Ini Prasasti Pucangan yang Ingin Dibawa Pulang Fadli Zon dari India

10 Januari 2025 11:31 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
KUAI RI New Delhi pada April 2021 melihat Prasasti Pucangan yang disimpan di Museum India di Kolkata. Foto: KBRI New Delhi
zoom-in-whitePerbesar
KUAI RI New Delhi pada April 2021 melihat Prasasti Pucangan yang disimpan di Museum India di Kolkata. Foto: KBRI New Delhi
ADVERTISEMENT
Menteri Kebudayaan Fadli Zon berambisi membawa pulang (repatriasi) Prasasti Pucangan dari India. Dia berharap kunjungan Presiden Prabowo ke India dalam rangka menghadiri Hari Jadi Republik India (Republic Day) pada 26 Januari 2025 akan mempermulus jalannya.
ADVERTISEMENT
“Kita berharap nanti kunjungan Presiden ke India juga menyampaikan antara lain tentang pengembalian Prasasti Pucangan yang merupakan prasasti penting bagi kita karena di situ ada silsilah tentang Raja Airlangga,” kata Fadli Zon, Rabu (8/1).
Airlangga memerintah Kerajaan Kahuripan di Jawa Timur sekitar tahun 1009 hingga 1042 Masehi. Dia dikenal sebagai raja yang berwibawa dan cakap dan banyak melakukan pembangunan di banyak sektor.

Upaya Memulangkan Prasasti Pucangan

Prasasti Pucangan sendiri sudah coba dipulangkan pada masa pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.
Pada masa pandemi tahun 2021, diplomat Indonesia di New Delhi telah mengunjungi Museum India di Kolkata untuk menjenguk prasasti itu.
KUAI RI New Delhi pada April 2021 melakukan pertemuan dengan Direktur dan pejabat National Museum di Kolkata guna membicarakan peluang kerja sama antar museum dan mengunjungi Prasasti Pucangan yang telah dibawa ke India pada tahun 1813. Foto: KBRI New Delhi
“KUAI RI New Delhi melakukan pertemuan dengan Direktur dan pejabat National Museum di Kolkata guna membicarakan peluang kerja sama antarmuseum dan mengunjungi Prasasti Pucangan yang telah dibawa ke India pada tahun 1813 dan saat ini disimpan di Indian National Museum Kolkata,” ungkap KBRI New Delhi pada April 2021.
ADVERTISEMENT
Pada 2022, giliran Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid yang bertandang menjenguk prasasti itu.
Hilmar menjelaskan, Prasasti Pucangan memuat informasi tentang silsilah Raja Airlangga dan beberapa peristiwa dalam perjalanannya sebagai raja. Prasasti ini dibawa oleh Inggris untuk menjadi koleksi Royal Asiatic Society, yang sekarang menjadi Indian Museum, di Kolkata.
“Untuk waktu cukup lama teronggok di gudang dan kurang mendapat perhatian. Pagi ini saya akan bertemu Kementerian Kebudayaan India untuk membicarakan kemungkinan membawanya ke Indonesia. Semoga saja,” kata Hilmar dalam postingan bertanggal 2 September 2022.
Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid di dekat Prasasti Pucangan di Museum India di Kolkata, September 2022 Foto: Instagram/@hilmarfarid
Hilmar meyakini prasasti yang sebagian tulisannya tidak terbaca lagi itu merupakan artefak asli. “Memang prasasti asli yang ditemukan Inggris 200 tahun lalu kemudian dibawa ke India,” kata sejarawan lulusan UI ini.
ADVERTISEMENT
Usaha Hilmar memulangkan Pucangan belum berhasil hingga presiden berganti dan sekarang dilanjutkan oleh Fadli Zon—politikus Gerindra yang juga pecinta sejarah.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon (kiri) berbincang bersama Wamen Kebudayaan Giring Ganesha (tengah) dan keluarga pelukis Hardi, Jibril (kanan) saat menyaksikan pameran Jejak Perlawanan Sang Presiden 2001 di Galeri Nasional, Jakarta, Kamis (9/1/2025). Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO

Prasasti Dibawa ke India Era Raffles

Prasasti Pucangan ditemukan pada masa Thomas Stamford Raffles menjadi Letnan Gubernur kolonial Inggris di Batavia.
Pada tahun 1812, Raffles menyerahkan prasasti tersebut kepada atasannya, Lord Minto, yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris di India.
Prasasti itu lalu disimpan dalam koleksi rumah keluarga Minto di Kolkata, India. Ketika keluarga Minto kembali ke Skotlandia, prasasti tersebut tidak dibawa bersama mereka, tetapi tetap disimpan di museum di Kolkata.
Prasasti itu disebut Pucangan, mengambil kata Pucangan yang tertera di prasasti. Sedangkan di India, namanya dikenal sebagai Kolkata/Calcutta Stone.
ADVERTISEMENT
Prasasti itu ditemukan Kolonel Colin Mackenzie (1754-1821), kepala perwira insinyur pasukan Inggris-India di Jawa (1811-1813). Diduga dia menemukan saat bertamasya ke wilayah yang sekarang disebut Mojokerto/Jombang pada bulan Maret 1812, dan mengirimkannya ke Surabaya melalui sungai Kali Mas.
Sebagian isi Prasasti Pucangan yang disimpan di Museum India di Kolkata. Foto: Dok KBRI New Delhi

Satu-satunya Sumber tentang Raja Airlangga

ADVERTISEMENT
Mengutip International Institute for Asian Studies (IIAS), Prasasti Pucangan merupakan satu-satunya sumber dokumenter yang diketahui yang menyediakan catatan kronologis tentang pencapaian Raja Airlangga dan silsilah yang jelas yang mencakup empat generasi sebelumnya.
Prasasti Pucangan memiliki dua sisi, sisi satu ditulis dalam bahasa Sansekerta dan sisi lainnya bahasa Jawa Kuno.
Prasasti tersebut menggambarkan kehancuran kerajaan yang diperintah oleh pendahulu Airlangga, Dharmawangsa (meninggal tahun 1016). Lalu Pangeran Airlangga yang kala itu berusia 16 tahun mengundurkan diri ke hutan belantara untuk menjalani masa pertapaan yang berat.
Deskripsi Prasasti Pucangan dipresentasikan oleh Ketua Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia (PAEI) Ninny Susanti Tejowasono saat diskusi Repatriasi Prasasti Pucangan dari India, Rabu (14/9/2022). Foto: Youtube/Rerie Lestari Moerdijat
Deskripsi Prasasti Pucangan dipresentasikan oleh Ketua Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia (PAEI) Ninny Susanti Tejowasono saat diskusi Repatriasi Prasasti Pucangan dari India, Rabu (14/9/2022). Foto: Youtube/Rerie Lestari Moerdijat
Kemudian diikuti dengan pentahbisan Airlangga sebagai raja dan perjuangan selama tujuh tahun untuk menyatukan kembali tanah Jawa.
ADVERTISEMENT
"Namun ironisnya, benda berharga warisan budaya Indonesia ini tidak mudah diakses oleh mereka yang menganggapnya sangat berharga karena saat ini disimpan di Museum India Kolkata. Karena alasan itu, benda ini dikenal sebagai 'Batu Kolkata [Kalkuta]'; sebuah benda yang hanya dikenal oleh anak-anak sekolah Indonesia dari namanya saja," kata IIAS yang juga mendorong pengembalian artefak itu ke Indonesia.