Aksi Para Pekerja Rumah Tangga

Ironi Nasib RUU bagi Kaum Rentan: Puluhan Tahun Digantung Anggota Dewan

3 Maret 2025 19:09 WIB
·
waktu baca 11 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dua puluh empat tahun silam, seorang pekerja rumah tangga yang masih berusia anak, Sunarsih yang berusia 14 tahun, tewas karena eksploitasi dan penyiksaan oleh majikannya di Surabaya, Jawa Timur. Sunarsih bersama empat rekannya sesama PRT tak mendapat upah, kerja lebih dari 18 jam, diberi makanan sisa, hingga dipaksa tidur di lantai jemuran.
Kisah getir Sunarsih yang tewas pada 12 Februari 2001 menjadi momentum lahirnya hari Pekerja Rumah Tangga (PRT) Nasional tiap 15 Februari. Peringatan yang diinisiasi Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) itu digelar pertama kali pada 2007.
Meski tragedi Sunarsih sudah puluhan tahun berlalu, kasus-kasus penganiayaan PRT masih langgeng hingga kini. Hanya beberapa hari sebelum peringatan hari PRT ke-18, kasus penganiayaan terhadap tiga PRT di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara, terungkap pada Senin (10/2). Ketiga PRT itu kerap dipukul dan ditendang oleh kedua majikannya, AM dan AP, karena urusan sepele.
“Contohnya pelaku ingin korban cekatan bersih-bersih, tapi pada pelaksanaan tidak, sehingga mereka (majikan) emosi dan menganiaya ART,” ujar Kepala Unit PPA Satreskrim Polres Metro Jakarta Utara AKP Gerhard Sijabat.
Ilustrasi kekerasan. Foto: Marmalade Photos/Shutterstock
Kasus itu terdeteksi setelah salah seorang PRT kabur. Ia lalu meminta pertolongan tetangga dan melaporkan majikannya ke polisi. Si majikan yang pasangan suami istri pun telah ditetapkan sebagai tersangka. Pasutri itu dijerat Pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman lima tahun penjara.
Jumisih, anggota JALA PRT, menyatakan insiden di Kelapa Gading merupakan salah satu contoh dari ribuan kasus kekerasan fisik hingga ekonomi terhadap PRT. Organisasinya mencatat, sejak 2021 sampai 2024, terdapat 3.000 kekerasan yang menimpa PRT.
“Kelapa Gading adalah suatu daerah yang cukup elite; di sana biasanya teman-teman PRT bekerja. [Mereka] mempertaruhkan kehidupannya di balik rumah-rumah yang bagus, megah; cuma tidak berarti PRT-nya juga sejahtera,” ujar Jumisih kepada kumparan, Jumat (28/2).
Ilustrasi PRT menyetrika baju. Foto: Nadia K. Putri
Menurut Jumisih, kasus-kasus kekerasan terhadap PRT sedianya bisa diminimalisasi jika Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT disahkan.
JALA PRT bersama kelompok masyarakat sipil lain telah berkali-kali menggelar aksi untuk mendesak DPR segera mengesahkan RUU PPRT, seperti mogok makan pada Agustus 2023 sampa long march pada peringatan hari PRT di Jakarta pada 15 Februari.
Namun, RUU PPRT sebagai payung hukum yang didambakan para PRT hingga kini masih terkatung-katung di DPR. Berbanding terbalik dengan revisi UU BUMN dan UU Minerba yang begitu mulus dan cepat walau banyak penolakan dari publik.
Aksi dukung RUU PPRT di depan Gedung DPR RI, Rabu, (18/9/2024). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan

RUU PPRT: Dua Dekade Terkatung-katung

Kasus kematian Sunarsih menjadi tonggak penyusunan aturan yang melindungi PRT sebagai kelompok rentan. Tiga tahun setelah kasus Sunarsih, RUU PPRT diajukan ke DPR dan langsung masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2004-2009.
Jumisih menyatakan poin inti dari RUU PPRT adalah menciptakan hubungan yang setara antara PRT dan pemberi kerja melalui perjanjian kerja tertulis. Perjanjian itu mengakomodir kepentingan kedua belah pihak, khususnya hak dan kewajiban masing-masing.
