Indonesia yang Tak Mudah dan Senyum Obama yang Tak Habis-habis

29 Juni 2017 15:44 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:16 WIB
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Lambaian terakhir Barack Obama. (Foto: REUTERS/Carlos Barria)
zoom-in-whitePerbesar
Lambaian terakhir Barack Obama. (Foto: REUTERS/Carlos Barria)
ADVERTISEMENT
Pada kunjungannya ke Indonesia beberapa tahun lalu, mantan Presiden Amerika Serikat Obama tak sungkan memuji Indonesia sebagai negara yang disebutnya “sangat berarti” baginya. “Indonesia bagian dari diri saya,” begitu akunya.
ADVERTISEMENT
Berkunjung saat masih menjadi Presiden AS pada tahun 2010, Obama juga mengaku terkesan betapa ramahnya masyarakat Indonesia.
"Dari semuanya itu, saya ingat bagaimana orang-orangnya, baik laki-laki dan perempuan selalu penuh dengan senyum. Anak-anak di sana membuat saya seperti tetangga dan teman mereka, dan guru-guru banyak membantu saya belajar tentang negara ini," ujar Obama kepada ribuan civitas akademika Universitas Indonesia yang menjadi pemirsa pidatonya.
Dia juga banyak belajar dan terkesan akan toleransi di antara masyarakat Indonesia. Pelajaran toleransi itu dia dapat dari ayah tirinya, Lolo Soetoro.
"Selama saya berada di sini membuat saya menghargai sisi humanitas masyarakat. Dan ayah tiri saya, seperti orang Indonesia pada umumnya, adalah Muslim. Dia percaya bahwa semua agama mengajarkan rasa saling menghormati. Dia (Lolo) mengajarkan saya toleransi," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, tiga tahun masa kecilnya di Indonesia sebetulnya tak lepas dengan kenangan buruk. Seperti hidup itu sendiri, meski ada manis-gurih nikmat daging sate yang digemarinya, ada pula pahit arang yang mau tak mau menyertai. Dan itu dipahami betul oleh Obama, justru saat ia berada di negara yang masyarakatnya ia sebut “cepat membuatnya merasa seperti di rumah”.
Barrack Obama Menggendong Bayi (Foto: Reuters)
zoom-in-whitePerbesar
Barrack Obama Menggendong Bayi (Foto: Reuters)
Barack Hussein Obama Jr. nama anak kecil itu. Barry --sebagaimana keluarga biasa memanggilnya-- lahir di Hawaii, Amerika Serikat, 4 Agustus 1961. Ia terlahir dari pasangan antarras: ayahnya, Barack Obama Sr. yang berasal dari Kenya, dan ibunya, Ann Dunham berasal dari Kansas, Amerika Serikat.
Perkawinan keduanya sempat tak disetujui oleh kedua mertua mereka. Perkawinan tersebut akhirnya kandas pada 1964 setelah keduanya berpisah beberapa waktu dan memutuskan bercerai. Saat Obama senior kembali ke Kenya, hak asuh Obama kecil menjadi penuh milik ibunya.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita, Ann Dunham ganti punya hubungan dengan Lolo Soetoro, seorang warga negara Indonesia yang sama-sama tengah berkuliah di University of Hawaii. Mereka berdua menikah pada 1964 setelah Ann bercerai. Dari situlah nasib pelan-pelan menggiring Obama Junior ke Indonesia.
Hanya setahun setelah Lolo dan Ann menikah, gejolak politik di negeri asalnya memaksa ayah tiri Obama balik ke Indonesia. Lolo Soetoro memang berkuliah di Hawaii menggunakan beasiswa dari pemerintah. Dan ketika gonjang-ganjing G30S berakhir dengan tergulingnya pemerintahan Orde Lama, beasiswa Lolo pun ikut terhenti.
Ia harus kembali ke Indonesia dan memang kemudian yang terjadi. Satu tahun setelah keluarga baru tersebut terpisah pada 1965, Ann dan Obama kecil menyusul ke Indonesia.
ADVERTISEMENT
Obama, Ann, Lolo dan Maya Soetoro (Foto: AP Photo File)
zoom-in-whitePerbesar
Obama, Ann, Lolo dan Maya Soetoro (Foto: AP Photo File)
Pada umur 6 hingga 10 tahun, Barry Obama tinggal di Jakarta: 3 tahun di Menteng Dalam, 2 tahun di kawasan Matraman, Jakarta Timur. Meski demikian, tak jarang keluarga tersebut berlibur ke Yogyakarta, di mana ia tinggal di rumah di Kompleks Perumahan Dosen Universitas Gadjah Mada di Bulaksumur, Caturtunggal, Depok, Sleman.
