Investigasi Ombudsman DIY soal Kasus Jilbab SMAN di Bantul: Ada Paksaan

12 Agustus 2022 20:26 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kepala Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan DIY (ORI DIY) Budhi Masturi usai meminta penjelasan 2 guru BK SMAN 1 Banguntapan soal dugaan pemaksaan jilbab pada seorang siswi baru. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kepala Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan DIY (ORI DIY) Budhi Masturi usai meminta penjelasan 2 guru BK SMAN 1 Banguntapan soal dugaan pemaksaan jilbab pada seorang siswi baru. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta (ORI DIY) akhirnya menyampaikan hasil investigasi dugaan pemaksaan jilbab oleh guru kepada seorang siswi baru di SMA Negeri 1 Banguntapan, Bantul.
ADVERTISEMENT
ORI DIY menyimpulkan pemakaian jilbab kepada siswi tersebut merupakan kekerasan terhadap anak karena mengandung unsur paksaan dan perundungan.
"Pemakaian jilbab kepada (menyebut inisial siswi) dan tindakan lainnya di sekolah yang menyebabkan dirinya (siswi) mengalami atau terjadi reaksi yang menggambarkan menurunnya kondisi fisik dan psikis dan runtuhnya harga diri adalah merupakan kekerasan terhadap anak, karena mengandung unsur paksaan dan perundungan," kata Kepala ORI Perwakilan DIY Budhi Masturi di kantornya, Jumat (12/8).
Kesimpulan ini dikeluarkan setelah dari hasil investigasi, ORI DIY berpendapat bahwa tindakan koordinator guru BK memakaikan jilbab kepada siswi di ruang BK yang disaksikan dan dibantu oleh guru BK kelas 10 IPS 3 dan Wali Kelas 10 IPS 3 pada 20 Juli 2022 adalah bentuk pemaksaan.
ADVERTISEMENT
"Bahkan karena hal tersebut menjadi faktor penting di samping faktor-faktor lainnya, seperti pertanyaan terkait jilbab yang terjadi berkali-kali sesuai penjelasan guru BK seperti sebagainya dan ada di-skrinsut dan sebagainya jadi pemakaian itu menyebabkan runtuhnya harga diri siswi. Dan secara psikologis telah memenuhi kategori sebagai tindakan perundungan," kata Budhi.
Karangan bunga berisi dukungan dari alumni berdatangan ke SMA N 1 Banguntapan, Senin (8/8/2022). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan

Asesmen Psikolog

Pemaksaan dan perundungan terhadap siswi tersebut dijelaskan Budhi terkonfirmasi dari hasil asesmen psikolog KPAID Kota Yogyakarta. Psikolog berkesimpulan ditemukan unsur pemaksaan ditandai dengan reaksi tubuh siswi itu baik fisik maupun psikis.
"Penyebab utama dari reaksi fisik dan psikis yang dialami oleh siswi tersebut adalah kejadian-kejadian selama di sekolah bukan di rumah. Jadi ini nggak terkait langsung dengan persoalan keluarga. Ada konsistensi hasil asesmen psikolog," ujar dia.
ADVERTISEMENT
Kejadian yang dialami siswi tersebut di sekolah di antaranya menjelaskan tentang relasi kuasa guru kepada murid. Hal ini pula dapat dilihat dari rekaman video CCTV saat kejadian pemakaian jilbab yang disebut Budhi menggambarkan ketidakberdayaan siswi.
"Dari rekaman video CCTV yang menggambarkan ketidakberdayaan si anak akibat relasi kuasa ketika siswi dipakaikan jilbab. Walaupun ia mengatakan iya dan mengangguk, menurut penjelasan kepala sekolah dan guru, namun selanjutnya hanya terdiam. Terlihat agak menunduk dengan ekspresi wajah yang datar. Suara yang lirih," katanya.
Suasana SMA Negeri 1 Banguntapan, Kabupaten Bantul, Senin (1/8/2022). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan

Rekaman CCTV: Siswi Menangis

Dari rekaman CCTV ini pula ORI DIY mendapati fakta bahwa siswi tersebut menangis. Hal ini tampak dari saat si siswi menerima tisu dan menyeka air matanya.
"Menyeka air mata dengan tisu yang diberikan tersebut. Jadi menangis, ternyata hal yang tidak belum ditemukan selama ini. Jadi anak itu ketika dipakaikan kerudung menangis," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Budhi mengatakan kondisi runtuhnya harga diri inilah menentukan adanya perundungan. Tim psikolog mencatat adanya pelemahan dan penurunan di 4 wilayah psikis emosi pada siswi tersebut.
"Yaitu rejection atau penolakan dari guru dan sekolah pada umumnya yang terekam dari wujud kata-kata yang negatif dan persepsi kejam (oleh siswi). Anger atau marah di mana marah atas perlakuan yang bertubi-tubi diterimanya sehingga yang bersangkutan marah kepada pihak BK dan guru wali kelasnya," katanya.
Kemudian siswi itu merasakan adanya tekanan yang ekstrem sehingga kehilangan kemampuan untuk membela diri, hal ini disebut Budhi terjadi saat pemaksaan pemakaian jilbab.
ADVERTISEMENT
Lalu, siswi itu juga merasa tidak tenang atau ketakutan pada masa depan pada waktu di mana setelah peristiwa tersebut. Seperti apa yang akan terjadi pada sekolahnya dan kelanjutan pendidikannya.
"Ini 4 area emosi yang kemudian asesmen oleh psikolog menunjukkan gejala akibat ekses dari paksaan," katanya.
Lanjut Budhi, dampak fisik dan psikis yang ditemukan sebagai reaksi atas adanya pemaksaan dan perundungan hampir sama dengan dampak yang ditimbulkan dalam definisi tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan.
Hal ini diatur dalam Pasal 1 dan Pasal 6 Permendikbud 82 tahun 2015 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Lingkungan Pendidikan.
"Permendikbud ini mendefinisikan tindak kekerasan di lingkungan pendidikan sebagai tindakan yang dilakukan baik secara fisik maupun psikis serta mengakibatkan ketakutan dan trauma," ujarnya.
Karangan bunga berisi dukungan dari alumni berdatangan ke SMA N 1 Banguntapan, Senin (8/8/2022). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
"Selain itu Permendikbud ini juga mengatur jenis kekerasan lainnya berbasis SARA suku, ras, antar golongan yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan perolehan atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam satu kesetaraan," katanya.
ADVERTISEMENT