“Perjanjian kerja mengatur pengupahannya seperti apa, jam kerjanya, jaminan sosialnya, jenis pekerjaannya, karena nggak mungkin semua pekerjaan rumah tangga dilakukan oleh satu PRT,” kata Jumisih.
Penerapan perjanjian kerja tertulis itu diperlukan untuk menghindari eksploitasi terhadap PRT. Sebab jika perjanjian kerja hanya sebatas lisan, PRT kerap berada di posisi rentan. Jumisih menyebut mayoritas PRT yang mengadu ke organisasinya mengeluhkan soal upah yang rendah.
Pekerja rumah tangga (PRT) menggelar aksi Tenda Perempuan di depan gedung DPR, Selasa, (14/3). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
JALA PRT mencatat pendapatan rata-rata PRT hanya sekitar 20%-30% dari upah minimum regional (UMR). Selain itu dari survei terhadap 4.296 PRT di enam kota pada 2019 ternyata 89% PRT tidak mendapatkan jaminan kesehatan dan 99% tidak memiliki jaminan sosial ketenagakerjaan.
“Rata-rata PRT sulit melakukan negosiasi [upah] dengan pemberi kerja, karena PRT masih dianggap bukan pekerjaan yang penting. Padahal itu pekerjaan yang penting. Tanpa kerja-kerja PRT, pemberi kerja tidak akan lancar melakukan aktivitasnya, baik aktivitas bisnis, aktivitas korporasi, perkantoran, dll,” ucapnya.
Sedianya perjuangan JALA PRT mendorong pengesahan RUU PPRT sempat mendapat angin segar pada Maret 2023. Saat itu RUU PPRT ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR dalam rapat paripurna yang dipimpin Ketua DPR Puan Maharani.
Puan yang notabene seorang perempuan diharapkan bisa mempercepat pengesahan RUU ini. Asa itu tak lain karena dari total 5 juta PRT di Indonesia, mayoritas atau sekitar 92% di antaranya adalah perempuan. Nyatanya, harapan itu jauh panggang dari api.
Massa dari Koalisi Sipil untuk Undang-Undang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT) membentangkan spanduk surat terbuka untuk Ketua DPR RI Puan Maharani saat unjuk rasa di depan Gedung DPR RI pada Kamis (15/8/2024). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Saat rapat paripurna terakhir DPR periode 2019-2024 pada 30 September 2024, JALA PRT berharap Puan menyatakan bahwa RUU PPRT bersifat carry over. Melalui status tersebut, pembahasan RUU PPRT oleh DPR periode 2024-2029 tidak dimulai dari awal alias melanjutkan pembahasan yang terakhir kali. Namun saat rapat, Puan hanya sebatas menyebut RUU PPRT masuk dalam Prolegnas 2024-2029.
“Karena tidak ada pernyataan dari Bu Puan bahwa RUU PPRT carry over, maka sekarang [nasibnya] terkatung-katung. Kemungkinan besar akan memulai dari nol, menunggu lagi surpres (surat presiden) dan DIM (Daftar Inventarisasi Masalah)” kata Jumisih.
Jumisih berharap RUU PPRT di DPR periode ini bisa dibahas di Komisi XIII yang membidangi HAM agar prosesnya cepat. Namun sejauh ini belum ada respons.
Para Pekerja Rumah Tangga (PRT) bersama jaringan Koalisi Sipil untuk UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT) menggelar aksi di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu, (18/9/2024). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Adapun rapat resmi terakhir terkait RUU PPRT, kata Jumisih, yakni bersama Badan Legislatif (Baleg) pada 11 November 2024. Dalam rapat itu Baleg hanya menjawab normatif akan mengakomodir RUU PPRT yang sejauh ini sudah masuk daftar Prolegnas Prioritas 2025.
Jumisih berpandangan 21 tahun RUU PPRT tak kunjung disahkan DPR menjadi bukti lemahnya keberpihakan anggota dewan terhadap kelompok rentan. Di samping itu ia menduga anggota DPR terlibat konflik kepentingan apabila RUU PPRT disahkan, sebab posisi mereka sebagai pemberi kerja bagi PRT.
“Perhatian anggota dewan terhadap RUU PPRT lemah sekali, nyaris tidak ada. Terbukti sudah 21 tahun masih mangkrak dan belum ada pembahasan,” kata Jumisih.
