Infeksi COVID-19 di China Kian Melonjak, Rumah Sakit Kekurangan Tenaga Medis

14 Desember 2022 18:09 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dokter membawa pasokan medis yang disumbangkan dari Beijing diturunkan di sebuah rumah sakit di Wuhan. Foto: Chinatopix via AP
zoom-in-whitePerbesar
Dokter membawa pasokan medis yang disumbangkan dari Beijing diturunkan di sebuah rumah sakit di Wuhan. Foto: Chinatopix via AP
ADVERTISEMENT
Salah satu rumah sakit terbesar di ibu kota Beijing mengalami kekurangan tenaga medis. Hal ini terjadi saat membeludaknya jumlah pasien positif COVID-19.
ADVERTISEMENT
Lonjakan kasus berlangsung usai diberlakukannya pelonggaran protokol kesehatan. Bahkan ledakan kasus COVID-19 seperti ini belum pernah terjadi sepanjang pandemi.
Bangsal rumah sakit itu dipenuhi oleh pasien terinfeksi yang sebagian besar memiliki gejala ringan, namun mereka terlalu khawatir tertular virus corona sehingga mendatangi fasilitas kesehatan untuk memeriksakan diri.
Situasi ini sangat genting — hingga mendesak manajemen rumah sakit itu untuk meminta dokter dan perawat yang diduga terinfeksi namun belum mendapatkan hasil tesnya agar kembali bekerja lantaran kekurangan tenaga medis.
“Terlalu banyak pasien yang memang membutuhkan perawatan telah membanjiri,” kata salah seorang perawat yang tak disebutkan namanya, seperti dikutip dari surat kabar The Sydney Morning Herald.
Pekerja dengan pakaian pelindung berjalan melalui gerbang area perumahan yang dibarikade di bawah penguncian COVID-19, di Beijing, China, Selasa (17/5/2022). Foto: Carlos Garcia Rawlins/REUTERS
“Awalnya, kami mencoba menyeimbangkan kebutuhan dengan mengosongkan gedung lain untuk pasien COVID-19. Tetapi keseimbangan itu rusak karena semakin banyak pasien positif yang datang, bersama dengan semakin banyak pasien, dokter, dan perawat yang terinfeksi” sambung dia.
ADVERTISEMENT
Sekarang, lanjut perawat itu, para tenaga medis di rumah sakit itu merasa tidak berdaya karena rencana kontingensi yang dimiliki bertentangan dengan kebijakan nasional.
Kegentingan itu juga diperparah oleh keterbatasan obat-obatan pereda demam seperti parasetamol dan ibuprofen di berbagai apotek yang ada di ibu kota. Antrean mengular di sekitar apotek dan rumah sakit di beberapa distrik kota itu pun dapat ditemukan.

Fasilitas Karantina Terpusat Terbengkalai

Di saat bersamaan, pemandangan di fasilitas karantina terpusat sangat kontras dibandingkan rumah sakit konvensional.
Salah seorang petugas di fasilitas kesehatan Distrik Chaoyang mengatakan, ada beberapa pasien positif yang saat ini dirawat, tetapi tidak ada pasien baru yang datang.
Orang-orang mengantre di apotek untuk membeli obat sata wabah COVID-19 berlanjut, di Beijing, China, Selasa (6/12/2022). Foto: Thomas Peter/REUTERS
Salah satu fasilitas karantina terbesar di Beijing, gimnasium (ruangan besar untuk olahraga) Changping, juga sudah tidak lagi menampung pasien positif corona. Sebagai gantinya, gimnasium itu digunakan sebagai gudang penyimpanan obat-obatan dan peralatan medis.
ADVERTISEMENT
Dalam menanggapi situasi tersebut, pemerintah Partai Komunis China yang semula sangat waspada dan disiplin dengan kebijakan nol-Covid mereka, sekarang justru bertindak lebih tenang.
Pemerintah Beijing mengakui adanya kegentingan, namun sebagian besar tidak berfokus pada tekanan yang dialami oleh tenaga medis yang kini kekurangan sumber dayanya.
Pihaknya mendesak penduduk untuk tetap bersabar dan mengimbau pasien positif yang bergejala ringan untuk menjalani karantina mandiri di rumah masing-masing.
Pekerja menyelesaikan bagian dalam rumah sakit darurat yang sedang dibangun untuk pasien COVID-19 di Guangzhou, Guangdong, China Senin (11/4/2022). Foto: STR / AFP
Sehubungan dengan hal itu, pekan ini Beijing mulai menyoroti penggunaan obat antivirus seperti Pfizer Pavloxid dalam mengelola lonjakan kasus di penjuru negeri. Pavloxid digunakan untuk mencegah pasien positif COVID-19 mengalami gejala yang lebih serius.
Hingga saat ini, China belum menyetujui pemberian vaksin mRNA Pfizer atau Moderna kepada penduduknya. Otoritas kesehatan China lebih memilih menggunakan vaksin lokal yang dinilai organisasi kesehatan internasional kurang efektif, seperti Sinovac dan Sinopharm.
ADVERTISEMENT
Pada Senin (12/12), obat-obatan itu mulai diperjualbelikan secara online dengan harapan dapat mengurangi tekanan pada sistem medis — yang saat ini terbukti belum memadai untuk mengizinkan penduduk China mulai hidup berdampingan dengan virus corona.

Puncak Infeksi antara Januari dan Maret 2023

Cara pemerintah Beijing mengelola lonjakan kasus dan pelonggaran pembatasan COVID-19 ini pun menuai perhatian para ekonom. Salah satunya adalah kepala ekonom Goldman Sachs China, Hui Shan.
Hui beranggapan, pemulihan China dari pandemi COVID-19 akan bergantung pada seberapa baik pemerintah mengelola gelombang kasus penularan nasional ini yang diperkirakan akan mencapai puncaknya antara Januari dan Maret.
Warga antre untuk tes swab COVID-19 di tempat pengumpulan swab di Beijing, Selasa (31/5). Foto: Noel Celis / AFP
“Kombinasi meningkatnya kasus, beberapa daerah melonggarkan kebijakan, musim flu musim dingin, dan Tahun Baru Imlek yang akan datang ketika ratusan juta orang biasanya bepergian membuat sulit untuk memprediksi bagaimana kasus, pembatasan Covid, dan mobilitas dapat berkembang dalam beberapa bulan mendatang,” ungkap Hui.
ADVERTISEMENT
Menurut laporan terbaru, otoritas kesehatan setempat melaporkan hanya terdapat 1027 kasus pada Selasa (13/12) pekan ini — turun dari 3000 kasus pada Jumat pekan lalu. Meski mengalami penurunan drastis, namun kebenaran angka-angka itu dipertanyakan oleh para ahli kesehatan.
Hal ini dikarenakan pemerintah sudah tidak lagi memberlakukan kewajiban tes antigen harian massal kepada penduduk dan mereka yang terinfeksi corona dengan gejala ringan bisa tidak terdeteksi.
Sehingga, otoritas kesehatan China pun mengakui adanya kesulitan untuk melakukan tracing dan angka penularan sesungguhnya diyakini jauh lebih besar.