Tindakan Kekerasan pada Anak

Budhi menjelaskan tindakan kepada siswi tersebut di sekolah merupakan tindakan kekerasan terhadap anak sesuai dengan Pasal 1 Undang-Undang 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang mengkategorikan pemaksaan sebagai salah satu bentuk dari kekerasan terhadap anak.
"Jadi yang mendefinisikan kekerasan sebagai setiap perbuatan terhadap anak mengakibatkan timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik dan psikis jadi Undang-undang itu mendefinisikan kalau anak sampai seperti itu masuk kategori pemaksaan sementara pemaksaan itu adalah salah saat jenis dari kekerasan terhadap anak," kata Budhi.
"Sejalan dengan itu Peraturan Pemerintah 78 Tahun 2021 tentang perlindungan khusus terhadap anak, anak korban kekerasan psikis didefinisikan sebagai anak yang mengalami ketakutan, hilang rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan atau penderitaan psikis berat. Sesuai PP ini masih identik," katanya.
ADVERTISEMENT
Kekerasan psikis yang patut diduga selama Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS), menurut Budhi menjadi rangkaian tidak terpisahkan dari kejadian pemakaian jilbab dan juga insiden siswi tersebut mengurung diri di sekolah. Ini tidak lepas merupakan tanggung jawab Kepala SMA N 1 Banguntapan Bantul.
"Sebab menurut pasal 38 Perda Tahun 2016 kepala sekolah bertanggung jawab atas perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kegiatan pengenalan lingkungan sekolah bagi siswa baru," ujar dia.
Bahkan, menurut Budhi sebenarnya sesuai undang-undang, pihak-pihak yang melakukan, turut serta melakukan dan membiarkan tindakan kekerasan terhadap anak, juga bisa dikenakan sanksi pidana.

Saran Korektif pada Kepala Disdikpora

Kepala Disdikpora DIY Didik Wardaya. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Dari hasil investigasi ini, ORI DIY kemudian memberikan sejumlah Saran tindakan korektif kepada Kepala Disdikpora, yaitu:
ADVERTISEMENT
1. Kepala Dinas Disdikpora DIY harus membangun komunikasi dengan Kemendikbudristek untuk mencermati dan mempertimbangkan dilakukannya review terhadap instrumen akreditasi Tahun 2022 dan Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014.
2. Menginisiasi peraturan tingkat daerah yang mengatur tentang tata tertib dan seragam sekolah dengan memperhatikan nilai-nilai kebinekaan dan hak asasi manusia.
3. Memberikan sanksi dan pembinaan kepada terlapor 1 dalam hal ini Kepala SMA N 1 Banguntapan dengan memperhatikan tingkat dan luasan dampak yang timbulkan selama permasalahan ini mengemuka akibat kebijakan yang dibuatnya.
4. Memberikan sanksi dan pembinaan kepada terlapor 2, 3, dan 4 (3 guru terlibat) sesuai peran dan perbuatannya masing-masing dengan memperhatikan tingkat dan keluasan dampak yang ditimbulkan selama permasalahan ini mengemuka akibat perbuatan tersebut sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
ADVERTISEMENT
5. Melakukan review terhadap tata tertib seluruh SMA Negeri dan SMK Negeri di diy untuk memastikan keselarasannya dengan peraturan yang lebih tinggi dengan juga tetap memperhatikan nilai-nilai kebinekaan dan hak asasi manusia.
6. Melakukan pengembangan dan kapasitas serta keahlian kepada kepala sekolah guru agama guru kelas, guru BK, dan tenaga kependidikan terhadap seluruh SMA Negeri dan SMK Negeri di DIY tentang moderasi dan literasi beragama dalam pelayanan di bidang pendidikan antara lain dengan menyelenggarakan diklat, bimtek dan bentuk capacity building lainnya secara berkesinambungan.
7. Membuat kebijakan pembagian kelas yang berperspektif kebinekaan dengan memastikan setiap rombel (rombongan belajar) diisi siswa dari beragam latar belakang suku agama dan keyakinan.
"Kami menemukan siswa non-Muslim di-pool (dikumpulkan) di satu kelas. Penting karena kalau di-pool siswa jadi homogen dalam kasus ini (SMA N 1 Banguntapan) kan mereka di-pool di IPS1. IPS 2 dan 3 semuanya Muslim," kata Budhi.
ADVERTISEMENT
8. Melakukan pendampingan dan perlindungan terhadap korban baik sendiri maupun bekerja sama dengan instansi lainnya untuk memulihkan kondisinya dan memastikan serta menjamin keberlanjutan pendidikannya.
"Jadi dinas pendidikan melaporkan kepada kita, kita tunggu maksimal 30 hari. Tentang langkah-langkah yang dilakukan. Kalau ternyata tidak dijalankan tentu akan meneruskannya ke kantor pusat untuk diusulkan jadi rekomendasi," tutup Budhi.