Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Inggris, AS, dan Prancis Tolak Kirim Dubes ke Penganugerahan Nobel
1 Desember 2017 5:49 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
ADVERTISEMENT
Tiga negara kekuatan nuklir dunia menolak untuk mengirimkan duta besar mereka ke acara penganugerahaan hadiah Nobel, 10 Desember mendatang.
ADVERTISEMENT
Seperti dilansir Reuters, Inggris, Amerika Serikat, dan Prancis sepakat untuk hanya akan mengirimkan diplomat kelas dua mereka ke malam penganugerahan Nobel yang akan digelar di Oslo, Norwegia. Aksi ini mereka lakukan sebagai bentuk protes dipilihnya International Campaign to Abolish Nuclear (ICAN) sebagai pemenang Nobel Perdamaian.
“Nobel Perdamaian tahun ini diberikan kepada ICAN untuk usahanya dalam membangun Resolusi PBB dalam Pelarangan Senjata Nuklir. Namun, penghargaan itu justru datang di saat bahaya penyebaran nuklir tengah tinggi-tingginya,” ucap Kedubes AS untuk Norwegia lewat keterangan tertulis, seperti dikutip dari Reuters, Jumat (1/12).
“Kesepakatan ini tidak akan membuat dunia lebih damai. Tidak akan juga mengurangi satu pun senjata nuklir yang ada. Kesepakatan ini juga tidak akan meningkatkan keamanan negara manapun,” sebut keterangan tersebut.
ADVERTISEMENT
Kedua belah pihak, baik ICAN maupun negara pemegang senjata nuklir, sama-sama bertujuan untuk menghindari penyebaran senjata nuklir. Mereka ingin agar senjata nuklir hanya dimiliki oleh beberapa negara saja, yaitu lima negara yang tergabung dalam nuclear-weapon states (NWS) di bawah kesepakatan Non-Proliferation of Nuclear Weapon (NPT).
Selain lima negara tersebut (AS, Inggris, Prancis, Rusia, dan China), tiga negara lain juga secara umum diketahui memiliki senjata nuklir, yaitu Pakistan, India, dan Korea Utara. Di antara ketiga negara ini, Korut sempat masuk ke dalam NPT, meski akhirnya keluar di tahun 2003.
“Kesepakatan ini mengabaikan tantangan keamanan terkini, yang membuat nuclear deterrence sangat penting. Kesepakatan ini justru mengabaikan usaha dunia untuk menghadapi penyebaran senjata nuklir,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Maksud nuclear deterrence (penangkalan senjata nuklir) di sini adalah, teori ketika kepemilikan senjata nuklir oleh satu pihak diperlukan untuk menangkal penggunaan senjata nuklir oleh pihak lain.
Kesuksesan teori nuclear deterrence tersebut tercipta lewat sebuah premis, di mana satu pihak yang menggunakan senjata nuklir sudah pasti akan dibalas oleh pengguna senjata nuklir lain. Dari saling balas senjata nuklir tersebut, terciptalah sebuah keadaan yang dinamakan mutually assured destruction (MAD), di mana ketimbang hancur setelah menggunakan senjata nuklir, pihak-pihak tersebut memilih untuk tidak menggunakannya sama sekali.
Dari konsep nuclear deterrence tersebut, tentu saja yang dipromosikan ICAN tidak disetujui oleh para pemegang senjata nuklir. Mereka akan beralasan, ketika NWS membuang senjata nuklirnya, siapa yang akan memberikan efek deterrence dan memastikan MAD tercapai, ketika ada negara seperti Korut yang tetap mengembangkan dan bahkan mengancam menggunakan senjata nuklirnya ke negara lain?
ICAN, yang diumumkan sebagai peraih Nobel Perdamaian 6 Oktober lalu, dipilih oleh Komite Nobel karena kerjanya dalam mempromosikan pelarangan akan penyebaran senjata pemusnah massal itu. ICAN juga dianggap punya andil besar dalam terbentuknya Resolusi PBB dalam Pelarangan Senjata Nuklir (U.N. Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons), yang telah diratifikasi 122 negara Juli 2017 lalu.
ADVERTISEMENT
Tentunya, resolusi tersebut tidak diratifikasi (dan maka dari itu tidak berlaku mengikat) untuk negara-negara yang telah memiliki senjata nuklir, seperti: AS, Inggris, Prancis, Rusia, China, India, Pakistan, dan Korea Utara.
Dipilihnya ICAN sebagai penerima Nobel Perdamaian menjadi sebuah kejutan tersendiri. Pasalnya, banyak nama-nama mentereng lain yang dirumorkan menjadi kandidat kuat penerima Nobel Perdamaian.
Nama-nama ini termasuk: Mohammad Javad Zarif (Menlu Iran) dan Federica Mogherini (Ketua Bidang Kebijakan Internasional Uni Eropa) untuk kesepakatan nuklir Iran 2015; Paus Fransiskus atas seruannya dalam isu kemiskinan, pengungsi, dan keadilan sosial; dann juga Raed Al Saleh dari White Helmets, organisasi yang membantu korban sipil pada perang di Suriah.
ICAN sendiri telah angkat bicara terhadap rencana tiga negara pemegang nuklir untuk tak datang di malam penganugerahan Nobel. Organisasi tersebut menuduh Inggris, Prancis, dan AS melakukan “boikot duta besar” untuk merusak kredibilitas baik yang selama ini telah dibangun ICAN dalam mempromosikan perdamaian.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, tak semua negara dengan senjata nuklir menolak menghadiri malam penganugerahan Nobel ini. Rusia dan Israel, misalnya, tetap berencana menghadiri acara tahunan tersebut.
“Duta besar berencana menghadiri acara ini,” ucap juru bicara Kedubes Rusia untuk Norwegia, Olga Kiriak.
Live Update