENT
“Pengalaman Singapura bisa ditiru bagaimana mereka membuka lowongan kerja atau menciptakan kondisi pascakerja untuk lansia. Mungkin sekolah juga ya, kan ada lansia yang pengen mengambil S1 lagi. Bisa digratisin atau dikasih diskon misalnya,” tutur Dewa.
Di samping tantangan, Dewa turut menyoroti peluang yang dapat terjadi kala jumlah penduduk lansia meningkat. Meningkatnya jumlah penduduk lansia juga berarti meningkatnya peluang bagi silver economy. Silver economy adalah istilah yang merujuk pada produk, jasa, ataupun aktivitas ekonomi yang dikhususkan untuk lansia.
Ilustrasi lansia, kakek dan nenek. Foto: Shutterstock
Semakin meningkatnya tingkat pendidikan yang ditempuh penduduk lansia, semakin banyak pula lansia yang melek teknologi. Maka menurut Dewa, informasi yang dimiliki lansia ini khususnya terkait ekonomi akan menjadi potensi silver economy.
“Kita juga akan melihat generasi lansia yang well educated [terdidik], terpapar teknologi. Nah jadi ekonominya banyak tuh, Mereka idealnya well informed [terliterasi], harusnya punya informasi yang cukup tentang investasi, tentang menabung, jadi ada potensi ekonomi di situ, menawarkan produk-produk investasi pasif income untuk mereka potensi ekonomi,” kata Dewa.
ADVERTISEMENT

Keadaan Ekonomi Lansia Kini

Berdasarkan laporan ‘Statistik Penduduk Lanjut Usia 2024’ yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS), dalam kurun waktu satu dekade (2015-2024), persentase lansia yang bekerja meningkat sebesar 8,79 persen, dari 46,53 persen pada 2015 menjadi 55,32 persen pada 2024.
Status pekerjaan dari lansia bekerja memberikan gambaran tentang kedudukan lansia dalam pekerjaan dan seberapa besar peran aktifnya dalam kegiatan ekonomi. Komposisi status pekerjaan lansia mencerminkan bahwa sekitar 60 persen lansia memiliki tingkat kemandirian dengan berusaha sendiri baik dengan atau tanpa buruh.
Selebihnya, persentase lansia yang bekerja sebagai buruh berada di angka 10,43 persen. Lansia yang bekerja sebagai pekerja bebas dan pekerja keluarga/pekerja tidak dibayar persentasenya masing-masing 9,54 persen dan 13,37 persen.
ADVERTISEMENT
Rata-rata penghasilan lansia yang bekerja juga menunjukkan tren yang meningkat dari tahun 2020 hingga 2024. Secara umum, kenaikan yang terjadi dari tahun 2020 ke 2024 adalah sebesar 42,55 persen.
Menurut International Labour Organization (ILO), jam kerja yang berlebih adalah jam kerja yang lebih dari 48 jam per minggu. Sedangkan, menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, jam kerja maksimum adalah 40 jam per minggu.
Dengan definisi menurut ILO, pada 2024, tercatat masih ada 20,69 persen pekerja lansia dengan jam kerja berlebih. Sedangkan jika mengacu pada UU, pekerja lansia yang memiliki jam bekerja berlebih pada 2024 sebanyak 34,67 persen.
Dalam definisi yang disajikan laporan BPS itu, jam kerja selama 35-48 jam kerja seminggu dikategorikan sebagai bekerja secara penuh. Jam kerja selama kurang dari 35 jam per minggu dikategorikan sebagai setengah pengangguran. Sedangkan pekerja yang bekerja kurang dari 15 jam per minggu dikategorikan sebagai setengah pengangguran kritis.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan tingkat pendidikan yang ditamatkan, semakin tinggi tingkat pendidikan lansia maka semakin sedikit ia menyumbang persentase lansia yang bekerja. Hanya sebanyak 4,17 persen lansia lulusan perguruan tinggi yang bekerja. Sedangkan, lansia tamatan SD sederajat menjadi penyumbang terbanyak lansia yang bekerja, di angka 37,64 persen.
Reporter: Aliya R Putri