Indonesia Rawan Bencana, Bangunan Harus Dibuat Kokoh

2 Oktober 2019 16:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana bedah buku Siaga di Negeri Bencana di Ruang Theater Perpustakaan FK-KMK UGM, Rabu (2/10). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana bedah buku Siaga di Negeri Bencana di Ruang Theater Perpustakaan FK-KMK UGM, Rabu (2/10). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
ADVERTISEMENT
Tidak bisa dipungkiri letak geografis Indonesia merupakan kategori rawan bencana. Catatan BNPB sepanjang Januari hingga Juli 2019 terdapat 2.277 bencana alam di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pun begitu data dari Centre for Research on the Epidemiology of Disasters (CRED) dan EM-DAT Badan Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Pengurangan Risiko Bencana (United Nations Office for Disaster Risk Reduction/UNISDR) yang menyebut Indonesia negara peringkat pertama dengan korban jiwa tertinggi akibat bencana alam pada 2018.
Society for Health, Education, Environment, and Peace (Yayasan Sheep) Indonesia, Suparlan, menjelaskan harus ada pola perubahan model penanganan bencana. Bencana tidak perlu lagi ditunggu, namun yang diperlukan adalah menyiapkan mitigasi termasuk bangunan tahan bencana.
"Misalnya gempa Sulawesi Tengah dan Lombok kira-kira yang merusak sebenarnya apa sih? Ini satu pembelajaran juga kalau gempa yang merusak itu kan bukan skala richternya, tapi bangunannya," katanya saat bedah buku Siaga di Negeri Bencana di Ruang Theater Perpustakaan FK-KMK UGM, Yogyakarta, Rabu (2/10).
ADVERTISEMENT
Dia melihat ketika bencana Lombok dan Palu banyak rumah dibangun tanpa ada struktur besi yang memadai. Padahal struktur yang kuat bisa meminimalkan kerusakan.
"Di Yogya mungkin dulu kalau tidak ada gempa bangunannya mungkin masih model-model yang tidak cukup kuat. Penting kiranya (pemahaman ini) bahwa Indonesia banyak informasi kejadian bencana bahkan nomor satu. Tidak ada perang, tapi setiap tahun ada pengungsi," katanya.
Suasana bedah buku Siaga di Negeri Bencana di Ruang Theater Perpustakaan FK-KMK UGM, Rabu (2/10). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Sementara itu, Hendro Wartatmo, salah seorang tim penulis buku Siaga di Negeri Bencana menjelaskan buku ini berisi 15 tahun pengalaman Tim Bencana Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) RSUP Dr Sardjito. Merangkum kisah tim saat penanganan tsunami Aceh 2004 hingga tsunami Selat Sunda pada 2018 lalu.
"Yang ditulis pengalaman kita dan Pak Laksono (penulis lain) memutuskan lesson learned saja. Yang (buku) kedua soal pendidikan. Kumpulan pengalaman penulis dari bencana yang terjadi. Saya pribadi yang ada di situ sampai yang terakhir bencana di Selat Sunda," katanya.
ADVERTISEMENT
Di negeri yang penuh bencana ini, Hendro mengatakan masyarakat Indonesia punya banyak pengalaman tentang bencana namun minim pengetahuan. Hal itu berbeda dengan orang di luar negeri yang meski minim pengalaman bencana, namun mereka kaya akan ilmu kebencanaan.
"Kita punya banyak pengalaman tapi tidak distrukturkan ke dalam ilmu," katanya.