Sejumlah elemen masyarakat menggelar unjuk rasa di sekitar Patung Kuda, Jakarta Pusat, Jumat (11/10/2024). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan

RUU Masyarakat Adat: Belasan Tahun Menanti Kepastian

Rendahnya keberpihakan DPR terhadap kaum rentan juga nampak dalam proses legislasi RUU Masyarakat Adat. Sejak pertama kali diajukan ke DPR pada 2009, hingga kini RUU Masyarakat Adat tak kunjung ada kepastian.
“Kalau mau dikalkulasi dari sisi waktu 2009 sampai 2025, sekitar 15 tahun lebih RUU ini diadvokasikan. Sejak 2012 selalu masuk dalam Prolegnas DPR tapi di masa akhir pembahasan suatu rezim pemerintahan selalu gagal ditetapkan,” kata Muhammad Arman, Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
Sejauh ini, RUU Masyarakat telah masuk Prolegnas 2024-2029 dan Prolegnas Prioritas 2025. Namun menurut Arman RUU tersebut sampai saat ini belum dibahas di Baleg.
Ia menduga usia RUU Masyarakat Adat bakal panjang sebab kini Baleg baru memprioritaskan pembahasan 3 RUU lain yakni RUU Koperasi, RUU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dan RUU Statistik.
Penasihat Dewan Persekutuan Masyarakat Adat (DPMA) Knasaimos Agustinus Woloin berpose di depan rumahnya di Kampung Sira, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Daya. Foto: ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
Arman menyatakan RUU ini penting sebagai pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat. Sebab dalam keseharian, masyarakat adat kerap berhadapan dengan proyek pembangunan dan investasi.
AMAN mencatat sepanjang tahun 2024 terdapat 121 kasus yang telah merampas 2,8 juta hektare wilayah adat di 140 komunitas masyarakat adat. Mayoritas kasus itu terkait proyek konsesi perkebunan dan tambang.
Jika ditarik lebih jauh selama 10 tahun terakhir, AMAN menyebut terdapat 687 konflik agraria di wilayah adat seluas 11,07 juta hektare. Akibatnya sekitar 925 warga masyarakat adat menjadi korban kriminalisasi dengan 60 orang di antaranya mendapatkan tindakan kekerasan dari aparat dan 1 orang meninggal dunia.
Situasi bertambah runyam karena selama beberapa tahun terakhir masyarakat adat seakan ‘dihadapkan’ dengan negara melalui rezim Proyek Strategis Nasional (PSN).
Aktivis lingkungan Walhi mendampingi warga Rempang, Kepulauan Riau, melakukan aksi unjuk rasa di depan kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (14/8/2024). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Arman menyebut rezim PSN bebgitu mengancam tempat tinggal mereka. Ia mencontohkan seperti proyek geothermal di Poco Leok NTT, Rempang Eco City di Batam, food estate di Merauke, hingga Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur.
“Ini proyek-proyek PSN yang kita tidak pernah tahu apakah proyek ini mempertimbangkan HAM dan dimaksudkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Karena ukurannya bagi kami sederhana kalau mau melihat bagaimana proyek bisa berkontribusi bagi kemakmuran rakyat. [Indikasinya] ya lihat dulu masyarakat yang terdampak langsung di sekitar lokasi [proyek] tersebut,” ucap Arman.
Arman menduga tak kunjung disahkannya RUU itu lantaran pemerintah maupun DPR memandang keberadaan masyarakat adat bisa menghambat pembangunan. Padahal menurut studi valuasi ekonomi yang digelar AMAN bersama peneliti dari IPB, UI, dan Unpad pada 2018 menunjukkan hal sebaliknya.
Studi itu menemukan 3 kesimpulan. Pertama jika masyarakat adat diakui, dilindungi, dan dipenuhi haknya justru bakal menciptakan kemandirian ekonomi bagi masyarakat adat dengan pendapatan di atas UMR setempat. Kedua, keberadaan masyarakat adat bisa berkontribusi signifikan bagi pembangunan, serta bisa memicu geliat pertumbuhan ekonomi maupun lapangan pekerjaan.
