Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) meminta Presiden Jokowi turun tangan dalam melindungi Anak Buah Kapal (ABK) ikan asing. Sepanjang Januari-Juni 2020, banyak ABK WNI yang menjadi korban perbudakan modern kapal berbendera China, bahkan menimbulkan korban jiwa.
ADVERTISEMENT
"Penguatan political will negara, dan saya makin yakin, untuk memastikan tata kelola perlindungan ABK kapal ikan asing, Presiden Jokowi harus turun tangan, berikan perintah dalam waktu 1 tahun sudah selesai, tidak terjadi lagi, political will negara harus dimulai dari presiden sendiri," ujar Chief Executive Officer IOJI, Mas Achmad Santosa, dalam dalam Webinar kerja sama kumparan, IOJI dan BP2MI bertajuk Pencarian Keadilan Korban Perdagangan Orang ABK di Kapal Ikan Asing, Selasa (28/7).
Ota --sapaan Achmad-- menyebut, tak hanya ke pelaku fisik, penegakan hukum juga harus diberikan kepada korporasi yang mengendalikan pelanggaran HAM ini. Mengusut Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) tidak bisa sekadar mengandalkan multi-institusi, melainkan harus kerja sama internasional.
"Memang diperlukan kerja sama internasional yang kuat, mungkin yang paling penting sekarang bagaimana mendesak kehendak politik good faith dari tiongkok ikut menyelesaikan masalah ini," tutur Ota.
ADVERTISEMENT
"Kita sudah tanda tangan perjanjian bantuan hukum timbal balik antara Indonesia-China, kita sudah tandatangani perjanjian ekstradisi Indonesia dan China. Kita sudah tandatangani rencana aksi implementasi kemitraan strategis komprehensif yang menyangkut penanganan TPPO," imbuhnya.
IOJI mengingatkan hukum pidana yang tertera dalam Pasal 4 TPPO. Dalam pasal itu, disebutkan bahwa setiap orang yang membawa WNI ke luar Indonesia untuk dieksploitasi akan dipenjara minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun penjara hingga denda mencapai Rp 600 juta.
"Modusnya bukan hanya mereka tidak sabar, tidak siap jalankan pekerjaan, tapi memang sudah menjadi behavior kapal ikan tiongkok untuk slavery, atau penyiksaan," tutur Ota.
"Pasal 4 dapat menetapkan tersangka yang ada di China. Indonesia bisa memohon ekstradisi berdasarkan perjanjian pasal kriminal Indonesia, baik korporasi maupun individual mengaitkan Pasal 4 dan pasal 10, terbuka kemungkinan ini, tidak hanya pelaku fisik, tapi korporasi, mastermind-nya tidak hanya di Indonesia, tapi di China," ungkap Ota.
ADVERTISEMENT
IOJI meminta aturan yang termuat dalam UU Perlindungan Pekerja Migran diterapkan. Misalnya, dalam Pasal 31, disebutkan bahwa pekerja migran hanya diizinkan bekerja ke negara yang mempunyai peraturan perlindungan dan jaminan sosial TKA.
"Kalau ini dilaksanakan , ke depan, kita tidak akan lagi lihat korban dari Januari dan juni, misalnya PMI ini hanya dapat bekerja ke negara tujuan penempatan apabila negara tersebut memiliki peraturan UU yang melindungi TKA. Kedua, telah punya perjanjian tertulis G to G. Ketiga, punya sistem jaminan sosial atau asuransi untuk melindungi pekerja asing," kata Ota.
"Kalau 3 itu tidak ada, kita tidak bisa kirimkan PMI ke negara-negara yang tidak punya syarat itu," pungkasnya.
Pelanggaran HAM awak kapal China terhadap ABK WNI
ADVERTISEMENT
Sebanyak 22 ABK WNI menjadi korban perbudakan modern di Kapal Long Xing 629. Bahkan 3 di antaranya meninggal dunia akibat penganiayaan, kerja paksa, hingga penyakit YANG membuat tubuh mereka membengkak. Jenazah dilarung ke laut tanpa persetujuan ABK WNI lainnya.
Kasus lainnya, salah satu ABK WNI Kapal China Lu Huang Yuan Yu 118 meninggal dunia akibat hantaman benda tumpul. Ia bahkan tidak diberi makan selama tiga hari.
Ada pula kasus 2 ABK WNI yang terpaksa berenang tujuh jam di lautan karena melarikan diri dari Kapal Lu Qing Yuan Yu. Mereka kabur karena tak tahan mendapat perlakukan semena-mena dari kapten kapal.
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona
***
ADVERTISEMENT
Saksikan video menarik di bawah ini:
Live Update