Di situ, ia dan keluarganya tinggal di rumah dinas Prof Dr Iman Sutiknyo, Guru Besar FISIPOL UGM yang juga paman Obama. Ayah tiri Obama merupakan adik kandung istri dari Prof Iman Sutiknyo. Di kota yang menjadi daerah istimewa tersebut, Ann Dunham juga berteman dengan Elizabeth Bryant, seorang ekspatriat asal AS yang telah tinggal lebih lama di Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Seorang perempuan berkulit putih dan seorang anak berusia lima tahun keturunan campuran Afrika-Amerika merupakan penampakan yang tak umum di Indonesia, bahkan, mungkin, hingga saat ini. Bayangkan pemandangan tersebut dilewati Ann Soetoro dan Barry di Indonesia pada tahun 1966-an.
Maka, tak ayal Obama mendapatkan apa yang ditakutkan. Di suatu hari, usai Obama dan Ann Dunham makan bersama Bryant, mereka bertiga berjalan bersama di sekitar Yogyakarta. Namun, segerombolan anak-anak Indonesia yang bersembunyi di balik tembok melempari Obama dengan kerikil-kerikil kecil. Tak hanya itu, mereka juga meneriaki Obama dengan panggilan-panggilan rasis.
Elizabeth Bryant yang menyaksikan peristiwa itu pun gerah. Ia menawarkan diri pada Ann untuk menghentikan anak-anak tersebut karena telah berlaku kelewatan. Tapi Ann menolak. “Jangan, dia baik-baik saja,” ucap Ann seperti dilansir The New York Times. “Dia sudah terbiasa.”
ADVERTISEMENT
Bryant terkesima dengan kejadian tersebut. Mendapati penolakan ibunya, Bryant juga melihat sang anak tampak tak terganggu dengan cemoohan-cemoohan dari pribumi tersebut. Obama, mengutip kata-kata Bryant, “...terlihat tidak terpengaruh, justru seperti menari bagaikan bermain dodgeball dengan lawan yang tak terlihat.”
Barry kecil tahu, diam dan tetap tenang adalah cara melawan yang paling jitu untuk serangan murah seperti itu. “Kalau Anda marah dan membalas, maka Anda kalah. Namun jika Anda malah tertawa dan tetap tenang, Andalah pemenangnya.”
Meski kerap mendapati dirinya sebagai cercaan rasial, pengalaman Obama hidup di Indonesia justru meninggalkan jejak kesantunan di diri Obama. Di sini, Ann Dunham memberikan pengaruh yang luar biasa besar pada diri Obama. Ia memberikan contoh pada Obama, untuk tetap haus mengambil hal-hal baik dari masyarakat Indonesia dan tak mengacuhkan hal-hal buruk yang secara pahit mereka temui. Hal tersebut disampaikan oleh Bryant, yang pernah cukup dekat untuk tahu bagaimana sifat keluarga muda tersebut.
ADVERTISEMENT
“Kami cukup kaget ketika ia (Ann) membawa anak berkulit hitam ke Indonesia, mengetahui sikap tidak hormat masyarakat sini kepada mereka,” ucap Bryant. Namun begitu, Bryant juga memuji Ann telah mengajari anak mereka untuk tidak punya rasa takut terhadap apapun.
Selain keberanian, Bryant juga mencermati pengaruh Dunham yang mengajari Obama tentang konsep kehormatan --sehingga anak kecil yang bahkan belum berumur 10 tahun tersebut memiliki kesopanan yang jamak ditunjukkan anak Indonesia terhadap orang tuanya.
“Mungkin itulah alasan mengapa ia (Obama) sangat halus,” ucap Bryant tentang mantan presidennya tersebut, mengingat citarasa Jawa yang sangat kental di dalam diri Obama. “Ia punya sikap seorang Asia --sangat halus, sabar, tenang, dan juga menjadi pendengar yang baik. Jika Anda bukan seorang pendengar yang baik di Indonesia, Anda sebaiknya pergi saja,” kata Bryant.
ADVERTISEMENT
Jelas, menurutnya, Obama punya apa yang diperlukan untuk menjadi seorang Indonesia yang baik. Bahkan, mungkin, lebih baik dari seorang Indonesia sendiri.