Massa yang tergabung dari Komite Pembaruan Agraria Nasional (KNPA), organisasi petani, nelayan, buruh, masyarakat adat, mahasiswa, hingga aktivis menggelar aksi unjuk rasa di Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa (26/9/2023). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
“Selama ini pemerintah berdalih satu-satunya cara membuka lapangan pekerjaan dengan membangun investasi yang besar. Padahal masyarakat adat punya pekerjaan yang sejak dulu ada, pekerjaan tradisional seperti petani, peladang, nelayan, dsb. Tapi bagaimana caranya mereka tetap eksis kalau tanahnya diambil untuk kepentingan korporasi, lautnya diklaim sebagai zona tertentu,” ucap Arman.
Temuan terakhir di studi itu, lanjut Arman, menunjukkan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat justru menjadi jaminan kepastian hukum bagi masyarakat adat dan investasi. Jika tidak mendapat kepastian hukum dari masyarakat adat, justru investasi yang masuk berpotensi menimbulkan konflik yang biayanya bisa mencapai 20% dari nilai investasi dan dinikmati oknum-oknum aparat.
“Mengapa ada banyak konflik terjadi karena justru wilayah-wilayah adat yang menjadi tempat korporasi dibangun itu tidak clear and clean. Oke dapat legalitas dari negara berupa izin atau HGU, tapi tidak dapat legitimasi dari masyarakat adatnya, makanya kemudian konflik,” ucap Arman.
Ilustrasi gedung DPR RI. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan

Beda Perlakuan RUU bagi Kaum Rentan vs Elite

Proses legislasi selama bertahun-tahun yang dialami dua RUU tersebut tentu berbeda jika dibandingkan dengan revisi UU BUMN maupun UU Minerba yang begitu kilat.
Pengesahan revisi UU BUMN yang ditujukan bagi pembentukan Danantara hanya membutuhkan 6 kali rapat dalam waktu kurang dari 2 pekan. Dimulai dari rapat tertutup di Komisi VI DPR pada 23 Januari hingga pengesahan di rapat paripurna pada 4 Februari. Padahal RUU BUMN tidak masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025 dan bukan RUU carry over, namun langsung masuk pembahasan.
Sedangkan revisi RUU Minerba disahkan tak sampai 2 bulan sejak pertama kali dibahas di Baleg pada 20 Januari. Uniknya pembahasan DIM RUU Minerba digelar pada 12-15 Januari yang masih masuk masa reses DPR.
Pembahasan RUU Minerba yang terburu-buru itu bahkan diprotes anggota Komisi X DPR F-PDIP Putra Nababan. Ia mengaku baru mendapatkan naskah akademik RUU Minerba sekitar 30 menit sebelum rapat pleno Baleg pada Senin (20/1) pukul 10.30 WIB.
Ilustrasi Tambang di Indonesia Foto: Masmikha/Shutterstock
"Saya menjadi salah satu orang yang mempertanyakan soal naskah akademik. Kayaknya kok nggak mungkin kita bikin UU tanpa membaca naskah akademik lalu dikirim 30 menit sebelumnya, panjangnya 78 halaman," ujar Putra dalam Rapat Pleno Baleg DPR, (20/1).
RUU itu pada akhirnya disahkan di rapat paripurna pada 18 Februari. Salah satu tujuan revisi RUU Minerba adalah bagi-bagi konsesi tambang ke UMKM, koperasi, hingga ormas.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, berpendapat perbedaan perlakuan tersebut menunjukkan DPR lebih mendahulukan kepentingan elite atau kekuasaan, ketimbang kepentingan publik atau kaum rentan.
“DPR menjadi pekerja pemerintah untuk saat ini. Maka apa yang kemudian jadi keinginan pemerintah itu yang akan dikerjakan oleh DPR,” ujar Lucius pada kumparan, Jumat (28/2).
Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto dalam acara silaturahmi kebangsaan Koalisi Indonesia Maju (KIM) di Padepokan Garudayaksa, Hambalang, Bojong Koneng, Jawa Barat, Jumat (14/2/2025). Foto: Dok. Tim Media Prabowo Subianto
Kondisi ini, kata Lucius, merupakan dampak buruk dari koalisi jumbo Prabowo yang menguasai 80% kursi DPR. Di sisi lain PDIP sebagai satu-satunya partai yang masih di luar pemerintahan Prabowo sikapnya masih gamang.
