Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Indonesia Hanya Punya 50 Shelter Tsunami, Idealnya 2.000
10 Januari 2019 10:03 WIB
Diperbarui 15 Maret 2019 3:50 WIB
ADVERTISEMENT
Ketika gempa besar yang memicu tsunami terjadi di dekat pesisir pantai, warga hanya memiliki waktu 10 hingga 40 menit untuk menyelamatkan diri. Waktu inilah yang disebut dengan istilah waktu emas (golden time).
ADVERTISEMENT
Keputusan dan tindakan yang diambil dalam rentang waktu sempit itu yang menentukan hidup dan mati. Hal itulah yang disampaikan berkali-kali oleh Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana ( BNPB), Sutopo Purwo Nugroho. Dia mengatakan, saat bencana tsunami terjadi masyarakat memerlukan shelter (tempat evakuasi sementara) yang bisa dijangkau dengan cepat.
“Golden time seperti itu, dan prinsipnya adalah lari setinggi-tingginya mencari tempat yang lebih tinggi, bukan lari sejauh-jauhnya. Oleh karena itu perlu adanya bangunan, tempat evakuasi sementara tsunami atau yang kita kenal sebagai shelter tsunami yang didesain dengan konstruksi yang kuat terhadap gempa,” kata Sutopo saat ditemui kumparan di kantornya di Jakarta, Selasa (8/1).
Di Indonesia, lanjut Sutopo, saat ini sudah ada sekitar 50 shelter bencana tsunami. Namun jumlah itu masih jauh dari kebutuhan yakni 2.000 shelter. Sebab idealnya setiap dua kilometer di daerah pantai yang rawan tsunami setidaknya terdapat satu shelter, tetapi kenyatannya tidak demikian.
ADVERTISEMENT
“2.000 lah kebutuhan kita, faktanya baru ada 50. Masih ada kekurangan,” ucap Sutopo.
BNPB mengaku kekurangan dana untuk untuk membangun shelter-shelter tsunami karena terbatasnya anggaran mitigasi bencana. Anggaran yang disetujui DPR setiap tahunnya terus menurun. Tercatat, anggaran BNPB tahun 2018 adalah Rp 746 miliar, sedangkan 2019 Rp 610 miliar.
Menurut Sutopo, dengan anggaran yang terus menurun sulit dilakukan mitigasi bencana yang memadai. Padahal, di satu sisi, ancaman bencana terus meningkat.
"Dengan anggaran yang banyak artinya kegiatan kita menjadi lebih luas, karena yang ditangani wilayah Indonesia sangat luas dan bencananya juga banyak, tetapi dengan anggaran yang sedikit, otomatis kegiatan kita juga terbatas," ungkapnya.
Untuk membangun 1 shelter saja, dana yang diperlukan miliaran. Sedangkan shelter yang dibutuhkan di Indonesia sangat banyak. Belum lagi jika ada bencana yang memakan korban jiwa dan kerusakan bangunan, sehingga dana Rp 1 triliun saja dianggap kurang.
ADVERTISEMENT
“Pasti kurang karena dana operasional tadi sudah kegiatannya banyak sekali. Apalagi di BNPB menangani semua bencana,” tuturnya.
Meski kurangnya dana pemerintah, BNPB terus berkoordinasi dengan BPBD membuat sirine tsunami sederhana dengan biaya yang lebih murah sebagai peringatan tsunami dini. Dengan adanya sirine, diharap masyarakat bisa lebih waspada dan bisa mencari perlindungan lebih cepat.
Untuk Shelter sebenarnya tidak harus berbentuk gedung evakuasi tetapi shelter bisa dalam bentuk bangunan masjid, hotel, sekolah bahkan pusat perbelanjaan. Selain berbentuk gedung (escape building), variasi lainnya adalah dengan memanfaatkan alam sekitar seperti bukit di dekat pantai (escape hill). Tentu yang diperlukan adalah membangun akses jalan menuju bukit dan area puncak yang dibersihkan sehingga menjadi seperti lapangan. Dan terpenting, shelter harus memiliki ketinggian yang cukup dan bisa menampung ribuan orang di kala bencana melanda.
Oleh karena shelter dijadikan tempat untuk berlindung saat bencana, maka bangunan itu juga harus memiliki fasilitas yang menunjang, seperti air bersih, listrik, dan kebersihan yang terjaga. Dan sebaiknya shelter harus diberdayagunakan untuk keperluan sehari-hari masyarakat agar terawat. Misalnya untuk tempat pernikahan, pemberdayaan masyarakat, atau kegiatan-kegiatan lainnya.
ADVERTISEMENT
“Jadi perlu ada kombinasi, ada multiple, ada pemanfaatannya yang tidak hanya sebatas shelter saja. Karena kalau hanya shelter saja ya tadi biaya pemeliharaannya mahal, dan ya harus siap semuanya yang kita juga tidak tahu kapan tsunaminya datang," jelas Sutopo.
Sutopo mencontohkan beberapa shelter di Indonesia. Salah satunya yang berada di Kelurahan Parupuk Tabing, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang. Shelter di Padang tersebut berbentuk bangunan lima lantai, dengan ketinggian 22 meter, dan luas 2.500 meter persegi. Tempat yang dilengkapi fasilitas MCK dan dapur umum tersebut dapat menampung 4.500 orang, dan shelter ini dirawat dengan baik.
Meski begitu, banyak juga shelter tsunami yang tidak terawat sehingga beralih fungsi, yang tadinya diperuntukan tempat berlindung dari bencana, malah mangkrak tak terawat, seperti shelter tsunami di Labuan Pandeglang, Banten. Bangunan seluas 2,456 meter persegi tersebut tak pernah digunakan sebagaimana fungsinya.
ADVERTISEMENT
"Di sana sendiri proses pembangunannya terjadi korupsi, sehingga masyarakat tidak tahu apa yang terjadi yang saat ini jadi tempat mangkal angkot. kondisinya kumuh, bahkan digunakan untuk mesum," ujar Sutopo.
Ada juga shelter tsunami yang dibangun di Kelurahan Teluk Sepang, Kecamatan Kampung Melayu, Kota Bengkulu. Bangunan yang memakan anggaran Rp 9,6 miliar ini terbengkalai, dipenuhi sampah, banyak kabel yang terputus sehingga tidak ada aliran listrik.
Shelter-shelter yang terbengkalai ini menjadi masalah sendiri bagi BNPB. Padahal menurut Sutopo, shelter sangat penting sebagai tempat berlindung bagi warga yang tinggal di kawasan pantai yang rawan tsunami.
Tanggung jawab pemeliharaan shelter bukan hanya di BNPB, tetapi juga Pemerintah Daerah dan warga, sehingga gedung evakuasi itu tidak terbengkalai dan dapat dimanfaatkan di kala bencana atau pun tidak.
ADVERTISEMENT
Simak selengkapnya konten spesial dalam topik Ironi Shelter Tsunami.