“Kita tunggu kapan oposisi betul-betul menunjukkan taringnya untuk memberikan perimbangan di parlemen, menunjukkan suara berbeda. Kalau tidak, maka yasudah DPR akan secara sempurna menunjukkan sebagai lembaga pekerja pemerintah,” ucapnya.
Jumisih, anggota JALA PRT, merasa kelakuan DPR yang sangat cepat ketika memproses revisi UU terkait kepentingan elite justru menunjukkan keberpihakan anggota dewan lebih besar kepada kekuasaan dan korporasi, bukan kepada rakyat.
“Karena yang pegang kuasa adalah mereka, para anggota legislatif, palunya ada di sana, kapasitas untuk melakukan pembahasan di sana, terus menggunakan kuasanya untuk memilah-milah 'Oh, ini hukum (aturan) yang menguntungkan, jadi didahulukan,'” kata Jumisih.
Pengunjuk rasa yang tergabung dalam Koalisi Sipil untuk UU PPRT menggelar aksi mogok makan untuk RUU PPRT di depan gedung DPR, Jakarta, Senin (14/8/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Padahal menurut Jumisih, seharusnya anggota DPR membahas RUU dari aspek urgensi atau kedaruratan. Ia menilai jika pengesahan RUU PPRT berlarut, PRT yang menjadi korban kekerasan bakal semakin banyak. Ia menyebut berdasarkan data Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), jumlah PRT di Indonesia mencapai 5 juta jiwa.
“Kami sudah ngos-ngosan, tapi kami tidak dilihat oleh para anggota dewan, itu yang ironis. Kami berada dalam fase yang berat saat ini. Kami berharap kasus Kelapa Gading yang terakhir terjadi, tidak ada lagi kejadian PRT dipukul, disekap, dikasih makanan anjing, diperlakukan tidak manusiawi,” ucap Jumisih.
Sedangkan bagi Arman, dalam 10-15 tahun terakhir DPR memang terlalu sibuk melayani kepentingan korporasi dan oligarki untuk mengeruk sumber daya alam dengan mengesampingkan masyarakat adat.
“Padahal masyarakat adat menjadikan sumber daya alam sebagai ibu bagi mereka. Karena ketika kehilangan wilayah adat misalnya, itu sama dengan kehilangan semuanya: kehilangan mata pencarian, seni budaya, identitas kultural, karena [masyarakat adat] meletakkan wilayahnya sebagai ruang hidup dan penghidupan,” jelas Arman.
Warga suku Moi Riki Ricardo Fami mengamati burung cendrawasih kuning kecil di hutan Balempe. Foto: Erlangga Bregas Prakoso/ANTARA FOTO
Ketua Baleg DPR Bob Hasan menyatakan pembahasan sebuah RUU di tiap masa sidang ada jadwalnya masing-masing. Ia menyebut di tiap masa sidang ada 3 RUU yang coba diselesaikan. Sejauh ini yang dijadwalkan Baleg yakni RUU Perlindungan PMI, RUU Koperasi, dan RUU Statistik.
Sementara itu Wakil Ketua Baleg Ahmad Doli Kurnia menekankan proses legislasi sebuah RUU membutuhkan pertimbangan dari berbagai pihak. Seperti RUU PPRT, Doli menyebut Baleg akan merumuskan seberapa genting persoalan PRT diatur di UU tersendiri.
“Apakah kalau pun tidak ada UU problem itu makin besar apa tidak, ini yang kita mau lihat. Jangan-jangan enggak perlu [diatur di UU]” kata Doli.
Bagaimana pun, Arman dan Jumisih berpendapat sekalipun DPR seringkali melunturkan harapan mereka, namun nyala api optimisme harus tetap hidup.
“Kita tahu komposisi DPR mayoritas diisi oleh pengusaha. Tapi justru di situ kita ingin mendesak bahwa DPR adalah representasi masyarakat. Anda harus menunjukkan bahwa Anda bekerja untuk kepentingan rakyat ... Tidak hanya ngebut untuk RUU yang bagi kepentingan kekuasaan semata,” tutup Arman.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten